Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Fa-idzaa qara/ta alqur-aana faista’idz biallaahi mina alsysyaythaani alrrajiimi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat sebelumnya bertutur orang yang beramal baik dan beriman, tak pandang pria maupun wanita, akan diberi servis kehidupan yang amat bagus di dunia dan kelak di akhirat mendapat pembalasan fantastis. Ayat 97 ini turun sebagai jawaban atas sekelompok orang Yahudi yang merasa lebih tinggi derajatnya karena punya kitab al-Taurah. Begitu halnya orang-orang Nasrani karena kitab al-Injil dan tidak mau kalah para penyembah Berhala dengan berhala bikinannya. Tak ada yang mau mengalah, lalu ayat ini turun memberikan panduan.
Berprestasi, seperti yang dicanang pada ayat tersebut, agar tidak sembarang prestasi, maka ayat studi ini (98) menyajikan kitab suci al-qur'an untuk dibaca, dipahami dan diamalkan dengan terlebih dahulu memohon perlindungan kepada Tuhan dari gangguan syetan yang terkutuk, yang selanjutnya kita istilahkan dengan "isti'adzah" atau "ta'awwudz". Kenapa harus baca isti'adzah, tidak baca basmalah?
Ada dua dalil pengantar pembacaan: Pertama, "iqra bi ismi rabbik", bacalah - diawali - dengan menyebut nama Tuhanmu. (al-‘Alaq:1). Ism Rabbik itu pastilah basmalah, "bismillah ar-rahman al-rahim". Fakhruddin al-Razy berpihak pada dalil ini. Kedua, ayat studi ini, "fa idza qara't al-qur'an fa ista'idz bi Allah..". Kata "fa ista'idz" pastilah isti'adzah, bukan basmalah. Mayoritas mufassirin berpihak pada dalil ini. Ada solusi?
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Dikompromikan saja dengan memposisikan sasaran masing-masing ayat. Ayat satu al-'Alaq tersebut berobyek pada pembacaan secara umum, membaca apa saja, termasuk membaca fenomena. Hal itu nampak dengan tidak adanya obyek yang ditunjuk secara tegas. Al-maf'ul bih dibuang untuk mengesankan perintah umum.
Sedangkan pada ayat studi ini, obyek (al-maf'ul bih) ditunjuk secara khusus, yakni "al-qur'an" (fa idza qara'ta al-qur'an..). Jadinya, khusus membaca al-qur'an pakai bacaan antaran "isti'adzah". Dengan langkah al-jam' ini, masing-masing ayat berfungsi dan tidak kontradiktif. Jika mau enak, ya baca saja keduanya, isti'adzah dulu baru basamalah. Jika harus dipilih salah satu, maka mengawali baca al-qur'an sebaiknya pakai isti'adzah. Itu, bila pembacaan dilakukan di luar shalat.
Anda menjadi imam dan setelah membaca al-fatihah mau membaca potongan ayat, (ayat di tengah surah), maka baca langsung saja, tanpa isti'adzah dan tanpa basmalah. Jika yang dibaca mulai awal surah, maka bacalah basmalah lebih dulu tanpa isti'adzah. Begitu anjuran madzhab syafi'iy. Tapi bagi madzhab Mailiky tidak. Langsung saja membaca awal surah. Misalnya, Qul huw Allah ahad... dst.", tanpa basmalah lebih dahulu.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kenapa lebih diutamakan membaca isti'adzah daripada membaca basmalah dalam mengawali baca al-Qur'an? Hal itu, antara lain karena:
Pertama, komunitas Syetan sungguh membenci ada ayat al-Qur'an dibaca. Syetan berupaya sekuat tenaga dan berjuang habis-habis menajuhkan orang beriman dari al-Qur'an. Dibaca pun jangan, bahkan jangan sampai didengar. Ada-ada saja gangguan yang mereka lakukan kepada setiap orang yang mau membaca al-Qur'an. Kadang si bayi tiba-tiba menangis ketika si ibu hendak beribadah. Untuk itu, sebelum memasuki ruang teologis, di mana pembaca hadir di hadapan Tuhan via al-Qur'an, maka perlu dilakukan tindakan sterilisasi, pembersihan, pengusiran lebih dulu dari semua syetan pengganggu.
Kedua, terkait gangguan syetan dalam pembacaan al-Qur'an, kandungan makna isti'adzah lebih pas dan lebih konferhenshif dibanding dengan kandungan makna pada basmalah. Dalam isti'adzah disebut nama Allah dan disebut pula tujuan berlindung diri, bahkan kutukan kepada syetan. Semantara dalam basmalah hanyalah pemujian kepada-Nya tanpa ada permohonan perlindungan, apalagi kutukan. Allah a'lam.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Syetan, meskipun telah diusir dan dikutuk dari majelis baca al-qur'an, tetapi mereka tidak putus asa. tetap saja mengintai dan terus mengintai, kalau-kalau ada kesempatan, lalu langsung masuk dan menggoda.
Makanya, jangan heran ada orang yang lebih malas membaca al-qur'an dibanding membaca buku, bahkan kitab kuning sekalipun. Bisa jadi, sebagian kiai pondok salaf sangat tekun dan menghabiskan waktu membaca kitab kuning, tapi sangat sedikit istiqamah membaca al-Qur'an. Ya, boleh-boleh saja dan bagus, sebab mengajar itu bagus dan memanfaati kepada orang lain. Tapi di sisi lain, syetan berhasil membuat jarak antara kiai dengan al-Qur'an, hal mana al-Qur'an adalah Nur yang mencerahkan spiritualitas kiai.
Jika ada ilmuwan muslim gemar sekali membaca buku, jika ada ustadz penceramah sibuk sekali berceramah, tapi tidak istiqamah membaca al-qur'an, maka begitulah kehebatan syetan beraksi. Eronisnya, mereka biasa-biasa saja dan merasa apa yang menjadi rutinitasnya sudah baik, padahal ada yang lebih baik.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Seorang awam ngerasani seorang ustadz yang shalat Tarawaih super cepat. "Saya perhatikan, pak ustadz itu duduk bersantai sambil merokok, ternyata lebih lama dari pada shalat tarawihnya".
Soal redaksi isti'adzah, jumhur mufassirin memilih model iqtibas, redaksi yang persis pada ayat (98), yakni "a'udz bi Allah min al-syaithan al-rajim". Kata "Allah" polos tanpa bubuhan sifat. Begitu pula kata al-Rajim sebagai sifat syetan. Meski demikian, dibolehkan ada tambahan sifat pada lafadh "Allah", seperti al-sami' al-alim. Jadinya, "A'udz bi Allah al-sami' al-'alim min al-syaithan al-rajim". Tambahan ini merujuk pada ayat ".. fa ista'idz bi Allah, innah huw al-sami' al-'alim". (Fussilat:36).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News