Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA saaat menyampaikan ceramah dalam puncak acara 2 Abad Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang di GOR Serba Guna Hasbullah Said, Jombang, Sabtu (25/10/2025). Foto: MAA/bangsaonline
JOMBANG, BANGSAONLINE.com – Prof Dr KH Asep Saifuddin Chali, MA, pendirid an pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto mengungkapkan bahwa KH Abdul Wahab Hasbullah adalah ulama besar, politisi ulung, tokoh kreatif, inovatif, piawai berdebat, sehingga memiliki banyak laqab atau julukan.
“Kiai Wahab dijuluki sebagai Rujulul Adzim, kiai berpikir besar, juga Muharrikul Afkar atau motivator, dan juga dijuluki sebagai Badrul Ihtifal atau singa podium,” kata Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA saaat menyampaikan ceramah dalam puncak acara 2 Abad Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang di GOR Serba Guna Hasbullah Said, Jombang, Sabtu (25/10/2025).
Hadir dalam acara itu Prof Dr KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI ke-13, Menko bidang Pangan Dr. H. Zulkifli Hasan, Wakil Gubernur Jawa Timur Dr Emil Elestianto Dardak serta para kiai dan ribuan masyarakat, terutama para alumni dan santri.
Kiai Asep menyampaikan ceramah terakhir sekaligus memimpin doa, setelah KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI ke-13, menyampaikan ceramah.
“Rajulun adzimnya Kiai Wahab bahwa bangsa Indonesia harus memberontak melawan penjajah,” kata Kiai Asep yang putra pahlawan nasional KH Abdul Chalim
Menurut Kiai Asep, Kiai Wahab Hasbullah bisa merasakan kegelisahan kiai-kiai dalam menghadapai tekanan penjajah sehingga ia terus bergerak untuk mendirikan organisasi. Salah satu organisasi yang didirikan adalah Nahdlatul Wathon.
Nahdlatul Wathon, kata Kiai Asep, adalah lembaga pengkaderan anak-anak bangsa.
“Setiap angkatan muridnya 65 orang,” jelas kiai miliarder tapi dermawan itu.
“Abah saya, Kiai Abdul Chalim menjadi sekretaris, Kiai Wahab Hasbullah ketuanya,” tutur Kiai Asep yang pada Agustus 2025 lalu mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Nararya (bidang pendidikan) dari Presiden RI Prabowo Subianto.
Menurut Kiai Asep, ada kecocokan antara Kiai Wahab dengan Kiai Abdul Chalim. Karena selain sama-sama organisator kreatif dan inovatif juga terikat tali persahabatan ketika sama-sama belajar di Makkah.
Sehingga semua administrasi dan surat menyurat Kiai Wahab selalu mendiskusikan dengan Kiai Abdul Chalim. Bahkan saat Kiai Abdul Chalim bergabung inilah Nahdlatul Wathon berkembang dan berdiri di beberapa daerah.
Kiai Asep banyak tahu sejarah Kiai Wahab dan Kiai Abdul Chalim, abahnya, karena pada usia 15 tahun ia sering diajak bertemu Kiai Wahab Hasbullah di Tambak Beras. Saat itu, tutur Kiai Asep, Kiai Abdul Chalim sering bertemu Kiai Wahab untuk mentashih tulisannya. Kiai Abdul Chalim inilah yang menulis buku tentang Kiai Wahab Hasbullah yang kemudian menjadi rujukan sejarah NU.
Buku itu diterbitkan saat ketua umum PBNU dijabat oleh KH Idham Chalid. Bahkan Kiai Idham Chalid yang memberikan kata pengantar buku tersebut.
Karena itu, ketika Kiai Wahab Hasbullah berinisiatif mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Abdul Chalim menjadi tangan kanan Kiai Wahab Hasbullah.
Nah, dalam catatan Kiai Abdul Chalim, Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari tak sertamerta memberi restu terhadap Kiai Wahab Hasbullah. Pertama, Hadratussyaikh perlu istikharah. Kedua, Hadratussyaikh hati-hati dan khawatir jika mendirikan organisasi umat Islam pecah. Karena saat itu Hadratussyaikh dianggap sebagai “bapak umat Islam” Indonesia.
Butuh waktu cukup panjang. Kiai Wahab Hasbullah berkeluh kesah kepada Kiai Abdul Chalim. Menurut catatan Kiai Abdul Chalim, Kiai Wahab menyampaikan, kalau sampai 10 tahun guru saya (Hadratussyaikh) tidak juga memberi restu, maka ada dua pilihan alternatif bagi saya. Pertama, ikut organisasi lain yang sudah ada tapi dengan catatan melakukan reformasi.
Kedua, kembali ke kampung halaman di Tambak Beras untuk mengelola pondok pesantren.
Kiai Abdul Chalim kemudian menyampaikan keluh kesah Kiai Abdul Wahab itu kepada Hadratussyaikh. Menurut Kiai Abdul Chalim, Hadratussyaikh langsung merespons. Hadratussyaikh mengaku kasihan kepada Kiai Wahab yang selama ini telah berjuang tapi dipimpong dan berhadapan dengan kerasnya kelompok-kelompok yang tak sealiran. Seketika itu Hadratussyaikh merestui.
Kiai Wahab dan Kiai Abdul Chalim kemudian membahas undangan para kiai untuk dihadirkan pada rapat Komite Hijaz. “Tentu di bawah arahan Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Saat itu ada 65 kiai yang hadir,” kata Kiai Asep.
Maka pada tahun 1926 berdirilah NU. “Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari Rais Akbar, wakilnya Kiai Ahmad Dahlan Ahyad. Kiai Wahab Hasbullah Katib Awal, abah saya, Kiai Abdul Chalim, Katib Tsani,” ujar Kiai Asep.
Yang menarik, Kiai Asep juga mengaku pernah nyanti di Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras.
“Selama setengah bulan,” kata Kiai Asep yang disambut tepuk tangan meriah.
Kiai Asep mengaku mondok di Pesantren Bahrul Ulum saat ikut ujian untuk mendapat ijazah. “Saya butuh ijazah MAAIN,” kata Kiai Asep sembari tertawa.
Dalam acara itu Kiai Asep juga membahas tentang pentingnya transformasi pesantren. Menurut dia, transformasi pesantren dimulai sejak Muktamar ke-27 NU di Situbondo 1984.
“Saat itu para kiai berpegang pada kaidah al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah. Artinya, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik,” ujarnya.
Dalam Muktamar NU 1984 itu, ungkap Kiai Asep, para kiai sepakat bahwa metode sorogan dan bandongan harus tetap ada dan dilestarikan karena sistem tersebut merupakan ciri khas pendidikan pesantren.
“Sorogan itu untuk pentashihan, kalau bandongan untuk efisiensi waktu,” kata Kiai Asep.
Namun diluar sistem atau metode itu, pesantren diperbolehkan melakukan inovasi dan transformasi. Termasuk membuat kurikulum sesuai kebutuhan masyarakat.
“Amanatul Ummah telah berhasil melakukan transformasi,” katanya.













