Gerindra, PKS, dan PD Tolak Revisi UU KPK, Menkopolhukam Luhut Naik Pitam

Gerindra, PKS, dan PD Tolak Revisi UU KPK, Menkopolhukam Luhut Naik Pitam Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan. foto: detikcom

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan naik pitam dengan adanya penolakan dari berbagai pihak terkait dengan 4 poin Revisi pada Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Luhut – seperti dilansir nbcindonesia.com - menantang pihak-pihak yang menolak revisi UU KPK untuk bertemu dengannya guna berdiskusi pentingnya UU KPK direvisi.

Baca Juga: Pemkot Kediri Ikuti Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi

"Orang yang bilang nggak setuju (revisi UU KPK) datang ke saya. Saya memang nggak ahli hukum, tapi sedikit-sedikit ngerti hukum," ujar Luhut di Kantor Kemenkopolhukam, Jumat (12/02/2016).

Mantan Kepala Staff Kepresidenan itu juga tak mempermasalahkan penolakan terhadap Revisi UU KPK. "Kalau tidak mau, ya gampang aja itu. Jadi kalau soal UU KPK kita sepakat pada 4 poin itu ya udah firm di situ," kata Luhut.

Ia mengaku heran terhadap orang yang menolak revisi UU KPK. Pasalnya, menurut Luhut, empat poin yang diusulkan untuk direvisi justru dalam rangka memperkuat KPK. Poin itu, misalnya, usul soal wewenang penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kasus yang tersangkanya sudah meninggal, kata Luhut, seharusnya dihentikan KPK.

Baca Juga: Dialog NU Belanda: Politik Balik Modal Dorong Pelumpuhan KPK, Polisi Mirip Dwi Fungsi TNI

"Masak orang sudah mati tetap dihukum? Orang sudah meninggal dunia, kasusnya tidak di-SP3? Di mana hak asasi manusianya?" ujar Luhut di kantornya di Jakarta, Jumat (12/2/2016).

Soal lain, yakni penyadapan harus seizin dewan pengawas. Menurut Luhut, penyadapan memang harus diperketat supaya tidak disalahgunakan. Luhut menyebut adanya pengalaman KPK sebelumnya yang melakukan penyadapan secara seenaknya. Namun, Luhut tidak menjelaskan penyimpangan penyadapan yang dimaksudnya.

"Yang enggak boleh itu kayak dulu, mau nyadap semaunya. Nah, sekarang harus ada persetujuan standing operation dari KPK," ujar Luhut dikutip dari tribunnews.com.

Baca Juga: Politikus Rayap, Siapa Mereka?

Ia menegaskan, persetujuan penyadapan dari dewan pengawas bukannya memangkas wewenang KPK. Selama tindakan penyadapan ditujukan untuk pelaku korupsi, hal itu tidak jadi soal. "Kalau memang ada dosanya, ya ngapain juga mesti minta izin pengadilan? Lakukan saja. Makanya harus diseleksi semuanya," ujar Luhut.

Beberapa pihak yang menolak revisi UU KPK mengatakan, jika KPK harus lapor dulu ke Dewan Pengawas, penyadapan yang dilakukan KPK rawan bocor. Apalagi jika Dewan Pengawas itu dari anggota DPR.

Sementara Fraksi Partai Demokrat dengan tegas menolak revisi RUU KPK untuk dibawa ke rapat paripurna DPR RI, kemarin. Penolakan tersebut terjadi karena Fraksi Demokrat belum menerima naskah akademik dan baru menerima draf RUU KPK saat rapat berlangsung.

Baca Juga: Cincin Lord of the Ring dan KPK

"Rabu kemarin, Badan Legislatif mengadakan rapat. Ketika pembahasan itu, kami baru menerima draf RUU KPK," ujar Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto saat memberi keterangan di Menteng, Jakarta, Jumat (12/2/2016).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga akhirnya mengambil sikap soal revisi UU KPK. PKS makin mengarah menolak revisi UU KPK. "Hasil keputusan pleno fraksi PKS hari Kamis tanggal 11 Februari menolak melanjutkan pembahasan RUU revisi UU KPK," kata Ketua Fraksi PKS DPR, Jazuli Juwaini, kepada detikcom, Jumat (12/2/2016).

Namun masih ada beberapa butir sarat. Seolah PKS tak ingin balik badan langsung seperti PD yang kini terang benderang menolak revisi UU KPK.

Baca Juga: Aksi Turun Jalan Jilid 2, Ratusan Mahasiswa Tuntut Hentikan Tindakan Pelanggaran HAM

"Kecuali untuk menguatkan KPK agar dengan penguatan tersebut lembaga ini lebih berani menindak dan mengungkap kasus-kasus besar, jangan kasus kelas teri, kedua pemerintah kompak dan konsisten mau membahas bersama-sama dengan DPR, jangan sampai terkesan centang perenang antara Menkum HAM dan Presiden dan lingkaranya seakan ada ketidakkompakan di antara mereka," kata Jazuli seperti dilansir detik.com.

Ini berarti ada tiga Fraksi di DPR yang menolak revisi UU KPK. Semula Gerindra yang secara tegas menolak revisi UU KPK, Kemudian diikuti Partai Demokrat dan PKS. Yang mendukung revisi UU KPK adalah fraksi PDIP, PKB, Golkar, Nasdem, PPP, PAN dan Hanura.

Menurut Didik, sejak awal Fraksi Demokrat keberatan UU KPK masuk dalam pembahasan badan musyawarah DPR, apalagi belum menerima draf RUU yang akan dibahas.

Baca Juga: Presiden Rakyat atau Presiden Partai?

Oleh karena itu, Fraksi Demokrat tidak bisa memberikan pendapat resmi atas revisi UU KPK saat rapat paripurna. Akhirnya, rapat paripurna yang rencananya akan berlangsung kemarin, Kamis (11/2/2016), ditunda.

"Kami tidak ingin UU KPK dibawa ke pembahasan (rapat) paripurna. Kami ingin tiap fraksi mendalami lebih dulu agar penguatan KPK terwujud," kata Didik.

Fraksi Partai Demokrat telah mencatat beberapa poin yang menjadi dasar penolakan perubahan. Menurut penuturan Didik, ada poin-poin yang membatasi ruang gerak dan cenderung memperlemah KPK.

Baca Juga: Ratusan Mahasiswa IAIN Madura Lakukan Aksi Damai Tuntut Dewan Tolak RUU KUHP dan UU KPK

Poin pertama terkait penyadapan dengan persetujuan dewan pengawas. Didik melihat poin tersebut mendegradasi indepedensi KPK dan disinyalir akan ada intervensi kekuasaan.

"Dewan pengawas ini akan ditunjuk oleh Presiden. Seharusnya, KPK bebas dari kepentingan apa pun. Peluang yang terjadi, dewan pengawas ini memiliki kepentingan yang ingin mengendalikan KPK," ujarnya.

Poin kedua adalah soal surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Didik menganggap kewenanan SP3 ini justru akan melemahkan KPK. Dengan SP3, siapa saja menyalahgunakan kewenangan KPK. "Kalau untuk penghentian penyidikan, kan solusinya bisa melalui praperadilan," ucap Didik.

Baca Juga: Mahasiswa Blitar Bersatu Demo Tuntut Penerbitan Perppu KPK

Poin terakhir yang juga harus dikhawatirkan adalah soal penyitaan. Bagi Demokrat, penyitaan merupakan bagian dari kinerja yang tidak terpisahkan di KPK.

Jika KPK harus meminta izin dewan pengawas, itu tentu akan memperlambat kerja KPK dan penyitaan bisa saja tidak diizinkan jika ada konflik kepentingan di dalamnya.

"Usul saya, sebaiknya KPK membuat standard operational procedure yang lebih terbuka dan akuntabel. Jadi, DPR lebih mudah dalam meminta pertanggungjawaban dan publik pun bisa ikut mengawasi," ucapnya. (tim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO