JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kali ini, penyidik menangkap salah satu pejabat di Mahkamah Agung dalam operasi tersebut. Berdasarkan informasi, salah satu pihak yang diamankan KPK adalah Kasubdit Pranata Perdata MA berinisial AS.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menilai, penangkapan ini membuktikan bila perubahan kewenangan melalui revisi UU KPK jelas tidak dibutuhkan untuk saat ini. Menurut dia, OTT yang berhasil dilakukan KPK menunjukkan kewenangan penyadapan berjalan efektif dan efisien.
Baca Juga: Pemkot Kediri Ikuti Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi
"Saya kira apa yang dilakukan KPK ini bagus. Bukti revisi UU KPK tidak dibutuhkan," kata Bivitri dalam diskusi "Ada Apa Lagi KPK" di Jakarta Pusat, Sabtu (13/2).
Praktisi hukum Refly Harun yang juga jadi pembicara dalam diskusi tersebut mengaku tak setuju revisi UU KPK. Refly mengkritik indikator yang mendorong UU ini harus direvisi.
"Saya kira kalau mengubah UU mesti ada indikator, salah satunya penting dan mendesak, kalau memang ada masalah konstitusional. Kedua, (kinerja KPK) tidak efektif. Nah, ini dua-duanya tidak terpenuhi menurut saya," kata Refly.
Baca Juga: Dialog NU Belanda: Politik Balik Modal Dorong Pelumpuhan KPK, Polisi Mirip Dwi Fungsi TNI
Lebih lanjut Refly menjelaskan, dibandingkan penegak hukum lain yang juga menangani kasus korupsi, KPK lebih unggul. Salah satu indikatornya adalah KPK bisa menciduk koruptor yang selama ini dianggap tak tersentuh hukum.
"Saya hanya ingin menunjukkan KPK efektif, lebih efektif dari penegak hukum yang lain. Indikatornya adalah menangkap orang-orang yang untouchable," pungkasnya.
Sementara Partai Demokrat mendesak pemerintah untuk segera mengambil sikap setelah menerima draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari DPR.
Baca Juga: Politikus Rayap, Siapa Mereka?
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin menilai draf revisi UU tentang KPK kemungkinan besar akan lolos di DPR, mengingat hanya dua atau tiga fraksi saja yang menolak revisi tersebut.
"Kemudian drat itu akan sampai ke pemerintah. Dari situ pemerintah harus langsung mengambil sikap menerima atau menolak," katanya di Jakarta, Sabtu (13/2).
Menurutnya, sikap tegas pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo merupakan kunci untuk meredakan polemik di masyarakat terkait rencana revisi UU KPK yang telah berlangsung sejak Juni 2015 itu.
Baca Juga: Cincin Lord of the Ring dan KPK
Sebagai salah satu fraksi yang menolak revisi UU KPK selain Gerindra dan PKS, Demokrat menganggap pembuatan draf revisi UU KPK terkesan terburu-buru dan tanpa peninjauan mendalam oleh beberapa pihak yang kredibel seperti akademisi.
"Akademisi, pegiat antikorupsi, sampai masyarakat kecil harusnya diundang dalam audiensi tentang perlu tidaknya revisi UU KPK. Tetapi dalam proses revisi kali ini tidak ada langkah tersebut, karena itu Demokrat menolak," jelasnya.
Selain itu, Partai Demokrat menganggap lima poin perubahan UU KPK yang telah dibahas oleh DPR justru menimbulkan masalah hukum yang akan melemahkan KPK.
Baca Juga: Aksi Turun Jalan Jilid 2, Ratusan Mahasiswa Tuntut Hentikan Tindakan Pelanggaran HAM
"Kalau Presiden mencermati dengan baik (kekurangan dalam draf RUU KPK), dia cenderung akan menolak," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi melalui Staf Khusus Bidang Komunikasi Presiden Johan Budi SP menyampaikan akan menolak tegas revisi UU KPK jika memperlemah lembaga antikorupsi tersebut.
"Kalau revisi dimaksudkan untuk memperlemah KPK, Presiden tegas, pemerintah akan menarik diri dari pembahasan revisi UU itu," kata Johan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (9/2).
Baca Juga: Presiden Rakyat atau Presiden Partai?
Ia menyebutkan revisi yang memperlemah KPK misalnya pembatasan atau pemangkasan kewenangan yang selama ini dimiliki KPK. Selain itu, Presiden Jokowi juga akan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang muncul belakangan ini terkait revisi UU KPK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News