Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Wayawma nab’atsu fii kulli ummatin syahiidan ‘alayhim min anfusihim waji/naa bika syahiidan ‘alaa haaulaa-i wanazzalnaa ‘alayka alkitaaba tibyaanan likulli syay-in wahudan warahmatan wabusyraa lilmuslimiina."
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat sebelumnya bertutur tentang pertengkaran antara panutan dan pengikut di hari kiamat. Dikatakan, bahwa para pengikut menggugat panutannya agar bertanggungjawab atas apa yang mereka ajarkan semasa di dunia. Panutan yang notabenenya sebagai Tuhan gadungan itu, seperti berhala dan sebangsanya itu lepas tangan karena memang bukan Tuhan. Mereka tidak berdaya di hadapan Tuhan sejatinya, yaitu Allah SWT. Jangankan menolong orang lain, menyelamatkan dirinya sendiri saja tidak bisa. Itu nyata, pasti dan bisa dibuktikan sejak di dunia.
Raja Fir'aun misalnya, seorang penguasa Mesir, Ramsis dua ini sangat sakti hingga tidak pernah jatuh sakit sama sekali. Dia mengaku Tuhan tertinggi. Nyatanya tidak berdaya apa-apa saat tenggelam di laut Merah. Andai nabi Isa anak Maryam itu dianggap Tuhan, pertanyaannya, apakah dia menguasai diri sendiri?. Sebodoh-bodoh akal manusia pasti mengatakan tidak.
Isa atau Yesus itu anak manusia yang lahir saja tidak bisa lahir sendiri, masih pakai media ibunya. Makan disuapi, karena bayi, ngompol pun tak bisa ganti popok sendiri, apalagi buang air besar. Mana ada Tuhan ngompol.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ia manusia yang diutus menjadi Nabi dan berdakwah agar umat manusia menyembah Allah SWT saja dan tidak menyekutukan dengan yang lain. Dakwahnya itu ditentang oleh kaum Yahudi durhaka dan Yesus digerebek hendak dibunuh. Keadaan terjepit, tapi Tuhan menyelamatkan dan mengangkatnya ke langit. Itu bukti, bahwa Yesus manusia yang tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Mana ada Tuhan apes.
Ayat studi ini, setidaknya bicara dua hal pokok. Pertama, adanya "syahid", nabi kecil, juru dakwah setempat pada setiap kaum sepanjang masa (wa yawm nab'ats min kull ummah syahida). Kedua, al-Qur'an itu menjelaskan segala hal (tibyana likull syai').
Dalam teologi ada bahasan tentang umat manusia yang hidup di zaman fatrah (masa vakum kenabian), di mana tidak ada lagi nabi yang diutus saat itu. Contohnya masa antara pasca nabi Isa A.S. hingga diutusnya nabi Muhammad SAW. Masa fakum kenabian sekitar lima abad ini dirasa cukup lama hingga umat manusia bisa saja tidak mengenal ajaran agama, tidak pernah mendengar keimanan yang benar, tidak ada juru dakwah di kampungnya sehingga perilakunya berjalan sejadi-jadinya, bahkan menyimpang. di sini ada dua persoalan:
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Pertama, benarkah masa fatrah itu ada?, dan kedua, jika ada, maka bagaimana penilaian amal mereka? Apakah amal perbuatan mereka bebas tanpa jurnal atau tetap dinilai?.
Untuk masalah pertama, bahwa masa fatrah itu ada, mengingat setelah nabi Isa A.S. dievakuasi ke langit, maka hanya dua belas muridnya saja (al-hawatiyun) yang meneruskan dakwahnya dan setelah itu habis. Sejarah tidak mencatat kiprah murid lanjutan dari dua belas al-Hawatiyun tersebut dalam bidang dakwah islamiah. Hal itu karena kondisi negeri yang tidak memungkinkan, ditambah tirani raja-raja jahat pada masanya. Pendeta (ahli kitab) yang shalih dan berpegang teguh pada ajaran tauhid asli kitab al-Injil dibunuhi oleh raja konstantinopel.
