
Aku Tak Selemah yang Mereka Bilang
Oleh: Kholila Agustin
“Awas ada tandon lewat Gendut banget!”
Lolongan manusia yang katanya paling sempurna menggema.
Seakan-akan keberadaanku merusak pemandangan mereka
Dan tak layak tuk hidup bahagia.
Namaku seperti ejekan
Suaraku seperti bahan candaan
Mereka bersikap bak aku hanyalah bayangan semu.
Apa salahku? dan dosaku?
Tangisku hanya menjadi cerita
Tak ada yang membela apalagi menggenggam.
Namun dibalik sakit yang kupendam.
Aku memeluk bersama diriku sendiri.
Aku berharga, meskipun mereka tak melihatnya.
Aku tak lemah hanya karena Aku menangis
Aku kuat karena aku mampu bertahan
Luka ini menjadi saksi cerita hidupku.
Namun sekarang berbeda
Aku sudah tak menangis lagi
Aku kembali bersama diriku yang tersenyurn.
Kemarin aku menangis
Sekarang ku menari
Aku sudah tak peduli
Perkataan orang lain
Memikirkan hal buruk seperti itu memekakkan telinga dan menyakitkan kepala.
Bangkit dari rasa sakit dan belajar dari cemoohan mereka
Mulailah berkarya dan bungkam dengan goresan pena
KINI SEMAKIN BERTUMBUH
Oleh: Nabil Bhagaskara
Aku Pernah dicacimaki
Aku pernah tersingkir dari lingkaran pertemanan
Jiwaku terhempas dalam Jurang nestapa
Bukan aku yang pantas dipersalahkan
Kau menertawakan Setiap untaian Kataku
Seolah bibirku terkunci dari lingkaran bersuara
Kadang aku berharap dianggap bagian dari mereka
Tapi nyatanya aku selalu terasingkan dari keramaian
Kata-Kata mereka meracuni, ‘Sikapmu Seperti Perempuan’
Mengapa langkahku harus terkurung definisi?
Mengapa tawaku harus terbingkai dalam gender?
Aku hanyalah Aku, SEUTUHNYA
Bukan sebuah Fragmen yang harus dipasangkan
Aku coba berdiri, menentang hegemoni
Namun bayangan itu mencengkeram erat
Menarikku ke dalam jurang isolasi
Di relung nurani, terpatri luka
Setiap kata, Sebuah tusukan sembilu
Kini, batin merana terperangkap dalam sangkar
Memendam trauma yang menjelma badai sunyi
Sering kali kutangisi dunia yang menggentarku diam-diam
Oleh lidah-lidah yang lancip, Menusuk tanpa sebab
Namun aku tak ingin karam di lautan Cercaan,
Aku harus menjelma baja walau tertatih di lintasan
Kini aku telah BERDAMAI dengan derita yang sempat membeku
LUKA yang dahulu Mencacah, kini tinggal GEMA yang tak bersisa
Aku bersanding dengan wajah-wajah yang tak MENGHAKIMI yang MENERIMAKU apa adanya TANPA TANYA, TANPA ILUSI
Bising Pedang di Belakang, Bising Air Tenang Menghanyutkan di Hadapan
Oleh: Khusnul Muzanna Balqis Lingga D.
Mereka tidak saling berperang
Tiba-tiba belati tajam mereka lemparkan
Aku bertanya apa salahku?
Kegelisahan merebok memelukku
Sinar Matahari menyeka warnanya
Aku menyelam mencari warnaku
Tubuhku Tak kuat menerka
Tanganku menggapai-gapai udara
Aku terlalu dingin untuk ditolong
Hingga aku sadar, Mungkin inilah kesempatanku
Peluang Cahaya begitu tak nampak besar
Aku bertarung dengan gusar
Menghilangkan suara yang mengitar
Ditopang Sorai Aku Berdiri
Memaksaku untuk tidak pergi
Suara bergema menyeruak bukti
Jembatan Kepedihan mulai roboh
Kurangkai Baru, Bangga melihatnya Kokoh
PURNAMA SETELAH BADAI
Oleh: Fionatasya Syarifatus Putri A
Matahari yang ditatap pagi tadi undap andam karam
Sinar mentari hanyut dihantam badai
Mengapa? Tanyanya pasrah
Dia Lelah
Jiwanya letih
Raganya lejar
Kemilau bintang di Malam hari mulai meredup
Jangkrik seakan berkata
"Yang diam terlalu lelah untuk mengeluh"
"Yang bersuara terlalu lelah untuk Menyimpan"
Tentang Pulih dan sembuh
Hai disini ada luka
Luka yang diperoleh karena perlakuan orang lain
Bagaimana rasanya menjadi pusat ejekan?
