JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengalami kesulitan keuangan Negara. Penerimaan pajak Negara tak mencapai target. Pemerintah pun mencari terobosan lewat tax amnesty (pengampunan pajak). Karena banyak dana pengusaha – terutama etnis Tionghoa - diparkir di luar negeri.
Ternyata langkah pemerintah melobi DPR agar mengesahkan Undang-Undang tax amnesty sukses.
Baca Juga: Elektabilitas Puan Dipastikan Makin Jeblok, Akibat PDIP Tak Konsisten, Dukung Kenaikan Harga BBM
Dalam rapat paripurna, Selasa (28/6) DPR mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 serta UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Namun, pengesahan UU Tax Amnesty masih diwarnai sejumlah catatan interupsi.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo meminta agar pemerintah berhati-hati dalam memasukan UU Pengampunan Pajak ke dalam postur APBNP 2016 sebesar Rp 165 triliun.
"Saya minta, tidak terjebak dalam memburu nafsu pencapaian, bahasanya lebih cermat dan hati-hati. Perlu dipertimbangkan penundaan Tax Amnesty,” kata Arief dalam rapat paripurna, Selasa (28/6).
Baca Juga: Didatangi Sri Mulyani, Sikap Muhammadiyah Berubah, Batal Gugat UU Tax Amnesty
Anggota Fraksi PDI Perjuangan Rieke Dyah Pitaloka mengungkap sejumlah kejanggalan dalam proses pembahasan RUU Tax Amnesty, seperti cara kerja yang tertutup dan diselesaikan hanya 17 hari. Dia menilai dengan cara seperti itu, UU yang dihasilkan tidak taat azas.
Ia juga menyebut bahwa pembahasan tax amnesty berlangsung tertutup dari satu hotel ke hotel lain. "Bukan di DPR, lho. Bersifat tertutup. Terbuka itu kemarin (Senin, 27 Juni 2016) tapi seluruh proses yang ada tertutup," kata Rieke.
Ia mengaku kecewa dengan pembahasan yang cenderung terburu-buru tersebut dan terkesan tertutup. Padahal, menurut dia, proses pembahasan UU harus dilakukan secara terbuka. Kecuali menyangkut kerahasiaan negara, asusila anak atau hal-hal yang tidak etis diketahui publik.
Baca Juga: UU Tax Amnesty Beri Empat Pengaruh Negatif
Selain itu, dia menambahkan potensi penerimaan dari UU Tax Amnesty sebesar Rp165 triliun dalam APBNP 2016, terlalu kecil. Padahal, menurutnya Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro sempat mengatakan potensi finansial dari Tax Amnesty sekitar Rp 3 ribu triliun.
"Pak menteri, saya tidak paham kenapa angkanya Rp 165 triliun yang harusnya masuk ke kas negara? Di mana uangnya?" kata Rieke sembari minta agar UU ini ditunda pengesahannya.
Sementara Fraksi Gerindra minta pemerintah bekerja keras, sehingga program Tax Amnesty yang diperkirakan oleh pemerintah akan menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp165 triliun terbukti.
Baca Juga: Pengusaha Besar akan Diberi Pengampunan Pajak, Dewan: Harusnya untuk Pelaku UMKM
"Walaupun dalam hal ini Partai Gerindra memperkirakan keberhasilan program Tax Amnesty hanya sebesar Rp 30 triliun," ujar Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR Ahmad Muzani?.
Partai Gerindra minta disahkannya RUU Tax Amnesty menjadi UU terakhir bagi bangsa Indonesia, sehingga dikemudian hari tidak akan ada lagi program Tax Amnesty.
Partai Gerindra juga meminta pemerintah untuk bekerja extra keras untuk melakukan repatriasi modal yang diperkirakan sekitar Rp 11.000 triliun berada di luar negeri.
Baca Juga: Gerindra: Ada Barter antara Revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Pajak
Sedangkan, anggota Fraksi PKS Eky Awal Muharram menolak keras terhadap lima pasal yang terdapat dalam UU Tax Amnesty. Dia sempat meminta agar pemimpin rapat diskors dan diambil mekanisme lobi.
Namun setelah mendengar pandangan dan interupsi anggota, Ketua DPR Ade Komarudin menanyakan untuk meminta keputusan terhadap dua RUU ini.
”Apakah RUU tentang APBNP dan RUU Tax Amnesty dapat disahkan menjadi UU?," kata Ade yang diikuti kata setuju dari semua anggota. Ade menambahkan, diterimanya dua UU itu juga sudah secara otomatis dengan catatan yang diberikan.
Dalam keterangan laporannya, Ketua Komisi XI DPR, Ahmad Noor Supit menjelaskan peserta yang dapat masuk ke dalam kategori menerima pengampunan pajak. Penerima, kata dia, harus memberikan surat pernyataan, penertiban surat keterangan, dan pengampunan atas kewajiban perpajakan.
UU yang terdiri dari 23 Bab dan 25 pasal ini mengatur pembagian tiga bagian tarif tebusan bagi penunda wajib pajak.
Tarif tebusan atas harta repatriasi atau deklarasi dalam negeri sebesar 2 persen untuk periode tiga bulan pertama, 3 persen untuk periode tiga bulan kedua dan 5 persen untuk periode tanggal 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017.
Sedangkan, tarif tebusan untuk wajib pajak Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) akan dikenakan tarif tebusan sebesar 0,5 persen yang mengungkapkan harta sampai Rp10 miliar dan 2 persen yang mengungkapkan lebih dari Rp10 miliar.
Di tempat terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, pihaknya sangat berminat menyerap dana tersebut untuk digunakan membiayai berbagai pembangunan infrastuktur nasional.
"Nah uang masuk ini untuk apa ? kami ingin membuat proyek-proyek apa saja yang bisa di tawarkan kepada mereka bahwa uang mereka yang dibawa ke Indonesia itu mau dimanfaatkan untuk membiayai apa saja," kata Basuki ditemui di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (28/6).
Ia mengatakan, akan banyak infrastruktur yang bisa dibangun bila Pemerintah berhasil melahirkan kebijakan yang tepat untuk menyerap dana repatriasi tersebut.
"Potensinya yang pasti adalah jalan tol, air minum, mungkin bendungan untuk pembangkit tenaga listrik. Kami sedang menyiapkan semuanya," pungkas dia. (cnn/kcm)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News