
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 104. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
104. Yauma naṭwis-samā'a kaṭayyis-sijilli lil-kutib(i), kamā bada'nā awwala khalqin nu‘īduh(ū), wa‘dan ‘alainā, innā kunnā fā‘ilīn(a).
(Ingatlah) hari ketika Kami menggulung langit seperti (halnya) gulungan lembaran-lembaran catatan. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi. (Itu adalah) janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kami akan melaksanakannya.
TAFSIR
Diberitahukan pada ayat sebelumnya, bahwa hari kiamat pastilah terjadi dan tidak mungkin ditunda, apalagi ditiadakan, karena itu sudah keputusan Tuhan yang mutlak. Suasananya sangat mengguncang jiwa dan memporak-porandakan segala yang ada. Malaikat turun bertindak sehingga menambah suasana semakin mencekam.
Ayat kaji ini hadir lebih mengerikan, di mana Tuhan melipat-lipat langit seperti anda yang melipat-lipat kertas, menggulung-gulung, dan meremas-remas.
“...ka thayy al-sijill li al-kutub”.
Bahasa tamsilan pada ayat ini banyak varian makna, yang arahnya adalah, bahwa Tuhan maha bisa melakukan apa saja, hingga langit pun bisa dilipat dengan mudah. Padanan ayat ini adalah “wa al-samawat mathwiyyah bi yaminih” (al-zumar:67).
Tidak saja langit, bumi pun diperlakukan sama. Kuburan diobrak-abrik, hingga memaksa manusia bangkit. Kemudian digiring menuju padang makhsyar dalam keadaan telanjang bulat, tanpa sehelai benang menutupi badan dan tanpa alas kaki.
“kama bada’na awwal khalq nu’iduh”, kondisi mereka seperti penciptaan awal, seperti pada awal kehidupan, di alam janin atau saat kelahiran.
Jika alam janin dipakai rujukan awal, maka mereka saat digiring bersama itu benar-benar dalam keadaan alaminya. Selain telanjang bulat juga penisnya utuh, tidak sunatan.
Al-sayyidah A’isyah R.A. menyela saat Rasulullah SAW berkisah hari kiamat tersebut dengan ucapan: “Wuih... Malu sekali ya Rasulallah.. Bagaimana mungkin kemaluan terbuka seperti itu?”
Rasulullah SAW segera menjawab: “Sangat tidak mungkin ada perasaan seperti itu (malu). Karena masing-masing terpuruk memikirkan nasib diri sendiri menghadapi keadaan dahsyat mengerikan dan amat menakutkan. Sungguh tidak sempat berpikir ke arah sana.”
Ya benar. Ketika dalam keadaan sangat mengerikan, seseorang hanya berpikir satu, yakni selamat, titik. Tidak peduli apapun keadaannya, yang penting selamat. Maka wajar, begitu ada kebakaran hebat, seseorang ada yang lari keluar rumah tanpa pakaian, menggendong boneka dikira bayinya dan seterusnya. Etika itu bisa diwujudkan hanya saat keadaan normal.
Di dalam hukum islam, ada keadaan ikhtiyari (normal) dan ada keadaan idlthirari (emergensi). Syariah hanya diberlakukan pada keadaan ikhtiyari saja. Seperti makan harus yang halal. Tapi dalam keadaan terpaksa, maka bangkai bisa dimakan, dengan syarat secukupnya, sebagai penyambung nyawa. Kalau sampai kenyang, menikmati, maka haram hukumnya.
Diriwayatkan, sahabat Abu Hurairah R.A. pernah memasuki kebon kurma milik orang lain, lalu memunguti kurma yang jatuh di tanah dan dimakan tanpa meminta izin lebih dahulu kepada pemiliknya. Kemudian berkomentar: “Wa Allahi, hadza shubh rabi’ah lam adzuq tha’ama qatt”. Demi Allah, ini shubuh keempat, saya tidak mencicipi makanan sedikit pun.
Jadi, ukuran halal menikmati milik orang lain gambarannya kayak begitu. Tiga hari Abu Hurairah tidak makan, lalu pada shubuh hari keempat baru mengkonsumsi kurma yang sudah jatuh di tanah.
Sekadar memakan kurma yang sudah jatuh, meski tanpa izin, jika keadaan seperti itu diperbolehkan. Padahal, andai tidak ada kurma jatuh, yang masih ditangkai juga boleh.
Tapi begitulah yang dilakukan Abu Hurairah, hati-hati dan sangat menjaga diri dari barang haram. Tapi kalau membawa keluar untuk dijadikan makanan nanti atau esok hari, maka tidak boleh.
Untuk itu pemilik kebun mesti mengerti, bahwa buah kurma, jambu, mangga yang sudah jatuh, maka itu sedekah bagi makhluk lain.
Wanita yang harus diobati penyakit yang ada pada daerah vaginanya, maka dokter boleh membuka aurat pasien tersebut secukupnya. Begitu halnya dalam terapi pijat dan lain-lain. Maka terapisnya boleh mengurut-urut betis, punggung pasien wanita bukan mahram seperlunya.
Sedikit saja si tukang pijat menikmati mulus betisnya, maka dia berdosa.