WILAYAH Wonokromo dulu terkenal dengan tingkat kriminalitasnya yang tinggi. Seperti pencopetan, penjambretan, kerap kali terjadi di kawasan yang dipakai Pemerintah Belanda pada masa kolonial ini sebagai batas wilayah Surabaya bagian selatan.
“Keluar dari wilayah Wonokromo ini, disebut sebagai Jabakota,” ungkap Solahuddin Azmi, Pengamat Sejarah Surabaya.
Baca Juga: Peletakan Batu Pertama Perpustakaan Khofifah, Prof Kiai Imam Ghazali Berharap seperti Al-Azhar Mesir
Kehadiran sebuah pondok pesantren (ponpes) diharapkan bisa memberikan angin segar serta pencerahan kepada masyarakat khususnya warga sekitar yang sebelumnya belum pernah tersentuh oleh agama. Tidak terkecuali dengan keberadaan Ponpes Bureng di Jalan Karangrejo, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Wonokromo ini.
“Dengan adanya keterlibatan para ulama atau kiai jaman dahulu, mereka lalu mendirikan Masjid Bureng (At Taqwa) serta Pesantren Bureng tidak lain bertujuan mengajak masyarakat sekitar untuk kembali kepada yang haq (kebaikan). Masjid mereka gunakan untuk mendirikan salat, sedangkan pesantren digunakan sebagai tempat mengaji,” ucap KH Mas Abdul Hamid Sya’roni, Pengasuh Ponpes Bureng, cucu KH Ahmad Marzuki bin Tolhah.
Banyak cara bisa ditempuh dalam melakukan syiar (dakwah), salah satunya melalui tontonan bola saat event besar seperti piala dunia berlangsung. Tepatnya, waktu itu terjadi pada piala dunia tahun 2002 silam. Ia mengaku sangat prihatin terhadap kondisi keamanan lingkungan Kampung Bureng yang semakin lama semakin meresahkan warga.
Baca Juga: Khofifah Sebut Pesantren Digital Al Yasmin Jadi Kafetaria Dakwah Bil Mal
Ada saja barang-barang yang hilang, mulai dari sandal, burung, handphone hingga sepeda motor. Hal itu terjadi terutama saat banyaknya warga yang mengalami kekalahan dalam taruhan.
“Parahnya lagi, ibu-ibu pada komplain karena uang jatah belanjanya ikut dipakai untuk taruhan bola,” tegas pria yang biasa disapa Abah Hamid oleh para santrinya ini.
Melihat kondisi yang semakin parah itu, ia pun memutuskan untuk terjun ke lingkungan sekitarnya untuk berdakwah. Ia harus mencari cara bagaimana supaya praktik-praktik judi bola segera berhenti. Ia harus bisa mengajak warga untuk mau belajar agama dan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Baca Juga: BRI Cabang Kaliasin Bangun Sinergi dengan Pesantren Luhur Al Husna Surabaya
Karena dari segi umur, mereka sudah tidak muda lagi alias bapak-bapak yang cara memberi tahunya juga berbeda dengan yang masih remaja.
“Saya masih ingat kejadian saat saya terjun langsung ke masyarakat itu sekitar tahun 1999-2008,” kenangnya.
Cara dakwahnya juga tergolong unik. Entah bagaimana ceritanya, warga yang doyan judi bola itu jagoannya selalu menang saat petandingan berlangsung hingga piala dunia berakhir. Hal ini membuat bandar-bandar judi mengalami kebangkrutan total. Dengan memegang uang itulah, masing-masing penjudi tidak perlu lagi mengambil barang-barang yang bukan miliknya untuk dijual lalu uangnya dipakai judi.
Baca Juga: Ponpes Baiturrahman Beran Ngawi, Lahirkan Banyak Santri Sukses, Tanpa Dipungut Biaya
“Dari rasa nyaman ini kemudian saya ajak mereka secara perlahan untuk mau masuk masjid terlebih dahulu, kemudian belajar salat dan mengaji. Mereka itu masuk masjid saja sudah sungkan, karena masyarakat sudah tahu pekerjaannya sebagai seorang pencopet. Kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli sama mereka,” pungkasnya. (ian/lan/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News