>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Dr. KH. Imam Ghazali Said. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<
Pertanyaan:
Baca Juga: Saya Dilamar Laki-Laki yang Statusnya Pernah Adik, Keluarga Melarang, Bagaimana Kiai?
Assalamualaikum wr wb. Pak Kiai saya mau curhat, saya baru saja menjual tanah sawah milik bersama hasil pembagian waris. Kebetulan saya ditunjuk sebagai kuasa penjual. Kami sekeluarga sudah sepakat menjual di angka 2.500/ubin. Tapi kebetulan ada pembeli yang menawar tinggi hingga ada kesepakatan dengan pembeli di angka 3.150/ubin. Dan sekarang mau proses pembayaran. Yang saya tanyakan, apakah hukumnya jika saya mencari keuntungan dari hasil penjualan tanah tersebut? Terima kasih. (Abdullah, Surabaya)
Jawab:
Pada dasarnya apa yang Bapak lakukan itu mirip dengan perantara/calo/makelar/kuasa/wakil atau dalam bahasa Arabnya disebut simsaar. Dan bahkan makelar ini sudah legal dikenal sejak zaman Rasulullah saw. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis laporan Qois bin Abi Gorzah yang menceritakan :
Baca Juga: Istri Tak Penuhi Kebutuhan Biologis, Saya Onani, Berdosakah Saya?
قَالَ كُنَّا فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ فَقَالَ « يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ ».
“Dulu, kami pada masa Rasulullah SAW menamakan diri sebagai samasirah (calo/makelar). Suatu ketika rasulullah datang menghampiri kami dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda: “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini terkadang diselingi dengan kata-kata tidak manfaat dan sumpah, maka perbaikilah dengan bersedekah”. (Hr. Abu Dawud:3328)
Kemudian landasan akad (transaksi) dalam hukum fiqih bagi simsar (calo) ada tiga akad; Pertama, akad wakalah (mewakili dan mewakilkan). Dalam hal ini penjual memberikan kuasa kepada makelar untuk mewakili dirinya dalam menjualkan tanah miliknya kepada pembeli, atau sebaliknya si makelar mewakili dari pihak pembeli. Maka makelar harus menyampaikan informasi sekecil apapun kepada pihak yang memberikan kuasa dari hasil transaksi ini dan tidak boleh menyembunyikannya apalagi mengambil keuntungan.
Baca Juga: Rencana Nikah Tak Direstui karena Weton Wanita Lebih Besar dan Masih Satu Buyut
Kedua, akad ijar (transaksi jasa). Dalam hal ini pihak penjual menggunakan jasa makelar untuk menjualkan barangnya kepada pihak pembeli yang sudah ditentukan upah atau ongkosnya terlebih dahulu atau juga pihak pembeli menggunakan jasa makelar untuk membeli barang dari penjual. Maka, makelar tugasnya hanya memberikan jasanya untuk menjual atau membeli tidak mengambil keuntungan dari transaksi tersebut.
Ketiga, akad ju’alah (transaksi sayembara). Dalam hal ini pihak penjual tidak bertransaksi kepada pihak makelar tertentu tapi kepada seluruh makelar, dengan akad barang siapa yang dapat menjualkan barangnya maka ia berhak mendapatkan sekian persen dari hasil penjualan. Maka si makelar juga tidak bermain harga penjualan, ia hanya menjualkan barang yang harga dan barangnya dari pihak penjual.
Nah, dari beberapa keterangan di atas, kasus Bapak tergolong pada akad (transaksi) pertama, yaitu mewakili penjualan tanah atas nama keluarga besar. Kuasa penjual sama saja dengan mewakili saudara-saudara untuk menjualkan tanah. Hukum akad ini tidak boleh mengambil keuntungan sendiri. Sekecil apapun yang terjadi dalam transaksi jual beli harus disampaikan kepada semua anggota keluarga Bapak. Kalau masih ada informasi yang disembunyikan berarti Bapak sudah tidak amanah dalam mengemban tugas menjualkan tanah.
Baca Juga: Hati-Hati! Seorang Ayah Tak Bisa Jadi Wali Nikah jika Anak Gadisnya Hasil Zina, Lahir di Luar Nikah
Namun, jika Bapak tetap mengambil keuntungan dari penjulan tanah itu, dengan cara tadi, maka Bapak terkena dua pelanggaran sekaligus. Pertama, penipuan. Artinya menipu anggota keluarga dengan mengatakan harga yang tidak sesuai dengan fakta. Harga kesepakatannya 2.500/ubin, faktanya terjual dengan harga 3.150/ubin.
Kedua, menjual barang yang bukan miliknya, yang dalam istilah fiqih disebut bai’u ma la yamliku. Sebab Bapak dalam kasus di atas ingin menjual tanah (milik bersama) langsung kepada pihak pembeli, seakan-akan milik Bapak sendiri, bukan sebagai wakil dari penjual kepada pembeli. Karena Bapak ingin mengambil keuntungan sendiri, dan yang bisa mengambil keuntungan sendiri itu penjual yang menjual miliknya sendiri secara utuh bukan wakil bukan kuasa, bukan makelar dan bukan harta milik bersama. Maka akad jual beli semacam ini tidak diperbolehkan oleh Rasulullah saw dan tentunya kentungannya juga tidak halal.
Hal ini didasarkan pada sebuah hadis laporan sahabat Hakim bin Hizam ra yang datang kepada rasulullah bertanya tentang itu:
Baca Juga: Bagaimana Hukum Mintakan Ampun Dosa dan Nyekar Makam Orang Tua Non-Muslim?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ « لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ».
“wahai Rasulullah aku didatangi seorang laki-laki yang ingin membeli barang yang tidak kumiliki, apakah aku membelikannya dari pasar. Maka Rasulullah bersabda “ Janganlah Engkau menjual barang yang tidak Engkau miliki”. (Hr. Abu Dawud:3505). Wallahu a’lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News