JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai penggunaan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah Mahkamah Konstitusi bisa menggugurkan seluruh kecurangan pilkada yang didaftarkan ke MK.
Penggunaan Pasal 158, kata Maragito, bukan hanya tak rasional atas hukum konstitusionalitasnya, namun juga menghalangi keadilan bagi pemohon perkara yang ingin MK membatalkan proses pilkada yang sudah dilaksanakan secara tidak adil.
Baca Juga: Elemen Masyarakat Jatim Dukung Putusan MK soal Netralitas ASN dan Polisi dalam Pilkada 2024
"Bukan membatasi keadilan, tapi mengangkangi keadilan. Pasal ini jadi benteng bagi para pecundang, memungkinkan pecundang jadi kepala daerah," kata Margarito, di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (1/2).
Menurut Margarito, adanya kecurangan pilkada yang dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis yang kemudian dilaporkan ke MK tak akan berpengaruh apa-apa terhadap putusannya. Malah, gugatan yang didaftarkan sudah pasti ditolak saat proses dismisal.
"Celaka pasal ini. Anda bikin saja terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) segilanya sampai melebihi 2 persen tidak bisa lagi bawa ke MK. Itu resiko, dalil TSM gugur semua di fase awal karena Pasal 158 itu," lanjut Margarito.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Menurut Margarito, agar Pasal 158 itu dapat mengakomodasi gugatan-gugatan pilkada yang ingin menunjukan adanya kecurangan saat proses pilkada, maka mau tidak mau UU Pilkada khususnya Pasal 158 itu direvisi atau diuji materi. Meskipun dengan konsekuensi bahwa proses dan tahapan pilkada menjadi lebih lama dan memakan biaya lebih banyak, namun revisi atau uji materi Pasal 158 itu bisa mengakomodasi kecurangan pilkada yang terstruktur, masif dan sistematis.
"Untuk mengoreksinya ada dua pilihan, judicial review atau revisi. Konstitusi tidak mengenal efektivitas, konstitusi mengenal akuntabilitas. Maka risiko logis saja kalau prosesnya menjadi panjang, berbelit, tidak efisien, dan mahal. Tapi itu konsekuensi kalau kita mau bicara konstitusi," tandas Margarito. (mtv/ns)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News