JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu meminta Polri, TNI serta Badan Narkotika Nasional (BNN) tidak reaktif dalam menyikapi pernyataan Koordinator Kontras Haris Azhar terkait curhatan Freddy Budiman.
Terlebih, BNN menyebut Freddy sebagai bandar narkoba cluster bawah. Untuk membongkar jaringan pengedar narkoba yang lebih besar, ada baiknya jika Polri dan instansi terkait menelusuri informasi tersebut.
Baca Juga: Polsek Prajurit Kulon Ikuti Peluncuran Gugus Tugas Polri Mendukung Program Ketahanan Pangan
"Enggak perlu reaktif lah. Telusuri aja dulu lakukan investigasi, baru kemudian diklarifikasi ke publik," ujar Masinton, Minggu (7/8).
Lebih lanjut, Masinton menilai, meski pernyataan Freddy Budiman yang disampaikan Haris tak sepenuhnya benar, namun sekecil apapun informasi layak untuk ditindaklanjuti.
"Bisa dibayangkan, cluster bawah aja seperti itu. Apalagi cluster menengah dan atasnya. Kata BNN ada 72 jaringan aktif. Kita minta itu diungkap," kata Masinton.
Baca Juga: Kapolri dan Panglima TNI Luncurkan Gugus Tugas Polri Mendukung Program Ketahanan Pangan di Sidoarjo
Sebelumnya, BNN menyatakan sedikitnya 72 jaringan mafia narkoba berada di Indonesia. "Kalau nama Freddy (Budiman) dibandingkan dengan mafia lain, itu belum apa-apa," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi.
Slamet menjelaskan, sosok gembong narkoba, Freddy Budiman, bukan pemain besar dalam bisnis narkoba di Indonesia. Menurut dia, masih banyak gembong lain yang jauh lebih besar ketimbang Freddy. Hal ini karena Freddy hanya kepanjangan tangan dari seseorang.
Menurut Slamet, saat ini sebagian besar mafia narkoba telah ditangkap. Tapi masih ada beberapa orang dalam jaringan mafia yang masih bebas berkeliaran. BNN perlu bukti untuk menangkap mereka. Sebab, biasanya, ucap dia, orang tersebut memakai kaki tangan.
Baca Juga: Instruksi Kapolri, Kapolres Mojokerto Kota Periksa HP Anggota
Slamet menuturkan satu di antara pemain besar yang sudah ditangkap di Indonesia adalah Chandra Halim alias Akiong. Nama Akiong disebut-sebut memiliki akses khusus ke Tiongkok untuk membeli narkoba. Menurut Slamet, dia adalah terpidana mati dan saat ini masih berada di dalam penjara.
Akiong, 42 tahun, berasal dari Pontianak dan ditangkap kepolisian bersama Freddy. Menurut dia, Akiong punya akses ke Tiongkok dan mengetahui keberadaan perusahaan sabu-sabu di Cina. Dia secara langsung bisa melakukan transaksi dengan bandar asal Tiongkok, Wang Chang Su, warga negara Hong Kong pemodal sekaligus bos dari Freddy Budiman dan Akiong.
Freddy sendiri ditangkap setelah terbukti mengimpor 1,4 juta butir ekstasi pada Mei 2012. Dia mengirim paket ekstasi asal Cina itu ke Institusi Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Ekstaksi yang dikirim melalui jalur laut ini berasal dari Pelabuhan Lianyungan, Shenzhen, Cina, dengan tujuan Jakarta. Freddy mengkau mengeluarkan uang Rp 400 miliar untuk belanja ekstasi tersebut. Dia dieksekusi mati oleh Kejaksaan Agung pekan lalu.
Baca Juga: Cegah Peredaran Narkoba dan Barang Terlarang, Petugas Gabungan Geledah Kamar WBP Lapas Tuban
Sebelum dieksekusi mati, rupanya Freddy pernah menceritakan mengenai keterlibatan pejabat kepolisian dan BNN dalam jaringan narkobanya. Cerita Freddy ini diungkapkan kordinator Kontras, Haris Azhar.