Raja bengis inilah yang memaksa para pendeta bayaran agar mengangkat Yesus sebagai Tuhan dalam Konsisli Nikia tahun 325 M. Waktu itu, keimanan rakyat masih utuh dan memandang Yesus adalah seorang Rasul, sama dengan rasul-rasul lain sebelumnya, semisal David, Solomon, Moses, Jacob, Joseph, Abraham A.S. dan lain-lain. Ratusan pendeta yang tidak setuju dengan keputusan konsili dibunuhi tanpa ampun. Nah, saat kritis seperti itu hingga nabi Muhammad SAW diutus adalah masa fatrah, kosong tanpa rasul, tanpa juru dakwah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Lalu, bagaiaman amal perbuatan manusia saat fatrah?. Bagi ulama yang pro pendapat ini, semua amal perbuatan mereka tidak dijurnal dan tidak ada pembalasan apa-apa, melainkan free dan bebas. Mereka tidak bisa disiksa karena tidak tahu bahwa apa yang diperbuat adalah larangan agama. Di akhirat nanti, orang-orang masa fatrah ini akan ditempatkan di area netral antara Surga dan neraka yang oleh al-Qur'an disebut "al-A'raf". Bisa jadi masa sekarang ada zaman fatrah, yaitu bila seseorang hidup di daerah sangat terpencil dan sepanjang hidupnya sama sekali tidak pernah ada komunikasi atau mendengar dakwah islamiah.
Manusia masa fatrah yang ditempatkan di al-A'raf itu, apa termasuk kedua orang tua Nabi?. Menurut rumus "Ya". Tapi menurut anugerah dan pertimbangan keagungan Nabi Muhammad SAW, kedua orang tua beliau bisa saja menikmati surga. Fatrah dan bebas jurnal tersbut adalah pendapat umumnya ulama' sunny merujuk al-Isra:15. Allah a'lam.
Pendapat kedua, bahwa masa fatrah itu tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada. Sebab Tuhan sudah menyatakan sendiri, bahwa akan mengutus "syahid" pada setiap kaum, setiap kerumunan umat. Dasar pendapat ini adalah ayat studi di atas (89). Soal bentuk syahid tidak harus nabi atau rasul yang secara resmi diutus Tuhan dengan wahyu atau kitab suci. Orang shalih yang menyampaikan kebenaran adalah syahid. Syahid inilah yang akan diminta pertanggungjawaban kepak di hari kiamat nanti. Itu artinya, syahid tersebut wajib melakukan kerja risalah, kerja kenabian, kerja dakwah sesuai keadaan, sesuai kemampuan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Pendapat ini merujuk kepada orang-orang shalih pranubuwwah, sebelum nabi Muhammad SAW diutus, seperti Qus ibn Saidah, Zaid ibn Amr ibn Nufail yang oleh nabi dikomentari sebagai orang yang diutus kepada umat manusia sendirian "Yub'ats ummah wahidah".
Selain itu ada juga seorang dukun ternama yang menjadi shalih dan berseru kebajikan. Namanya Rabi' ibn Rabi'ah yang selanjutnya berjuluk Sathih. Lalu paman dari ibu Khadijah R.A., istri nabi, yakni Waraqah ibn Naufal, pakar kitab samawi. Beliau sudah lama wafat dan nabi berkomentar sembari memberi kesaksian: "ra'aituhu yanghamis di anhar al-jannah". Aku melihat paman Naufal berenang-renang di kolam surga. Mereka adalah syahid yang menjadi tokoh pada zamannya.
Dengan demikian, dunia ini tidak pernah telat juru dakwah, pasti ada saja entah seperti apa kemampuan dan kadarnya. Dengan demikian, maka setiap amal perbuatan manusia tidak bisa lepas dari penilaian. Yang berbauat baik dibalas dengan pahala dan yang berbuat buruk akan dibalas dengan siksa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Kaum Mu'tazilah menambahkan, bahwa jurnal amal tersebut cukup atas dasar akal sehat saja. Artinya, akal sehat yang diberikan Tuhan adalah dasar, rujukan bagi manusia untuk bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Meskipun tanpa ada juru dakwah yang memberi penjelasan, akal kita secara alamiah bisa mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk. Jadi, manusia yang hidup era fatrah tetap dijurnal dan setiap perbuatannya pasti mendapat imbalan, kecuali mereka yang otaknya tidak waras.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News