"GAJAH LEWATI HAI GAJAH! GAJAH SINI!”
Seketika orang-orang menatapnya
Mereka menertawainya seolah mereka sempurna
Dia menjadi bahan tawaan
Dia malu
Hatinya Koyak
Berusaha untuk bertahan di lingkungan seperti itu
Mentalnya di uji
Merasa sendirian
Merasa "HARUS" menjadi seperti yang orang lain mau
Mungkin dia sudah lelah
Lelah mendengar kata "semangat" dari orang terdekat
Namun itu juga yang menjadi alasan untuk bertahan diri
Hari demi hari yang semakin berat
Keadaan yang semakin memburuk
Tekanan dari lingkungan sekitar
Cacian yang tidak ada habisnya
Dia berusaha sabar
Berusaha mengatasi semua sendirian
Dia tidak terbiasa mendapatkan dukungan dari Siapapun
Dia tidak mengenal apa itu lingkungan yang hangat
Juga tidak mengenal apa itu tenang tanpa rasa insecure
Momen disaat dia tidak dihargai oleh siapapun
Mau berlalu kemanapun terasa kosong.
Bahkan dikeramaian pun terasa sendiri
Banyak tangis yang dibekap di jari jemari
Mamun kini dia tak lagi terpuruk
Suara yang dulu terbungkam sekarang dia bisa curahkan melalui puisi ini
Dan lihatlah daksanya yang sekarang bukan lagi bahan tawaan
Tetapi Pujian yang tak bisa mereka padamkan lagi
Mengapa dia tak balas dendam?
Karena dia memilih menjadi damai
Dan damai lebih kuat dari amarah yang Fana
Tidak mudah baginya untuk berdamai
Pulihlah dengan waktu
Sembuhkah dengan hal yang menyibukkan dan berusaha membuat mereka bungkam
Percayalah bahwa jika kau menjadi pusat ejekan
Suatu saat bisa menjadi pusat Pujian
Seperti orang yang berada dalam puisi ini.
Senyuman Aneh
Oleh: Hikmatul Mufida
Senyumku pernah selebar senyuman anak kecil yang sedang bermain
aku tersenyum lebar seperti biasanya
Pada suatu saat ketika disekolah
Dikala adanya canda tawa
Tiba-tiba ada seseorang nyeletuk
Mengatakan dengan tertawa
la menatapku
Dan tertawa “Senyummu seperti joker yang sedang tertawa, lebar banget!"
Distu aku langsung merenung
“Apakah benar apa yang ia bilang bahwa senyumku seperti joker ?"
Saat dirumah
Aku menatap cermin
Lalu aku tersenyum di depan cermin
Dan berkata pada diriku “YANG KUAT YA”
Padahal saat itu aku merasa insecure
tetapi aku masih bisa menguatkan diri
Tidak berani tersenyum lagi
Aku murung
Aku mulai menyendiri
Saat ada yang bercanda gurau
Aku hanya diam
Tidak berani untuk tersenyum
hanya karena satu perkatan itu
Aku sudah terlanjur larut dalam rasa insecure
Bahkan aku membandingkan diriku dengan orang lain
Dalam hatiku berkata
"Mereka memiliki senyuman manis ya, andai aku seperti mereka"
Suatu hari ada orang yang memujiku
Orang itu berkata
“senyumanmu manis sekali, orang orang pasti akan suka bercanda tawa denganmu”
Disitu aku tidak percaya akan hal itu
“Apakah itu benar?” Ucapku dalam hati
Aku mencoba menguatkan diriku lagi
Aku menatap cermin lagi dan aku tersenyun
"Ya ternyata benar, senyumaku jika aku PERCAYA DIRI”
Mulai saat itu aku berusaha berbaur lagi
menikmati canda dan tawa besama teman
“TERNYATA AKU TIDAK SEBURUK ITU"
Terimakasih untuk orang yang telah menyemangatiku kembali
Guratan Pilu Yang Kekal Abadi
Oleh: Fikriyyah Putri Salsabila
la datang dengan paras lesu dan angkuhnya
Sorot matanya menelisik bagai hendak merendahkan
Mulut ku yang berbicara seakan ingin dibungkamnya
Tatapanku terpasung, menangkap bara yang ditahannya
Mulutnya beradu dalam ketegangan
Kata demi kata dilontarkan, bagai petir menggulung udara
Semua hening……
seolah semesta turut menyaksikan jiwa yang terbelenggu
lidahnya tajammenusuk tanpa sentuhan
Kata-kata yang dilontarkan seperti anak panah yang menembus cakrawala
Menoreh luka tanpa darah
Menggelegakkan hati yang tenang dan ramah
Tak cukup ia menyakitiku lewat ujaran
Tangannya turut bicara dengan paksa
Dipukul bukan karena salahku
Melainkan ia ingin aku membisu
Aku bertanya lirih dalam benakku
Salahku dimana ?
