SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Kampung Jamur Sidoarjo, di Desa Wadungasih, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo semakin meredup dari wisatawan lokal. Hal ini diungkapkan, Mustakim selaku pengelola gudang budidaya jamur, Minggu (4/09) pagi.
Sejak diresmikan Bupati Sidoarjo tahun 2010 lalu, kampung yang dulu banyak dikunjungi wisatawan lokal bahkan dijadikan bahan penelitian mahasiswa dari beberapa universitas ini telah meredup. Sehingga kampung tersebut hanya sebatas melayani pesanan inividu dan penjual sayuran serta penelitian dari mahasiswa.
Baca Juga: Terpilih Aklamasi, Zakaria Dimas Nahkoda Baru Hipmi Sidoarjo
Meredupnya kampung jamur ini disebabkan banyaknya warga di kampung sudah tidak telaten dan faktor cuaca yang tidak stabil. Sehingga hasil panennya tidak merata, yakni ada yang berkualitas hingga membusuk atau gagal panen.
“Sebenarnya budidaya jamur di sini masih ada, cuma satu dua orang yang punya. Kalau dulu tiap gang di kampung ini pasti ada gudangnya, bahkan sempat dapat pesanan dari rumah makan untuk kirim ke sana,” ujar Mustakim, salah satu pengelola gudang budidaya jamur.
Baca Juga: Satgas Pangan Polresta Sidoarjo Tinjau Harga Beras di Pasar Larangan
Satu budi daya jamur. foto: rizky alvian
Dirinya juga menjelaskan bahwa keuntungan yang diraup cukup banyak sekitar Rp 750.000 hingga bisa dipakai untuk biaya akomodasi dan perawatan.
Dirinya mengaku sempat tidak menyangka mendapat pesanan dari rumah makan bahkan hingga kuwalahan untuk melayani target pesanannya. Dikarenakan pesanan dari rumah makan tersebut meminta dikirim 50 kg dari hasil panen tiap 3 bulan. Tetapi lama kelamaan distop untuk mengirim karena sudah tidak bisa memenuhi target pesanan. “Hasil panen lebih sedikit dibanding pesanannya. Jadi kami distop untuk kirim ke sana,” ungkap Mustakim.
Baca Juga: Jelang Ramadan, Pj Gubernur Jatim Sidak Pasar, Beberapa Komoditas Bapok Alami Kenaikan Harga
Di sisi lain, Narto mengatakan bahwa sekarang dirinya berusaha untuk menyuplai jamur berjenis tiram tersebut dan ditawarkan ke berbagai penjual bahkan ke pengusaha-pengusaha terdekat.“
“Kalau sekarang saya menggunakan sistem jemput bola, jadi nawarin ke bos-bos perusahaan mungkin ada yang berminat. Pesanan sebenarnya datang tiap hari, kita yang tidak bisa menyediakan karena hasil tidak bisa diprediksi. Tetapi untuk keuntungan paling banyak hanya 5 persen – 10 persen dari penjualannya, gak kayak dulu,” ujarnya. (rizky alvian/UTM)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News