JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Kisruh Lapangan Gas Abadi Blok Masela yang melibatkan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dinilai bisa berujung pada perombakan (reshuffle) kabinet jilid II.
Menanggapi hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan evaluasi terhadap menteri merupakan kewenangan penuh Presiden Joko Widodo. Dia mengatakan segala bentuk evaluasi, termasuk jika ada reshuffle akan sangat tergantung dengan sikap presiden.
Baca Juga: PB PMII: Blok Masela Harus Memenuhi Aspek untuk Kesejahteraan Rakyat
Jusuf Kalla meminta para menteri tidak membawa perdebatan yang terjadi di dalam rapat terbatas atau pertemuan ke ranah publik. "Boleh beda pendapat, tapi di dalam. Tidak boleh di luar," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, 3 Maret 2016.
Perdebatan menteri yang masih hangat diperbincangkan adalah antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Keduanya berbeda pandangan tentang wacana pengelolaan blok minyak dan gas di Kepulauan Masela, Maluku.
Sebelumnya, Wapres menilai salah satu faktor gaduhnya Kabinet Kerja ada seorang menteri koordinator yang bertindak di luar kapasitasnya. Bahkan, menteri itu mengubah nama kementeriannya. Menteri tersebut tak lain Rizal Ramli.
Baca Juga: Kisruh Blok Masela: Para Menteri Geger Lagi, Jokowi Minta Dirinya tak Dilangkahi
Salah satu perubahan adalah Kemenko Maritim, yang menjadi Kemenko Maritim dan Sumber Daya. Menurut Jusuf Kalla, tidak ada perubahan di kementerian tersebut. "Tetap Menko Maritim. Tidak ada itu sumber daya," kata dia.
Kegaduhan para menteri juga menjadi perhatian para politisi di DPR, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Golkar hasil Munas Riau, Tantowi Yahya mengakui bahwa reshuffle kabinet adalah hak prerogatif Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Jadi bisa saja presiden menyikapi konflik terbuka yang ada di antara menteri tersebut, menjadi pintu masuk bagi beliau untuk melaksanakan reshuffle jilid II," ujar Tantowi.
Namun, jika reshuffle kabinet jilid II itu dilakukan nantinya diharapkan tidak menimbulkan kegaduhan baru. "Ketika presiden itu menganggap bahwa perlu penyegaran, perlu wajah-wajah baru, perlu pergantian terhadap organ-organ di dalam kabinet yang sudah tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak presiden, ya silakan saja presiden," tuturnya.
Dirinya berpendapat, sebenarnya silang pendapat adalah hal yang wajar di dalam era demokrasi. Namun, khusus bagi jajaran Kabinet Kerja, sebaiknya silang pendapat itu tidak dilakukan di ruang terbuka.
"Karena kalau itu dilakukan di ruang terbuka, itu akan menimbulkan banyak efek misalnya efek ketidakkompakan tim pembantu presiden, kemudian bisa juga menimbulkan efek ketidakpastian pemerintah ini ya dalam membuat sebuah keputusan," katanya.
Maka itu, dia berharap silang pendapat antara Sudirman Said dengan Rizal Ramli itu dilakukan di ruang tertutup.
Sementara Sekretaris Fraksi Partai Hanura, Dadang Rusdiana mengatakan, presiden Jokowi harus mencopot menteri yang berbuat gaduh di ranah publik. Tujuannya, kata Dadang, adalah untuk menghentikan polemik dan saling ribut antara keduanya.
"Ya sudah presiden bertindak tegas, copot salah satunya, itu jawabannya, daripada menjadi beban pemerintah," kata Dadang.
Menurut Dadang, wajar bila Presiden Jokowi marah karena ulah kedua menteri tersebut. "Karena perdebatan ini kalau dibiarkan akan mengganggu wibawa presiden," kata dia.
Dikatakannya, perselisihan antara Rizal Ramli dan Sudirman Said disebabkan karena kepentingan pribadi atau kelompok. "Yang diperdebatkan kan menyangkut persoalan yang beraspek investasi," kata Dadang.
"Masa masalah perbedaan yang harusnya diselesaikan dalam rapat kabinet, kok dibawa ke ruang publik," sesalnya.
Sedangkan Partai Nasdem mengatakan hal tersebut bukan perseteruan pertama kalinya dari kedua menteri tersebut. Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua Fraksi NasDem Johnny G Platte menilai perseteruan itu akan memunculkan pesimisme bagi market dan publik.
"Kegaduhan dan silang pendapat para menteri, tidak saja akan menurunkan kepercayaan investor tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat luas terhadap kebijakan pemerintah. Distrust public sangat berbahaya bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa," kata Plate.
Plate berharap, jika memang ingin ada dinamika pertukaran opini, seharusnya tak dibuka ke publik. Sebab akan memicu kegaduhan.
Menanggapi kegaduhan tersebut, pihak istana berencana memanggil kedua menteri. Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan Presiden Joko Widodo akan memanggil sejumlah menteri yang memicu kegaduhan untuk meminta penjelasan. Menurut dia, Presiden Jokowi menginginkan agar kegaduhan yang terjadi segera berakhir.
"Kalau bahasa Presiden itu nanti akan dimintai penjelasan. Tentu akan dipanggil," kata Johan.
Menurut Johan, Presiden Jokowi sejauh ini mentoleransi adanya perbedaan yang tajam antar para menterinya. Tapi, kata dia, Presiden berkali-kali mengingatkan agar perbedaan ini tidak dibawa ke publik. "Ketika ruang diskusi selesai di ruang itu, maka ketika keputusan ada di Presiden maka itu tidak lagi diperdebatkan di ranah publik," katanya.
Johan mengatakan Presiden Jokowi tidak hanya akan meminta penjelasan pada dua menteri yang kini tengah terlibat saling serang. Menurut dia, Presiden akan meminta penjelasan pada semua menteri yang dinilai Presiden sudah membuat gaduh. Ia enggan menyebut siapa saja menteri yang menurut penilaian presiden sudah membuat gaduh. Mengenai waktu, Johan mengatakan kemungkinan para menteri itu akan dipanggil setelah Presiden pulang dari kunjungan ke Sumatera.
"Setelah ini pasti ada, paling tidak ada rapat kabinet. Dalam rapat kabinet, bisa saja menyampaikan apa yang menjadi atensi Presiden," kata Johan.
Selain memanggil para menterinya, Johan mengatakan kegaduhan yang terjadi saat ini tentunya menjadi bahan evaluasi Presiden atas para menterinya. Menurut dia, Presiden juga pasti sudah memiliki "second opinion" mengenai para menterinya. Pendapat ini, kata dia, tentunya tidak datang dari sesama menteri dalam kabinet.
"Presiden pasti punya ukuran sendiri, informasi sendiri yang kemudian bisa menjadi dasar Presiden untuk melakukan evaluasi pada para menterinya," katanya. (mer/tic/det/rol/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News