Tafsir Al-Nahl 73-74: Tak Berdasar, Bertuhan kepada Selain Allah

Tafsir Al-Nahl 73-74: Tak Berdasar, Bertuhan kepada Selain Allah ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Waya’buduuna min duuni allaahi maa laa yamliku lahum rizqan mina alssamaawaati waal-ardhi syay-an walaa yastathii’uuna. Falaa tadhribuu lillaahi al-amtsaala inna allaaha ya’lamu wa-antum laa ta’lamuuna.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Orang-orang kafir Makkah masih saja tidak mau menggunakan akal sehatnya saat menyembah patung buatannya sendiri. Berhala-berhala itu diyakini punya kekuatan luar biasa dan positif terus. Setiap kali mereka mendapatkan kebaikan, rejeki berlimpah, kesehatan, panen raya, ternak produktif, curah hujan banyak, maka dianggapnya sang patunglah yang memberinya. Tapi bila mendapatkan keburukan, seperti sakit, kekeringan, ternak pada mati, maka Tuhannya Muhammad yang utama dipersalahkan.

Ayat ini mengajak mereka berpikir jernih, apa benar patung-patung itu yang menurunkan air hujan dari langit. Toh patung-patung itu tidak bisa apa-apa, bahkan diterlantarkan di luar dan kehujanan pun diam saja, sama dengan batu biasa yang tergeletak di padang sahara. Apa benar patung-patung bisa menumbuhkan tanaman, menyuburkan hingga panen?.

Ayat 74 mempertegas pesan ayat 73 dan melarang keras, agar jangan sekali-sekali mereka menyamakan Allah dengan patung buatan mereka itu. Allah maha mengetahui segala-galanya, sementara selain-Nya tidak demikian. "Inn Allah ya'lam wa antum la ta'lamun". Dasar kafir, meski sudah difaham-fahamkan, tetap saja tidak mau faham, tetap saja kafir dan tertutup.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Sesungguhnya sasaran ayat ini tidak hanya kepada para penyembah berhala saja, melainkan kepada semua penganut agama yang mengimani kepada selain Allah SWT. Ternyata keyakinan selain islam punya pola mirip demikian, yakni menyakini adanya Tuhan selain Allah SWT meski versinya macam-macam.

Ada yang memuja dewa-dewa dengan berbagai nama yang diberikan sendiri. Ada yang menuhankan manusia dengan mempersepsikan sebagai punya kelebihan supra hingga ke derajat Tuhan. Aslinya seperti itu, sehingga tak beda dengan keyakinan kaum jahiliah dulu. Hanya saja, sekarang ini sudah banyak dibungkus dengan argumen-argumen filosufis demi tidak mau disebut sebagai penyembah berhala.

Ciri agama berhala adalah menggunakan simbol-simbol fisik yang mengekspresikan bodi Tuhan. Simbol itu dikeramatkan dan dipuja, karena terkait fungsi teologis. Bila mereka tanya, kok menyembah patung?. Pasti buru-buru menolak: Tidak. Kami tidak menyembah patung tapi menyembah Tuhan, Dewa di balik patung itu. Meski ngomongnya begitu, tapi bila patungnya tidak ada, nyatanya tidak jadi ada upacara sembahan. 

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO