Sri Mulyani, Dulu Didewakan, Kini Di-Fir'aun-kan

Sri Mulyani, Dulu Didewakan, Kini Di-Fir Sri Mulyani. Foto: AFP/STEFANI REYNOLDS/CNN

Oleh: Mukhlas Syarkun

Sebagai menteri keuangan, nama Sri Mulayani mendunia. Bu Sri - panggilan akrabnya -  menjadi direktur IMF dan diapresiasi sebagai menteri keuangan terbaik. Banyak yang terpesona, apalagi mampu bertahan limabelas tahun sebagai menteri keuangan. 

Bahkan Bu Sri sepi kritikan. Sebaliknya full pujian. Hanya segelintir orang yang berani kritis, khususnya almarhum Bang Rizal Ramli. Ia berani mengekritik keras, tajam dan rasional. Tapi ia diserbu buzzer (kini termul) secara brutal.

Sekarang era berubah. Setelah rumah Sri Mulyani dijarah massa, jabatannya dilucuti, mulai muncul kritikan tajam, bahkan sampai di-Fir'aun-kan oleh menteri keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Disusul Mari Pangestu. Ia ikut mengkritik keras dan tajam sekali.

Sosok Bu Sri dengan segala kebijakannya adalah gambaran utuh rezim sepuluh tahun, Jokowi, yang menggerogoti dan menggoyahkan bangunan ekonomi secara serius. Dan jika tidak diatasi, ia akan membawa kehancuran ekonomi secara sistemik.

Benarkah?

Pertama, hutang dengan tingkat bunga tertinggi di dunia. Inilah yang disorot almarhum Bang Rizal karena berdampak beban berat pada APBN yang selalu defisit, akhirnya gali lobang dan tak mampu tutup lobang dan celakanya menggali lobang lagi.

Kedua, mencari pendapatan negara hanya fokus majakin rakyat, potensi pendapatan di sektor pertambangan dan BUMN tak dimaksimalkan. Akibatnya 80 persen APBN dari menghisap darah, keringat dan air mata rakyat.

Kebijakan pajak di rejim Jokowi telah memukul usaha rakyat. Ada kisah anak muda berhenti kuliah setelah ayahnya wafat. Ia menjadi tulang punggung keluarga. Kemudian ia buka usaha dari nol dan bertahap berkembang pesat.

Sukses. Ia memiliki banyak karyawan yang juga dari kalangan anak anak muda. Tapi mendadak usahanya terhenti dan karyawan dirumahkan, karena pajak yang mencekiknya.

Disisi lain, kita disuguhi data dari kantor Bu Sri tentang kenaikan tunjangan pejabat bahkan sampai 300 persen. Jika menginap di hotel disediakan platform harga kamar Rp 5 juta per malam, kendaraan mewah juga diberikan. 

Istana pun sehari-harinya sibuk mempersiapkan mahligai dengan membabat hutan (IKN) mengguanakan pajak dan keringat rakyat.

Itulah realitas kebijakan Bu Sri. Maka stigma sebagai Fir’aun sangat pas. Mewakili secara kolektif rezim 10 tahun (terutama DPR eksekutif) yang memelihara buzzer-termul, mampu membungkam daya kritis intelektual. 

Bahkan kaum agamawan dibuat ketakutan. Kalau dulu agamawan takut pada Tuhan dan istri, di rejim itu justru takut pada serangan buzzer.

Ironisnya, para agamawan itu di berbagi kesempatan berhutbah mengutuk Fir'aun, tapi membenarkan tindakan Fir'aun.

Kedepan tentu kita tidak mau lagi praktik politik ekonomi Fir’aun terulang. Maka bangsa ini memerlukan sosok Musa yang kita hadirkan untuk membebaskan belenggu pikiran dan nurani sehingga mampu berpkir kritis, kebijakan yang mampu meringankan beban rakyat, menenggelamkan ego pejabat yang serakah, memaksimalkan potensi sumber daya alam untuk kemakmuran. Ini memang mudah diucapkan, namun susah diwujudkan !!!