JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Presiden Joko Widodo telah menandatangani Surat Presiden (surpres) untuk menyetujui revisi Undang-Undang KPK. Dengan ditandatanganinya Supres tersebut, DPR dapat melanjutkan pembahasan revisi UU tersebut.
"Presiden sudah menyampaikan. Jadi (surpres) sudah dikirim ke DPR," ujar Luhut di Bandar Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Jumat (19/2).
Baca Juga: Pemkot Kediri Ikuti Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi
Namun, Luhut tidak ingat kapan Jokowi menandatangani surpres tersebut. Dia hanya menyebut bahwa dalam surpres itu, Presiden menunjuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk ikut dalam pembahasan revisi dengan DPR.
Luhut juga menambahkan, surpres revisi UU KPK telah dikirim ke DPR bersamaan dengan surpres untuk revisi UU Terorisme dan UU Tax Amnesty. Kendati menyebut Presiden sudah menandatangani surpres, Luhut mengatakan, pemerintah hingga kini belum tahu detail isi revisi UU pemberantasan korupsi tersebut.
"Jujur kita belum tahu detailnya apa yang di DPR. Tapi kalau dari pemerintah sendiri posisinya jelas, tidak ada niat sama sekali untuk memperlemah, malah memperkuat," ucap dia.
Baca Juga: Dialog NU Belanda: Politik Balik Modal Dorong Pelumpuhan KPK, Polisi Mirip Dwi Fungsi TNI
Namun, pernyataan Luhut dibantah Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi SP. Menurutnya, penerbitan surpres baru dapat dilakukan bila draf revisi dari DPR RI telah diterima.
"Bagaimana presiden mengirim surpres? Draf RUU-nya saja belum diparipurnakan oleh DPR dan belum dikirim ke Presiden. Pembahasan di tingkat paripurna DPR saja kemarin Kamis dibatalkan dan diundur pekan depan. Jadi tidak benar kalau Presiden sudah mengirim surpres revisi UU KPK," ucap Johan seperti dilansir Liputan6.com.
Johan tegas membantah Jokowi telah menyetujui Revisi UU KPK yang telah disetujui oleh 9 fraksi di DPR. Menurut dia, sikap Jokowi hingga kini masih konsisten, yaitu menolak poin-poin revisi yang memperlemah KPK.
Baca Juga: Politikus Rayap, Siapa Mereka?
"Gelombang penolakan revisi UU KPK dari masyarakat yang semakin luas dan juga adanya beberapa fraksi yang berbeda sikap akan menjadi pertimbangan presiden untuk bersikap apakah perlu dilanjutkan atau tidak pembahasan tersebut," ujar Johan.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyatakan belum mengetahui bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Surpres terkait revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Saya belum tahu. Memang kemarin kan dibicarakan lagi hari Selasa. Saya kira akan tergantung pada paripurna," ujar Fadli.
Baca Juga: Cincin Lord of the Ring dan KPK
Fadli menegaskan, sebetulnya akan sangat tergantung pada pemerintah. Pembahasan RUU KPK sudah ada dan sudah masuk program prioritas pada bulan Juni, tetapi pemerintah sempat menolak.
Oleh karena itu, ia menegaskan harus ada kesepakatan dari dua belah pihak, yakni pemerintah dan DPR. Pemerintah dianggap seakan tidak tegas dan menarik ulur RUU KPK.
"Yang kita ragukan juga dari pemerintah ada maju mundur dalam beberapa hal. Makanya coba kita liat apa betul sudah ada surpresnya. Kalau ada kesepakatan bahas ini melalui rapur baru surpres turun," tambahnya. Fadli pun menyatakan perlu konsultasi untuk membahas RUU KPK agar adanya kejelasan lanjut atau tidaknya.
Baca Juga: Aksi Turun Jalan Jilid 2, Ratusan Mahasiswa Tuntut Hentikan Tindakan Pelanggaran HAM
Dia menegaskan, keseriusan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK masih diragukan. Sebab, tahun lalu, pemerintah yang justru mengambil sikap untuk menunda pembahasan. Padahal, sejak awal revisi UU KPK adalah inisiatif dari pemerintah.
Ia menyatakan DPR akan memeriksa apakah surpres dari Presiden memang sudah benar-benar ada. Kalau memang sudah ada, justru membuktikan pemerintah yang ngotot ingin revisi UU KPK terjadi. Sebab, pembahasan di DPR terkait revisi UU KPK apakah disepakati menjadi inisiatif DPR masih belum final.
"Kita lihat apa betul ada Surpresnya, karena itu yang kita ragukan juga dari pemerintah ada maju-mundur dalam beberapa hal," ujarnya.
Baca Juga: Presiden Rakyat atau Presiden Partai?
Fadli menambahkan, secara sistem dan kebiasaan pembahasan UU, Surpres keluar setelah ada keputusan di sidang paripurna. Rapat paripurna sendiri sudah tertunda dari jadwal yang seharusnya ditetapkan hari Kamis (18/2) kemarin.
Jadi, saat ini keputusan apakah revisi UU KPK akan menjadi usulan DPR tergantung dari rapat paripurna depan. Suara fraksi pun belum bulat untuk mengusung revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Tiga fraksi, Gerindra, PKS dan Demokrat sudah menegaskan menolak revisi UU KPK jadi usulan DPR.
Sementara pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai perubahan UU KPK menguatkan kesan adanya pihak yang terganggu dengan kekuatan lembaga antirasuah itu. Menurutnya, fraksi-fraksi pendukung revisi melawan aspirasi publik.
Baca Juga: Ratusan Mahasiswa IAIN Madura Lakukan Aksi Damai Tuntut Dewan Tolak RUU KUHP dan UU KPK
"Bukan soal penguasa atau tidak, tapi siapa yang akan merasa terganggu atau tidak. PDIP, PKB, NasDem, mereka merasa penting untuk meredam kehandalan KPK dengan taktik melalui dewan pengawas," ujar Ray seperti dilansir Okezone.
Ray menambahkan, sikap Demokrat dan PKS yang berbalik, menunjukkan bahwa partai memang harus mewakili kepentingan publik. Terlebih dari sejumlah hasil survey, menunjukkan bahwa masyarakat resisten terhadap rencana DPR mengubah UU KPK.
"Masalahnya adalah, ada partai yang melihat reaksi publik negatif mereka mundur. Karena partai perwakilan kepentingan publik. Jangan dianggap publik tidak ngerti, terlalu naif. Seolah masyarakat tidak faham, DPR ngotot jalan terus. Kalau dari survey jelas masyarakat tidak pingin direvisi. Nah Demokrat, PKS menarik diri," imbuhnya.
Baca Juga: Mahasiswa Blitar Bersatu Demo Tuntut Penerbitan Perppu KPK
Jika parlemen nekat merevisi UU KPK, Ray meramalkan partai yang mendukung perubahan tersebut bakal dihukum oleh publik. Caranya ialah, pada Pilkada mendatang, masyarakat akan apatis terhadap calon yang diusung oleh partai yang sepakat merevisi kewenangan lembaga antirasuah itu.
"Sanksi publik akan berpikir bakal memilih partai (pendukung revisi) itu atau tidak. Di pilkada kala ada kader gembar-gembor anti korupsi publik akan berpikir, lah lembaganya dilemahkan gimana sih," sambungnya.
Sebab itu, Ray menegaskan, partai yang menyepakati revisi sebagai wakil yang tak peka dengan aspirasi konstituennya. Mayoritas masyarakat, tidak menyepakati KPK diawasi oleh dewan pengawas sebagaimana diajukan oleh DPR melalui rencana perubahan UU KPK.
"Tanda-tanda publik marah kelihatan, biarkan aja nanti mereka akan dihukum publik. Mereka tidak punya hak moral karena publik mengatakan jangan dilanjutkan. Kalau para pemilik mandat mengatakan jangan dilanjutkan, hak moral gimana? bukan hanya tida peka tapi juga mau melawan aspirasi publik," tukasnya. (mer/tic/det/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News