Namun mantan Deputi Bidang Pemberantasan BNN Purnawirawan Inspektur Jenderal Benny Mamoto meragukan keterangan Freddy bahwa ada anggota BNN yang diajak pergi ke Cina. Sebab, dia mengaku tak pernah menugaskan penyidiknya berangkat ke Cina bersama Freddy. "Soalnya Freddy tak punya koneksi di sana," ujarnya.
Benny Mamoto justru mengkritik Harris yang baru membeberkan informasi itu setelah Freddy dieksekusi. Ia menyarankan, informasi semacam itu disampaikan minimal sepekan sebelum eksekusi. Jadi, tutur dia, BNN dan kepolisian bisa menyelidiki, termasuk meminta keterangan Freddy.
Baca Juga: BNN RI Tinjau Rumah Rehabilitasi Merah Putih di Sidoarjo
Di sisi lain, Satgas BNN terus melakukan penyelidikan terkait pengakuan mendiang Freddy Budiman yang dipublikasikan oleh Koordinator Kontras Haris Azhar.
"Pemeriksaan masih berjalan," ujar Kabid Humas BNN Kombes Slamet Pribadi.
Slamet melanjutkan, Satgas BNN seharusnya dijadwalkan meminta keterangan dari Koordinator Kontras Haris Azhar pada pekan lalu. Namun karena ada kesibukan dari pihak Haris sehingga jadwal pemeriksaan digeser untuk minggu depan.
Baca Juga: Pemohon SIM Wajib Miliki BPJS, Kasubdit Regident Ditlantas Polda Jatim Bilang Begini
"Saat ini masih menunggu pemeriksaan Haris. Tapi masih ada kesibukan, mungkin minggu depan," ujarnya.
Barulah kata dia setelah meminta keterangan Haris maka akan melakukan pemanggilan pada orang-orang yang disebutkan didalam tulisannya. Termasuk sambungnya mantan Kalapas Nusakambangan, Sitinjak yang akan diperiksa besok (8/8).
Sitinjak akan diperiksa terkait dugaan keterlibatan petugas BNN dalam peredaran narkotika yang dilakukan terpidana mati, Freddy Budiman. "Rencananya seperti itu, kemungkinan pemeriksaan mulai jam 09.00 pagi," ujarnya.
Baca Juga: Peringati HUT ke-73 Humas Polri, Polres Bangkalan Gelar Donor Darah
Menurut Slamet, Sitinjak akan dikonfirmasi soal keterangan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar atas pengakuan Freddy Budiman.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM I Wayan Dusak mengaku telah meminta klarifikasi kepada mantan Kepala Lapas Nusakambangan, Sitinjak, mengenai adanya dugaan keterlibatan oknum BNN dengan terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman.
Menurut Wayan, Sitinjak mengakui bahwa pada saat ia menjadi Kepala Lapas, ada permintaan dari oknum yang mengaku sebagai petugas BNN kepada salah satu pegawai di Lapas Nusakambangan.
Baca Juga: Purnawirawan TNI-Polri Deklarasi Dukung Khofifah Menang Pilgub Jatim di Gedung Juang Surabaya
Oknum tersebut meminta petugas Lapas untuk melepas kamera pengawas yang mengarah pada ruang tahanan Freddy, yang kini telah dihukum mati.
Di sisi lain, Anggota Komisi VIII DPR RI, Khatibul Umam Wiranu, berharap pelaporan tiga lembaga negara yakni Polri, BNN dan TNI terhadap Koordinator KontraS Haris Azhar, dicabut karena merupakan tindakan berlebihan. Menurut dia, tindakan itu mencerminkan lembaga negara yang anti-kritik.
"Semestinya menjadi modal dasar bagi lembaga-lembaga tersebut untuk melakukan klarifikasi, konfirmasi dan investigasi di internal lembaganya untuk membersihkan lembaga-lembaga tersebut dari oknum nakal, bukan justru melakukan kriminalisasi terhadap pembawa pesan. Langkah tersebut kontraproduktif," kata Khatibul.(viv/mer/det/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News