Bukankah setiap orang berhak bersuara
Apakah suaraku harus dibungkam ?
Pantaskah diriku dilukai sedemikian rupa?
Bukankah tutur pun telah cukup menyayat rasa?
Lakumu mengubah pandanganku pada lelaki
Guratan menyengat menjelma bayang di relung kalbuku
Tuturmu yang tajam membuatku tertunduk dalam tanya
Bisikanmu selalu menggema dalam ruang nuraniku
Namun nestapaku, kugunakan pada Langit dan Cahaya
Semoga hembusan doaku menghapus goresan noda dikisahmu
"Dulu Aku Terkucilkan, Sekarang Aku Akan Buktikan"
Oleh: Nofila Maulida
Dulu aku dipandang hanya bayangan
Tak disapa dalam keramaian
Langkahku dilirik penuh dengan ejekan
Lalu, Suaraku menghilang di tengah hinaan
Aku tak dianggap
Seolah hadirku hanya beban
Tertawa ketika aku jatuh
dan berpaling saat aku mulai teguh
Aku. Simpan air mata menjadi tenaga
Berani bangkit dalam penuh hinaan
Kusedih bangkit menjadi semangat yang membara
Dan aku tahu, waktuku akan datang
Aku menangis dalam keheningan.
Aku terluka dalam kesiapan
Aku bangkit dalam dukungan
dan ini aku yang sekarang
Kuhantui kau dengan karya
Akan kubuat dunia merasakan sakitku
INI, bukan balas dendam
Namun aku ingin, kamu selalu melihat sakitku dan lukaku dalam karyaku.
Aku tak ingin tinggal diam
Akan kupenuhi kau dengan suara karyaku
Aku, tak pernah butuh pengakuan dari yang menghina
Aku cukup memmbuktikan, Bahwa aku sangatlah berharga
Dulu aku dikucilkan, Sekarang aku dibutuhkan
Tak perlu jadi sempurna untuk bersinar
Aku, hanya cukup jadi diriku yang tak lagi gentar.
Aku dan Masa Lalu
Oleh: Mei Linda Dwi Rahmaningtias
Hai, perkenalkan ini aku
Raga yang dipaksa untuk tetap tumbuh
Perasaan menggebu seolah tak menemukan jalan untuk mencapai sebuah akhir
diselimuti TRAUMA dan keraguan
Aku berdiri dalam ruang sepi
Semua terasa seperti duri
Seakan ingin tumbang
tapi terpaksa harus bertahan
Meski luka telah lama membekas
aku berusaha bangkit enggan terpuruk dalam kesedihan
Dari gelap aku temukan cahaya
Berlagak kuat, melangkah tanpa ragu
Suara hati kini menjadi pancaran
Tegas berdiri, melawan deraan
Perundungan hanyalah masalalu
Kini kuasa berasa ditangan sendiri
Harus Bagaimana?
Oleh: Lailatuzzahra Tussitah
Ini tentang ia senyumnya manis semanis gula dan trauma
yang tersimpan rapi tanpa celah
Bagaikan tak ada luka yang mengganggu
Ia diam bukan karena lupa
Ia tertawa bukan karena suka
tapi ia menyembunyikan luka
hingga tak tahu harus bagaimana
AKU YANG BUNGKAM
Oleh: Nabila Zakhrotus Sifa
Di pagi hari yang cerah
Matahari menunjukkan sinarnya yang indah
Angin sejuk menyelimuti raga yang sakit ini
Sebuah ruang yang akan menjadi memori indah sirna
Di ruang itu, ragaku menahan sakit
Menjuluki diriku ini seseorang beban berbadan gendut yang harus diabaikan
Kata-kata menusuk yang mereka ucapkan seolah hal sepele yang tidak perlu diingat
Di ruang itu, mereka semua tertawa riang mengejek
Sedangkan diriku, menahan tangis pilu dan kecewa hingga kini
*Penulis adalah Siswa SMAN 1 Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur