Di Bojonegoro Ada Padi Terapung, Jadi Solusi saat Sawah Kebanjiran

Di Bojonegoro Ada Padi Terapung, Jadi Solusi saat Sawah Kebanjiran

BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com - Padi di Dusun Balongdowo, Desa Karangdayu, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro ini berbeda dengan padi biasanya. Jika umumnya padi ditanam di lahan persawahan, padi ini ditanam di kolam ikan atau tumbuh di atas air. Akhirnya padi tersebut dinamakan padi apung.

Sabtu siang (30/9), padi apung itu dipanen oleh sejumlah orang yang ternyata dari perguruan tinggi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah. Mereka di dusun setempat sedang melakukan penelitian dan praktik tanam padi apung bekerjasama dengan Dinas Pertanian Bojonegoro.

Baca Juga: Gubernur Khofifah Beri Penghargaan 7 Camat di Jatim atas Inovasi dan Kolaborasi Pelayanan

Menurut Mujiyo, selaku dosen program studi ilmu tanah fakultas pertanian UNS Solo, dia bersama dosen lainnya melakukan praktik model tanam dengan sistem terapung itu karena melihat wilayah Bojonegoro, khususnya yang berada di bantaran Sungai Bengawan Solo, kerap mengalami kebanjiran pada saat musim hujan.

"Jadi dengan model tanam padi apung ini masyarakat tetap bisa bertanam dan panen, karena padi tidak akan tenggelam," ungkapnya.

Setelah dilakukan pemanenan, ia langsung melakukan penelitian sekilas, dan ternyata hasil panen padi apung tersebut dengan padi konvensional umumnya sama. Artinya tidak ada kekurangan dalam segi kualitas gabah maupun jumlah bulir antara padi apung dan padi konvensional.

Baca Juga: Difusi Inovasi

"Ini praktek yang pertama kalinya dari kami di daerah Bojonegoro, bahkan di seluruh wilayah Indonesia hanya ada di daerah Lampung dan Jawa Barat padi apung. Harapannya di wilayah Bojonegoro ini bisa diterapkan, tapi tidak langsung tahun ini," tandasnya.

Ia mengatakan, masyarakat umum khususnya yang berada di pinggir Sungai Bengawan Solo, bisa menanam padi apung di lahan produktif miliknya. Artinya lokasinya tidak melulu di kolam ikan ataupun rawa. Namun demikian, sistem tanam apung harus pada bulan-bulan yang memang rawan terjadi bencana banjir.

"Misalnya banjir terjadi antara bulan November sampai Maret, berarti di bulan itulah waktu melakukan tanam model apung. Kebanyakan di bulan tersebut masyarakat juga tanam, tapi belum sampai panen sudah tenggelam. Nah, dengan sistem ini padi tidak akan tenggelam karena akan terus naik mengikuti ketinggian air," jelasnya.

Baca Juga: Buka Ginofest 2022, Bupati Gresik Dorong Milenial Terus Berinovasi

Ia mengakui, jika tanam model apung itu biayanya lebih mahal dibandingkan tanam konvensional. Namun hanya dia wal-awal saja, selanjutnya tidak perlu membeli bahan-bahan lagi. Bahan yang diperlukan untuk membuat media apung antara lain drem atau kaleng bekas, plastik terpal dan kayu bambu.

"Setelah media apungnya jadi, kemudian isi tanah dengan ketinggian 20 centimeter. Setelah itu bisa ditanami," bebernya.

Sementara itu, salah satu pengurus HIPPA Desa Karangdayu, Supari mengaku tertarik dan akan mencobanya. Sebab, di daerahnya juga banyak kolam ikan yang tidak maksimal hasilnya saat digunakan untuk budidaya ikan.

Baca Juga: Hadapi Ancaman Krisis Global, Gubernur Khofifah: 'IKI' Jawabane

"Bahkan lahan produktif pun kami tertarik menggunakan sistem apung, karena kami sadar saat musim hujan wilayah kami selalu kebanjiran," ucapnya saat mengikuti proses panen padi apung di Desanya. (nur/rev)

(Tim dari UNS Solo bersama petani sekitar usai memanen 'Padi Terapung')

Baca Juga: Rektor UTM Berharap Dirjen Dikti Kemendikbud Support UTM Jadi BLU

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO