Buat Dewan Pengawas, DPR Ingin Kendalikan KPK

Buat Dewan Pengawas, DPR Ingin Kendalikan KPK Ray Rangkuti. foto: kini.co.id

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Usulan adanya Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh DPR menjadi polemik tersendiri dalam revisi UU KPK. Sebab, salah satu poin penting dari wewenang dewan pengawas nantinya adalah menyangkut perizinan atas tugas KPK.

Adanya dewan pengawas dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu. Pengamat politik dari Lingkar Mardani, Ray Rangkuti menilai, keberadaan dewan pengawas dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan komite etik di KPK sendiri.

Baca Juga: Pemkot Kediri Ikuti Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi

"Jika dewan pengawas misalnya menggantikan posisi Majelis Etik maka kekuasaan yang ada pada dirinya (KPK) justru jadi bertumpuk-tumpuk. Ia bisa membuat aturan main, lalu mengawasi dan memberi sanksi atas pelanggarannya," kata Ray ketika dilansir merdeka.com di Jakarta, Rabu (3/2).

"Bubarkan saja komite etik KPK kalau begitu," sambung dia.

Dia menambahkan, jika hasil penyadapan penyidik KPK dilaporkan kepada dewan pengawas, hal itu tentu memunculkan dualisme model pertanggungjawaban, yakni ke pimpinan KPK dan dewan pengawas. Bagi Ray model demikian tidak lari jauh dari upaya DPR untuk tetap memegang kendali KPK. "Jika ini terjadi tentu saja DPR ingin agar KPK sebenarnya di bawah kendali mereka," tukas dia.

Baca Juga: Dialog NU Belanda: Politik Balik Modal Dorong Pelumpuhan KPK, Polisi Mirip Dwi Fungsi TNI

Selain itu, jika sampai hak penyadapan KPK harus melalui perizinan dewan pengawas, hal ini justru dinilai Ray memunculkan tradisi baru dalam penegakan hukum dalam perizinan. Sebab, kata dia, domain perizinan secara hukum adalah melalui lembaga peradilan, namun jika melalui dewan pengawas, hal itu merupakan suatu sesat pikir DPR, sebab belum ada lembaga pengawas sekaligus merangkap sebagai perizinan.

"Mereka (DPR) itu tidak sedang dalam pikiran yang logik. Di mana ada penyadapan di luar lembaga yang bukan wewenang dia?" kritiknya.

Ray meminta agar revisi ini harus melihat sisi mana yang seharusnya benar-benar diperlukan untuk diubah dan sisi mana yang harus di pertahankan agar KPK berdiri sebagai lembaga penegak hukum yang benar-benar independen dan tidak diintervensi oleh kekuasan manapun.

Baca Juga: Politikus Rayap, Siapa Mereka?

Hal senada disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo. Ia keberatan dengan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Apalagi, setelah mengetahui isi draf yang dinilainya melemahkan fungsi lembaga tersebut. "Kalau drafnya seperti yang beredar sekarang ini, KPK usul lebih baik dibatalkan," kata Agus melalui pesan singkat, Rabu (3/2).

Sebelumnya, terdapat empat poin perubahan draf revisi UU KPK yang digulirkan DPR. Usulan tersebut, di antaranya, pertama, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. Kedua, penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas.

Ketiga, KPK tak diperbolehkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Terakhir, KPK diberi wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Baca Juga: Cincin Lord of the Ring dan KPK

Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri. ICW, kata Febri, menolak revisi UU KPK. Menurut dia, revisi UU KPK dinilai belum mendesak dan tidak relevan dengan kebutuhan KPK saat ini.

"Kami menolak revisi UU KPK karena belum mendesak dan tidak relevan dengan kebutuhan KPK saat ini," kata Febri saat dihubungi secara terpisah.

ICW pun mempertanyakan maksud dibentuknya Dewan Pengawas KPK. Menurut Febri, KPK cukup diawasi oleh Komisi III DPR. Terkait SP3, kata dia, hal tersebut tidak dibutuhkan. Pasalnya, ketika KPK sudah menetapkan status kasus masuk tahap penyidikan, berarti kasus tersebut telah memiliki minimal dua alat bukti. "Jadi, standarnya sudah tinggi," ujar Febri.

Baca Juga: Aksi Turun Jalan Jilid 2, Ratusan Mahasiswa Tuntut Hentikan Tindakan Pelanggaran HAM

ICW pun mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintah menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK. (dtc/kcm/ns/rol/rmc)

Sumber: merdeka.com/kompas.com/republika.co.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO