RIYADH, BANGSAONLINE.com - Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi ulama Syiah terkemuka Nimr al-Nimr (56) atas dakwaan terorisme. Otoritas Saudi mengeksekusi 47 orang atas dakwaan terorisme, termasuk Nimr al-Nimr, Sabtu (2/1/2016). Ia dituduh sebagai penggerak aksi-aksi demo antipemerintah Arab Saudi.
Eksekusi tersebut menuai kecaman dari ulama Iran. Ayatollah Ahmad Khatami, ulama yang dekat dengan pemerintah Iran, memperkirakan reaksi atas eksekusi itu akan mendatangkan kejatuhan bagi keluarga penguasa Saudi. Dalam wawancara dengan kantor berita Mehr, seperti dilansir kantor berita Reuters, Sabtu (2/1/2016), Khatami mencetuskan, eksekusi Nimr mencerminkan sifat "jahat" keluarga penguasa Saudi.
Baca Juga: Mengapa Jupiter Punya Cincin, Sedangkan Bumi Tidak? Ini Penjelasannya
Khatami mengatakan, eksekusi tersebut akan memicu aksi pembalasan yang akan membuat para penguasa Saudi "terhapus dari halaman sejarahâ. Khatami merupakan salah satu ulama paling senior di Iran, yang juga merupakan anggota Majelis Pakar.
"Kejahatan mengeksekusi Sheikh Nimr merupakan bagian dari pola kejahatan oleh keluarga berbahaya ini ... dunia Islam diharapkan akan memprotes dan mengecam rezim terkenal ini sekeras-kerasnya," kata Khatami.
Dalam statemennya seperti diberitakan kantor berita resmi Saudi,SPA dan dilansir AFP, Sabtu (2/1/2016), Kementerian Dalam Negeri Saudi menyatakan, 47 orang yang dieksekusi mati hari ini terbukti mengadopsi ideologi radikal "takfiri", bergabung dengan organisasi-organisasi teroris dan melakukan berbagai plot kejahatan.
Baca Juga: Ratusan Wisudawan Universitas Harvard Walk Out, Protes 13 Mahasiswa Tak Lulus karena Bela Palestina
Di antara ke-47 orang yang dihukum mati itu, juga termasuk beberapa warga Saudi yang dinyatakan bersalah atas keterlibatan dalam serangan-serangan Al-Qaeda, yang menewaskan warga Saudi dan warga asing pada tahun 2003 dan 2004.
Di antaranya juga termasuk Fares al-Shuwail, yang oleh media Saudi digambarkan sebagai pemimpin tinggi agama Al-Qaeda di Saudi. Dia ditangkap pada Agustus 2004 silam.
Mereka yang dieksekusi termasuk seorang warga Mesir dan seorang warga Chad. Sisanya merupakan warga Saudi. Kementerian Dalam Negeri Saudi menyatakan, mereka semua dieksekusi hari Sabtu ini di 12 kota berbeda di Saudi.
Baca Juga: Viral, Surat Suara di Taiwan Sudah Dicoblos Paslon Nomor Urut 3, KPU: Hoaks
Tindakan Arab Saudi yang mengeksekusi mati Nimr al-Nimr berbuntut panjang. Kedutaan Arab Saudi di Teheran Iran diserbu dan dilempari bom molotov. Massa sempat naik ke atap kedutaan dan menurunkan bendera Saudi.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Seyyed Ali Khamenei mengatakan bahwa Tuhan pun tak akan mengampuni Arab Saudi yang telah mengeksekusi seorang ulama Syiah terpandang.
"Pertumpahan darah dari martir ini akan memiliki konsekuensi yang cepat," kata Khamenei kepada ulama di Teheran seperti dikutip AFP, Senin (4/1/2016).
Baca Juga: Dampak Tak Pernah Ganti Celana Dalam
"Tuhan tidak akan mengampuni ... Itu akan menghantui para politisi dari rezim ini."
Pemimpin tertinggi Iran itu memperingatkan bahwa Arab Saudi akan menghadapi 'balas dendam ilahi' sebagai konsekuensi telah mengeksekusi seorang ulama Syiah. Khamenei sangat berkabung dengan dieksekusinya Nimr al-Nimr. Dia menyebut hukuman mati merupakan perbuatan yang keji.
Sesaat setelah aksi pembakaran Kedubes Arab Saudi di Teheran, aksi protes terhadap Arab Saudi langsung menyebar. Aksi protes terjadi di Bahrain, Pakistan, Kashmir India dan Lebanon.
Baca Juga: Hindari Cara ini pada Wajan Antilengket Agar Tidak Cepat Rusak
Di tengah perang yang sedang berlangsung di Suriah dan Yaman, eksekusi Nimr ini semakin memisahkan negara dengan paham Syiah di Timur Tengah dengan negara penganut Sunni.
Nimr, adalah ulama Syiah di Arab Suadi yang menghabiskan lebih dari satu dekade untuk belajar teologi di Iran. Dia adalah kekuatan di balik protes anti-pemerintah di timur Arab Saudi pada tahun 2011.
Sementara itu, mitra Arab Saudi, yakni Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Kuwait dan Yaman menyerukan dukungannya. Menurut mereka, eksekusi mati adalah hak pemerintah Arab untuk menanggulangi teror.
Baca Juga: Beberapa Negara Terpanas di Dunia, Mali Capai 28,8 Derajat Celcius
Di sisi berlawanan, pemimpinan keagamaan Iraq menyatakan kemarahannya atas Arab Saudi. Ayatollah Sistani menyebut eksekusi yang dilakukan Arab Saudi adalah "ketidakadilan dan bentuk agresi" sementara ulama yang lain, Mohammed Taqi al-Mudaressi, mengatakan itu adalah "deklarasi perang" melawan Syiah.
Kementerian Luar Negeri Iraq menuduh Arab Saudi menggunakan isu memerangi terorisme untuk membungkam para oposisi.
Di Lebanon, kepala gerakan Syiah Hizbullah, Hassan Nasrallah, menuduh Arab Saudi mencari cara untuk memicu "konflik antara Sunni dan Syiah". Syiah di Lebanon menyatakan bergabung dengan Iran.
Baca Juga: Fakta Unik Negara Qatar: Tuan Rumah Piala Dunia 2022
Di Iran, demonstrasi di luar kedutaan Arab Saudi dan di Palestina Square Teheran terus berlangsung hingga Minggu (3/1). Sekitar 1.500 orang berdemo di depan kantor kedutaan.
"Kematiannya akan memulai revolusi yang diharapkan akan menyebabkan jatuhnya kerajaan Saudi," kata Rezvan, 26 tahun, salah seorang pendemo.
Presiden Iran Hassan Rouhani mengutuk eksekusi Nimr tetapi juga mengecam serangan terhadap kedutaan Saudi di Teheran dan konsulat di kota kedua Masyhad.
Baca Juga: Belajar dari Ukraina, Taiwan Percaya Diri Melawan Serangan Tiongkok, inilah Persiapannya
"Untuk menghormati Iran, cara seperti ini tak dapat dibenarkan. Atas kejadian ini, seluruh pejabat Iran bertanggung jawab penuh untuk bertindak," ujar Rouhani seperti dilansir CNN, Senin (4/1/2016).
Ketegangan Arab Saudi dan Iran tak bisa dihindarkan. Arab Saudi meminta seluruh diplomat asal Iran untuk meninggalkan negara itu secepatnya.
Seperti dilansir AFP, Senin (4/1/2016), menteri luar negeri Arab, Adel al-Jubeir mengumumkan bahwa Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran setelah para demonstran menyerang kantor kedutaan besar Arab Saudi yang berada di Teheran. Jubeir juga mengatakan bahwa seluruh diplomat Iran harus meninggalkan Arab Saudi dalam waktu 48 jam.
Prancis dan Jerman mengecam eksekusi mati yang dilakukan otoritas Arab Saudi terhadap 47 narapidana, termasuk Nimr al-Nimr. Namun kedua negara Eropa ini mengimbau negara-negara Timur Tengah untuk menahan diri agar ketegangan yang kini muncul tidak berujung konflik.
Otoritas Prancis juga menyerukan kepada pemimpin di kawasan itu untuk melakukan apapun demi menghindari meluasnya ketegangan religius dan sektarian. Dalam komentarnya, Prancis menegaskan pihaknya menentang eksekusi mati di mana saja dan dalam situasi apapun.
"Eksekusi (imam) Nimr Baqr al-Nimr memicu keprihatinan kami terhadap ketegangan yang terus meluas... di kawasan tersebut," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman kepadaAFP, sembari menyebut eksekusi mati sebagai hukuman tak manusiawi yang ditolak tegas Jerman dalam situasi apapun.
Sedangkan Inggris lebih berhati-hati dalam memberikan komentarnya demi menjaga hubungan investasi dan perdagangan dengan Saudi. Inggris hanya menekankan posisinya yang menentang segala bentuk hukuman mati, tanpa menyebut nama ulama Nimr secara langsung.
"Inggris menentang hukuman mati dalam situasi apapun dan di negara manapun," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Inggris, sembari menekankan bahwa Menteri Luar Negeri Philip Hammond secara rutin mengangkat isu HAM dalam pembahasan dengan berbagai negara termasuk Saudi.
Secara terpisah Menteri untuk wilayah Timur Tengah, Tobias Ellwood menyatakan otoritas Inggris telah menyampaikan kekecewaan atas eksekusi mati massal kepada Saudi. Di sisi lain, pengkritik otoritas Inggris mendorong Perdana Menteri David Cameron untuk menanggapi secara langsung isu ini. Kelompok HAM setempat, Reprieve menyatakan Inggris tidak seharusnya menutup sebelah mata terhadap kekejaman seperti ini.
Pemerintah Amerika Serikat menyerukan para pemimpin Timur Tengah untuk mengambil langkah-langkah guna meredakan ketegangan,
"Kami tahu bahwa Kerajaan Arab Saudi telah memerintahkan penutupan misi diplomatik Iran di kerajaan tersebut," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS John Kirby mengenai memanasnya hubungan Iran dan Saudi, seperti dilansir kantor beritaAFP, Senin (4/1/2016).
"Kami yakin bahwa keterlibatan diplomatik dan pembicaraan langsung tetap penting dalam menyelesaikan perbedaan dan kami akan terus menyerukan para pemimpin di wilayah tersebut untuk mengambil langkah-langkah untuk meredakan ketegangan," imbuh Kirby.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News