Inilah Tokoh-Tokoh yang Pernah Gugat Presidential Threshold Tapi Ditolak MK

Inilah Tokoh-Tokoh yang Pernah Gugat Presidential Threshold Tapi Ditolak MK Suasana sidang Mahkamah Konstitusi saat pembacaan amar putusan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis (2/1/2025). Foto Humas/Bayu

JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta benar-benar istimewa. Di tangan merekalah ambang batas minimal pencalonan presiden yang dikenal dengan istilah presidential threshold tumbang. Padahal sebelumnya banyak sekali para tokoh yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi semuanya ditolak oleh MK alias gagal dengan berbagai alasan.

Karena itu empat mahasiswa UIN Suka itu punya jejak sejarah penting dalam jagat perpolitikan Indonesia, terutama dalam pemilihan presiden.

Baca Juga: Kenapa Presidential Threshold Harus Dihapus? Didominasi Parpol dan Bisa Terjebak Calon Tunggal

Dilansir Tempo, lebih dari 30 uji materiil yang pernah dimohonkan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terkait presidential threshold itu. Pemohon gugatan itu dari berbagai kalangan. Bahkan tokoh-tokoh kesohor negeri ini.

Siapa saja mereka? Mereka, diantaranya, adalah Effendi Gazali, Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Batubara, Hadar Nafis Gumay. Juga Bambang Wodjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Angga Dwimas, Feri Amsari, Hasan, Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Titi Anggraini.

Tapi MK menolak gugatan para tokoh-tokoh nasional itu pada Kamis, 25 Oktober 2018. Hakim menilai, keberatan para pemohon dalam uji materiil tersebut tidak memiliki dasar. Pada 2021, ketentuan ambang batas minimal untuk pencalonan presiden kembali digugat ke MK. Kali ini gugatan diajukan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI 2015-2017 serta Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko.

Baca Juga: Presidential Threshold Melanggar Moralitas, Berntentangan dengan UUD 45 dan Kedaulatan Rakyat

Tapi lagi-lagi gugatan tersebut ditolak. Kali ini MK beralasan karena penggugat dianggap tidak punya legal standing. Sekitar awal 2022, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, Fachrul Razi dan Bustami Zainudin, mendaftarkan gugatan terhadap presidential threshold. Mereka didampingi Refli Harun selaku kuasa hukum. Gugatan itu lagi-lagi dimentahkan oleh MK. Pada 27 Juli 2022, PKS kembali menggugat dan meminta ambang batas diturunkan menjadi 7 hingga 9 persen. Gugatan tersebut diwakili Ketua Umum Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal Aboe Bakar Alhabsyi sebagai pemohon I dan Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Aljufri sebagai pemohon II.

Namun, usaha tersebut ditolak MK karena dinilai merupakan kebijakan politik hukum terbuka atau open legal policy. Presidential threshold juga digugat berbagai elemen masyarakat Pertama, gugatan diajukan oleh tujuh warga Bandung. Kedua, gugatan diajukan empat pemohon. Kemudian ada penolakan gugatan yang diajukan Partai Ummat serta gugatan dari 27 diaspora. MK baru mengabulkan gugatan presidential threshold itu sekarang. Yaitu ketika empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga mengajukan permohonan uji materiil Pasal 222 UU Pemilu. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold.

Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerabel secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya. “Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isr seperti dikutip laman website MK, mkri.id. 

Baca Juga: Hadapi Sengketa Pilkada di MK, KPU Pamekasan Siapkan Bukti-Bukti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO