Penutupan Dolly Bukan Semata Kepentingan Pemerintah

Penutupan Dolly Bukan Semata Kepentingan Pemerintah


SURABAYA (bangsaonline) - Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengusulkan agar pemkot menampung aspirasi dari banyak pihak sebelum benar-benar ditutup pada 19 Juni mendatang. Sebab, menutup lokalisasibukan perkara mudah.

Perundingan dengan warga ini sangat perlu untuk menghindari terjadinya konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Hal itu karena penutupan bukan semata-mata kepentingan pemerintah.

Baca Juga: Komunitas Jarak Dolly Surabaya Beri Bantuan di Dua Yayasan Panti Asuhan

"Para PSK memiliki latar belakang persoalan yang beragam sebelum terjun jadi PSK. Ada yang disebabkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan, dan lainnya. Masalah tidak akan selesai hanya dengan memberi pesangon dan pelatihan ketrampilan," terangnya.

Sementara Tim Advokasi Front Pekerja Lokalisasi (FPL) menilai, rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menutup Lokalisasi pada 19 Juni mendatang melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pada pasal 20 UU ini menyatakan, setiap kebijakan harus ada kepastian hukum, tertib penyelengaraan negara dan mengutamakan kepentingan umum.

Baca Juga: Komunitas Jarak Dolly Bagikan 350 Nasbung pada Warga dan Pengendara di Bekas Lokalisasi

Selain itu, pasal 22 juga menjelaskan tentang Pemerintah Kota Surabaya memiliki kewajiban untuk memperhatikan kualitas kehidupan masyarakat, pemerataan dan keadilan. Mengacu pada UU itu, tim advokasi ini menganggap pemkot berkewajiban mengutamakan kesejahteraan warga.

"Menutup lokalisasi tidak boleh dilakukan sebelum perekonomian warga terdampak mapan. Selain melanggar UU juga akan memicu konflik vertikal antara warga dengan pemeritah. Jadi, pemkot harus memperhatikan UU terlebih dulu jika tidak ingin memiliki masalah hukum di kemudian hari nanti," ujar Ketua Tim Advokasi FPL, Anis.

Anis menegaskan, keadilan dan kesejahteraan hak warga. Persoalan lokalisasi tidak hanya aspek ekonomi tapi aspek sosial. Pemkot kerap menggunakan alasan yang tidak masuk akal. Banyaknya angka kriminalitas karena salah satunya disebabkan keberadaan lokalisasi tidak bisa dibenarkan. Begitu pula dengan perdagangan anak tidak memiliki dasar yang kuat. Selama tujuh tahun menekuni masalah anak, kata dia, tidak satupun pelaku trafficking berasal dari warga lokalisasi.

Baca Juga: Puluhan Bonek-Bonita Jarak-Dolly Berbagi Takjil Nasbung dan Jajanan

"Tidak masuk akal jika keberadaan lokalisasi dianggap memicu kriminalitas. Itu hanya dalih pemkot untuk membuat opini publik yang buruk soal . Ini tidak bisa dibenarkan," ucapnya.

Salah seorang warga Kelurahan Putat Jaya (tempat beroperasinya ), Linda mengungkapkan, pembekalan sebelum penutupan seperti pelatihan membuat kue dan kursus menjahit tidak maksimal. Pemkot dianggap tidak serius memberikan program tersebut pada warga, mucikari dan para pekerja seks komersial (PSK). Pelatihan yang mestinya membutuhkan waktu lama hanya diadakan dua hinga tiga hari.

"Pelatihan itu setidaknya enam bulan. Kalau cuma dua sampai tiga hari, bisa apa. Kami disuruh bikin resoles, kalau orang desa itu tidak bisa dengan waktu sesingkat itu," terangnya.

Baca Juga: Bantu Promosikan Produk, Cak Ji Ajak Influencer Keliling Sejumlah Sentra UMKM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO