
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Pemasangan iklan pengumuman ukuran setengah halaman hitam putih di salah satu media cetak Jawa Timur terkait kasus kecelakaan Lamborghini yang menewaskan satu orang, memantik reaksi insan pers. Pasalnya, isi iklan itu dianggap menantang wartawan.
Iklan yang dipasang oleh Amoz HZ Taka dan Associates yang merupakan kuasa hukum pengemudi Lamborghini, Wiyang Lautner (24) itu berisi empat keterangan. Yakni kondisi WL saat mengemudi dalam keadaan sehat, bukan ajang kebut-kebutan, kondisi jalan tergenang air dan akibat hujan, serta telah terjadi kesepakatan dengan korban sekaligus menegaskan insiden tersebut musibah dan sudah terjadi perdamaian.
Sedangkan di paragraf sebelum penutup tertulis: "untuk itu kami mengimbau/mengingatkan kepada media cetak, media elektronik (termasuk pengguna sosial media), masyarakat (perusahaan dan individu) untuk tidak memberikan pemberitaan/pernyataan yang negatif tanpa didasari dengan bukti-bukti yang kuat, yang dapat merugikan klien kami. Sehingga kami akan menempuh jalur hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim Akhmad Munir menyayangkan isi iklan yang dibuat oleh pengacara LW itu. "Kami sangat menyayangkan isi di dalam iklan tersebut karena berbau ancaman terhadap kebebasan pers," ujar Munir kepada wartawan, kemarin (3/12).
Menurut Munir, isi iklan tersebut juga sebuah model baru dan bentuk arogansi terhadap media sehingga terkesan ada pengekangan terhadap profesi wartawan yang didalamnya mengandung perlindungan wartawan. "Kalau dulu ancaman kita adalah sistem politik, sekarang ini ancamannya adalah orang berduit," sebutnya.
PWI, kata dia, meminta kepada wartawan untuk tidak takut terhadap segala bentuk ancaman dan jangan berhenti mengungkap secara benar serta profesional terkait kasus kecelakaan yang terjadi di Jalan Manyar Kertoarjo Surabaya pada Minggu (29/11) tersebut.
"Selama berita itu ditulis benar dan sesuai kaidah jurnalistik, kami akan mengawal media dan wartawan jika nantinya dipermasalahkan oleh pihak tertentu," pesannya.
Ia juga berpesan kepada jurnalis untuk menulis dengan mematuhi kode etik jurnalistik, seperti menguji informasi, narasumber kompeten, cek dan ricek, mengutamakan fakta, bukan opini, berimbang, dan sebagainya.
Kendati demikian, ia melihat ada pesan khusus yang tersirat dalam kasus ini yakni memberikan pencerahan bahwa tugas seorang jurnalis harus benar-benar profesional.
Sementara itu, salah satu reporter televisi di Surabaya menanggapi iklan pengumuman ini dengan agak emosi. Pasalnya, selama ini ia merasa dipersulit untuk wawancara dengan pelaku WL, dan juga susah sekali untuk konfirmasi kepada pengacara.
“Kalau tidak mau ada salah pemberitaan, harusnya pengacara atau pengemudi mau diwawancara. Lha ini ditemui aja gak mau kok langsung menempuh jalur hukum. Malah sembunyi-sembunyi,” ujar sang reporter yang tak mau disebut namanya itu.
Menurut dia, model seperti itu gaya orang-orang berduit dalam menyelesaikan masalah. Berlindung di balik hukum dan undang-undang. “Mereka pikir nyawa itu bisa dihargai dengan Rp 25 juta,” ujarnya ketus.
Dikatakan dia, kalau mau bermusuhan dengan media diharapkan tidak sembarangan. Sebab, jurnalis dibekali dengan kode etik. Tidak asal tulis. Kerja jurnalis juga dilindungi oleh UU Pers.
“Selama kita beritakan sesuai kode etik tidak ada masalah. Kalau mau menjerat jurnalis dengan hukum ada prosedurnya. Yang dilakukan pengacara WL itu ancaman secara halus. Bahasa kasarnya: ojo macem-macem nek gak gelem dipenjara,” pungkasnya. (nis/rev)