JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Memperingati wafatnya (Haul) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ketujuh, lintas agama di Kabupaten Jombang menggelar refleksi dan doa bersama di Aula Balai Desa Mojongapit, Kecamatan/Kabupaten Jombang, Jumat (30/12) tadi malam.
Di samping itu, acara tersebut juga mengenang perjuangan Riyanto (anggota Banser NU Mojokerto) yang gugur memeluk bom saat menjaga Misa Natal di Gereja Eben Haezer, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, 24 Desember 2000 silam.
Acara ini sengaja digelar untuk menghormati dan meneladani jasa Gus Dur serta Riyanto. Bagaimanapun juga dua tokoh ini, Gus Dur maupun Riyanto sudah berjasa besar dalam kemanusiaan yang perlu untuk kita semua teladani.
"Itulah kenapa kami merasa penting untuk mengadakan acara malam ini,” kata Muhammad Iqbal, Ketua Panitia Pelaksana yang juga pengurus GP Ansor Cabang Jombang.
Wakil Bupati Jombang, Mundjidah Wahab saat memberikan sambutan menyampaikan apresiasinya. Disamping atas nama Pemkab Jombang sekaligus keluarga dari mendiang Gus Dur.
“Gus Dur itu keponakan saya, ibunya Gus Dur sepupu saya. Dia (Gus Dur, red) manggil Bu Dhe sama saya. Makanya, terimakasih banyak sudah mendoakan Gus Dur serta menghormatinya. Memang, Gus Dur tidak salah sebagai bapak pluralisme untuk diteladani bersama,” ujarnya.
Beberapa hal tentang Gus Dur yang perlu diteladani dipaparkan KH Agus Hadi Hadzik, Pengasuh Ponpes Al-Masruriyah Tebuireng Jombang. Kiai yang biasa disapa Gus Zaki mengatakan, Gus Dur yang tak lain sepupunya sendiri itu tidak cinta dunia dan jabatan. Terbukti, saat menjabat maupun sebagai mantan Presiden RI yang keempat, Gus Dur tetap bukan orang kaya.
“Dia (Gus Dur) mantan presiden paling kere. Bahkan pernah suatu ketika Gus Dur mau ke Solo harus pinjam uang kepada anaknya untuk ongkos. Tapi, dengan begitu Gus Dur bersih dari kepentingan-kepentingan politik,” papar Gus Zaki.
Ia juga menceritakan, bahwa setelah wafatnya Gus Dur pada tangga 30 Desember Desember 2009 lalu, keluarga besar Ponpes Tebuireng sempat kebingungan untuk dimana lokasi pemakaman yang baik bagi suami Sinta Nuriyah tersebut.
Dalam musyawarah keluarga sempat ada empat pilihan, yakni di Ponpes Mambaul Ma’arif Denanyar, Ciganjur Jakarta, Ponpes Al-Falah Kediri, atau Ponpes Tebuireng.