Sinergi Tasawuf-Filsafat, Mencipta Insan Kamil

Sinergi Tasawuf-Filsafat, Mencipta Insan Kamil

”Segala sesuatu tidak ada. Jika ada pun, maka tidak dapat diketahui. Atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan.” Georgias

Mewacanakan tasawuf dan identik membicarakan air dan minyak. Tak ketemu. Sebab berpangkal pada otak (akal, fikr) sedang tasawuf berpangkal pada hati (qalb). Memang. Namun, meski bertolak dari tempat berbeda, sejatinya masih dalam wadah yang sama, yaitu MANUSIA. Baik akal maupun hati berada dalam satu rumpun: MANUSIA.

Manusia, selain dianugerahi akal dan hati – dua dimensi terbaik dalam kemanusiaan - juga diberi nafsu. Nah, sebelum masuk kepada pembahasan sinergi dan tasawuf, dalam tulisan ini akan dibicarakan dulu tentang nafsu, hati dan akal.

Peringkat Nafsu

Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI dan UIN Jakarta, menyatakan bahwa dalam Alqur’an kalimat nafs digunakan untuk menyebut totalitas manusia, sisi dalam manusia (jiwa), penggerak tingkah laku dan diri Tuhan.

Dalam surat as Syams 9-10 bahwa nafs itu diciptakan Tuhan secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat. Kualitas nafs tiap orang berbeda-beda tergantung bagaimana usaha masing menjaganya dari hawa (Q/79:40), yakni dari kecenderungannya kepada syahwat, karena menuruti dorongan syahwat itu, seperti yang dikatakan oleh al Maraghy, merupakan tingkahlaku hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan potensi akal yang menandai keistimewaannya.

Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia sering disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cenderung bersifat rendah. Al Qur’an membagi tingkatan nafs pada dua kelompok besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat rendah. Nafs martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang yang taqwa, yang takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk Nya serta menjauhi laranganNya. Sedangkan nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang yang menentang perintah Allah dan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan Nya, serta orang-orang yang sesat, yang cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran.

Secara ekplisit Al-Qur’an menyebut tiga jenis nafs

, yaitu (1) an nafs al mutmainnah,(2) an nafs al lawwamah , dan (3) an nafs al ammarah bi as su’.

Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi.

Ayat-ayat yang secara ekplisit menyebut ketiga jenis nafs itu adalah sebagai berikut :

artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas atau damai lagi diridaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hambaku, dan masuklah ke dalam surga Ku (Q/89:27-30)

artinya : Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q/75:1-2).

artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyyayang (Q/12: 53)

Disamping tiga penggolongan tersebut, Al-Qur’an juga menyebut term ??? ?????? pada anak yang belum dewasa, seperti tersebut dalam surat al Kahfi: 73

artinya : Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: Mengapa kamu bunuh jiwa yang suci, bukan karena dia membunuh orang lain ?. Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar. (Q/18:74).

Dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, yakni ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya masih suci (zakiyyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespon secara positif terhadap lingkungan hidupnya maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs mutma’innah setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkatan nafs lawwamah.

Ketika nafs mencapai tingkat mutma’innah pastilah ia menyandang predikat zakiyyah (jiwa suci). Akan tetapi jika nafs itu merespon lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya.

Posisi Akal

Dalam Islam posisi akal sangat sentral. Bahkan akal dimasukkan dalam konsep al-kulliyat al-khamsah, atau lima prinsip yang mendasari keseluruhan hukum dan ketentuan-ketentuan dalam Islam yang harus dijaga. Lima prinsip itu adalah:

1. Memelihara Jiwa dan Nyawa (Hifdz al-Nafs).

2. Memelihara Akal (hifdz al-‘aql)

3. Memelihara Keturunan (Hifdz al-Nasl)

4. Memelihara Harta (Hifdz al-Mal)

5. Memelihara Agama (Hifdz al-Din).

Demikian sentralnya posisi akal sampai disejajarkan dengan menjaga agama, jiwa, harta dan keturunan.

Imam al-Syathiby menyebut lima prinsip ini sebagai al-dharuriyyat yaitu sejumlah nilai yang menjadi sebuah keharusan untuk tegaknya kemaslahatan agama dan dunia. Bila nilai-nilai tersebut hilang, maka dunia akan rapuh pula, sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi manusia. Karenanya, nilai-nilai tersebut disebut sebagai nilai-nilai yang menjadi keharusan (al-dharuriyyat), bahkan untuk semua agama dan aliran kepercayaan.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO