Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com – “Tsumma kulii min kulli altstsamaraati fauslukii subula rabbiki dzululan yakhruju min buthuunihaa syaraabun mukhtalifun alwaanuhu fiihi syifaaun lilnnaasi inna fii dzaalika laaayatan liqawmin yatafakkaruuna”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Untuk membahasakan obat, al-Qur'an menggunakan kata "syifa". Ada dua benda yang disifati sebagai fungsi obat oleh al-Qur'an. Pertama, al-Qur'an itu sendiri. "Wanunazzil min al-Qur'an ma huw syifa'.." (al-Isra':82)
Kedua, madu seperti tertera pada ayat studi ini, "Yakhruj min buthuniha syarab mukhtalif alwanuh, fih syifa' li al-nas". Itulah, maka Rasulullah SAW menunjuk dua hal tersebut sebagai obat.
Ayat ini mengandung dua pelajaran: Pertama, bahwa Tuhan telah menyediakan dua obat, yakni al-qur'an dan madu. Ini adalah penunjukan, di mana memang keduanya adalah benar-benar obat. Tidak berarti menafikan adanya obat-obat yang lain.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Kedua, dengan ditunjuknya al-qur'an dan madu sebagai obat, maka tersirat pesan, bahwa seseorang yang tertimpa sakit seharusnya berobat. Dengan kata lain, berobat itu diperintah. Untuk apa Tuhan menyediakan obat, jika tidak untuk dimanfaatkan.
Pemikiran inilah yang menjadi dasar para ulama yang mewajibkan usaha berobat. Dengan kondisi sehat, maka segalanya menjadi mudah dan ibadah pun bisa dilakukan secara maksimal. Maksimalisasi ibadah inilah arah menuju ketaqwaan tingkat tinggi. Itulah yang digadang-gadang oleh setiap orang beriman.
Lain lagi dengan sebagian ulama sufi yang memandang ayat tersebut dari perspektif lain. Memang ayat tersebut menunjuk obat, tapi hanyalah penunjukan biasa, hanyalah servis Tuhan kepada hamba-Nya kalau-kalau mereka menghendaki berobat. Tidak berarti secara otomatis memerintahkan berobat. Berobat adalah pilihan dan suka-suka. Sebab, ternyata banyak kebaikan yang ada selama seseorang menderita sakit.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Orang yang jatuh sakit ternyata makin dekat dengan Tuhan, aktif menyebut asma-Nya, aktif beristighfar serta memohon kesembuhan. Kedekatan mana tidak dijumpai saat dia dalam keadaan sehat, bugar apalagi bergelimang uang. Bagi ulama berpemikiran ini, sakit dianggap anugerah, karena makin bisa berdekat-dekat dengan Tuhan. Berobat, bagi mereka justru menghentikan bercengkerama bersama Tuhan.
Beribadah dalam keadaan sakit memang sakit, memang berat dan payah. Tapi justru di dalam kapayahan itu pahala digandakan. Tuhan memberi bonus khusus dalam hal ini. Abu Darda' dan Abdullah ibn Mas'ud adalah sosok mukmin dari kalangan sahabat yang menikmati sakit sehingga tidak mau berobat. Diriwayatkan, Ibn Mas'ud hingga menemui ajal tanpa berobat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News