PONOROGO, BANGSAONLINE.com - Hingar bingar dan carut marut di negeri akibat konflik SARA (sukun agama dan ras) sama sekali tidak terdengar di dusun Sodhong, desa Gelang Kulon, Kecamatan Sampung Ponorogo. Jangan dikira kerukunan yang ada di sana karena penduduknya homogen, sebaliknya justru sangat heterogen dari sisi suku maupun agama. Jumlah pemeluk Islam, Hindu-Budha dan Kristen bisa dikatakan seimbang, namun mereka memiliki toleransi yang sangat tinggi.
Jangan dikira pula seluruh wilayah kecamatan Sampung menjadi daerah tertinggal. Sebaliknya Sampung adalah ibu kota Kecamatan yang sangat modern dari sisi bangunan fisik. Sampung bak kota megah dan modern yang ada di tengah hutan. Mengapa? Sebagian besar penduduknya adalah pekerja migran yang ingin membangun desanya.
Baca Juga: Tak Ada Data, Keluarga Kiai Besari Minta Gus Miftah Tak Ngaku-Ngaku Keturunan Kiai Besari
“Monggo mas, mangayu bagyo, mugi sedoyo pinaringan rahayu. Keselamatan,” ujar sepuh dusuen setempat, Saiman (86) menyambut kedatangan BANGSAONLINE saat perayaan Waisak, Minggu (22/5).
Saiman selain sesepuh dusun dia juga pemuka agama Budha setempat. Dia menjadi panutan setiap umat Budha setempat, namun demikian dia tetep sederhana dan santun seperti warga desa kebanyakan.
Baca Juga: Tinjau Banjir Ponorogo, Pj Gubernur Adhy Fokuskan Evakuasi Warga dan Perbaikan Tanggul Jebol
“Acara hayat dimulai satu bulan yang lalu Mas, tadi malam penutupan dan dirangkaikan dengan detik-detik waisak pukul 04.00 WIB tadi pagi. Detik-detik waisak adalah hari lahir Budha, waktu menerima wahyu dan saat Budha meninggal menuju nirwana, yaitu saat sempurnanya bulan purnama,” ujar Saiman bercerita soal Waisak.
Saiman menjelaskan, bagi dia, agama adalah baju, ketika baju itubagi di lepas maka yang agama Budha, Islam, Kristen, Hindhu, dan yang lain tidaklah bisa dibedakan. Kulitnya sama, darahnya sama dan semuanya sama bagi makhluk manusia. Untuk itu kita tidak boleh saling mengganggu dan sebaliknya harus saling menolong sehingga semua makhluk berbahagia.
Menurut ketua vihara Dharma Dwipa, Suwandi, mengatakan: “Acara penutupan sebulan menghayat ajaran Budha tadi malam di hadiri oleh muspika, tokoh agama dari 3 kepercayaan dan seluruh umat, kami berupaya untuk sungguh-sungguh menjalankan ajaran Budha termasuk menjaga kerukunan dengan sesame dan penganut agama lain,” ujar dia.
Baca Juga: Di Sanggar Kesenian Langen Kusumo Ponorogo, Khofifah Apresiasi Inovasi Pelestarian Reog
Dan sesuai dengan adat setempat, umat Budha juga menggelar anjang sana (silaturahim) kepada seluruh penduduk, baik yang beragama Budha maupun muslim. Layaknya perayaan, mereka juga menyediakan makanan dan kue-kue layaknya lebaran Idul Fitri bagi umat Islam. “Semua saling memaafkan, semoga semua bahagia,” tambah Suwandi, yang merupakan putra bungsu dari Saiman.
Mulyono yang merupakan Kepala Dusun Sodhong menyatakan, keragaman dan kerukunan di Sodhong sudah berlangsung sejak lama. Mereka sepakat akan mempertahankan tradisi itu sampai kapanpun. Dan sebisa mungkin akan mewariskan keluhuran budaya itu pada anak cucu.
“Kami saling membantu dan kerja bakti bersama, saat mau lebaran dan mau Waisak, maupun saat hajatan warga. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing,”ujar Mulyono.
Baca Juga: Kalaksa BPBD Jatim Resmikan Rekonstruksi Jembatan Terdampak Bencana di Kabupaten Ponorogo
Sementara Kepala Desa Gelang Kulon, Surono menyatakan, Sodhong merupakan wilayah yang istimewa. Pengikut Budha yang berjumlah 30 KK atau 125 jiwa, bisa hidup berdampingan dengan saudaranya yang beragama Islam dan Katolik. “Kami akan terus membawa suasana kondusif ini sampai kapanpun,” ujar Kades.
Kami juga akan meningkatkan pembangunan infrastruktur, terutama jalan untuk mempermudah akses menuju dusun Sodhong, tambah Surono. (po2/jar/ns)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News