Talbis Politisi

Talbis Politisi Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

JERIT tangis dan lelehan air mata tumpah menyerta banjir bandang yang “menyapa” Pacitan, Kulon Progo, Wonogiri, Yogyakarta, Purworejo dan Wonosobo. Berkisar 33 nyawa meregang dari badan yang meski tidak sanak saudara tetapi kalau wafat melu kelangan. Ribuan orang cemas penuh waspada seolah menjalin solidaritas atas “umat” Gunung Agung yang sedang “bercengkerama” di Pulau Dewata.

Bencana kembali “menghias” dikala musim penghujan tiba. Namun yakinlah sebagian organ negara akan mengucap “ini kesempatan” untuk menunjukkan kinerja, apalagi anggaran akan terserap penuh “hikmah”.

Para politisi pandai mengambil kesempatan “memotret diri” mengirim warta tentang kepeduliannya pada derita sesama. Media mengunggah “dialah calon pemimpin” yang manunggal dengan warganya.

Dalam putaran roda besar kehidupan, dipastikan politisi selalu cerdik berpose dengan senyum yang terus mengembang meski bersinggungan dengan masalah korupsi. Tampilan Wali Kota Mojokerto yang hendak berangkat diperiksa KPK melengkapi “senyum yang terumbar” dari wajah-wajah “peserta OTT” di Provinsi Jambi.

Tokoh politik dan para pebisnis “tersandung krikil-krikil birokrasi” yang acapkali lihai, karena sudah “tuwuk asam garam” penataan anggaran. Krikil dapat saja dilempar dengan “jejaring serakah” para penguasa parpol yang cenderung “gerilya” untuk selanjutnya terjerembab belepotan.

Simaklah apa yang tengah dibeber di panggung nasional. Mata publik menatap sempurna ke arah Ketua DPR RI Setya Novanto dan mengunggah hasilnya ke pelataran medsos dengan ejekan.

Hari-hari ini sejatinya perjalanan negara sedang ditoreh kekelaman yang tidak pernah terimajinasi sebelumnya: “tahtah dewan” Republik ini roboh. Pemanggul mahkota dibidik berlaku kriminal korupsi kasus E-KTP oleh KPK. Khalayak menelisik ingatannya dengan sorot nanar yang gelisah tentang “muhibah” lembaga DPR, tempat orang-orang berjulukan terhormat.

DPR RI selaku pemegang mandat kedaulatan untuk membangun ornamen konstitusional tengah diruntuhkan sendiri oleh penghuninya. Peristiwa yang melabirinkan institusi demokrasi ke titik paling nadir dengan inti cerita menyangkut tahta dan harta.

Kisah yang terekam adalah Ketua Umum Partai Golkar ini mampu menguras energi rakyat dengan sangat telenovelis. Ragam kasusnya maupun lompatan-lompatan aksinya terpotret atraktif dan dramatik. Rakyat Indonesia siap menunggu cerita apa yang hendak dipentaskan setelah ada dalam jalur peradilan ke depan.

Dunia politik dan hukum menjadi penuh siasat yang menggambarkan muatan pustaka talbis. Mengikuti bahasa Ibnu Jauzi dalam kitab Al-Muntaqa’ An-Nafis min Talbis Iblis (1429 H), kehidupan umat digiring melalui lika-liku talbis: “tipu muslihat, perangkap yang menjerumuskan dengan rayuan kejahatan yang ilutif”. 

eringatan atas skenario talbis iblis yang paling membekas dalam iman teologis ada dalam QS Thaha ayat 120: kemudian setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya dengan berkata: Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa? Inilah bisik-bisik talbis yang siapapun kalau tidak fokus pada “tupoksi penciptaan” akan terjerumus. Pelajaran besar bagi setiap insan.

Setnov selama ini mampu “bermuslihat” terhadap hukum, apalagi di rana sejarah kelam dunia peradilan yang aparaturnya tidak bebas OTT. Agenda Munaslub Golkar diwarnai “tarian rancak” diantara aktor politik negeri ini.

Deretan perkara yang melibatkan anggota DPR RI membutuhkan “tarik nafas yang panjang” agar hati rakyat tetap memiliki optimisme pada “dewa yuridika”. Tampilan “opname di rumah sakit” saat Praperadilan diajukan sampai pada lelucon “cium tiang listrik” serta dinamika Munaslub Golkar amatlah simbolik. Semua itu mengingatkan saya pada The Dead Souls, novel apik Nikolai Vasilievich Gogol (1809-1852) yang merekam akal licik pegawai ambisius dengan manipulasi dan korupsi. Gogol mampu menyayat nafsu manusia serakah dengan penyampaian sindiran yang menghadirkan senyum.

Viral “tiang listrik” amat menghibur dan membungkus kasus ini agar diterima dengan humor di tengah ragam problema bangsa.

Memang membongkar korupsi “orang-orang top” yang menempuh jalan politik telah diungkapkan Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston dalam bukunya Political Corruption (2009) yang menganalisis kedudukan finansial partai politik, sistem kampanye dan kompetisi politik, serta “manajemen senyap” yang menggiring mereka memasuki lahan kekuasaan politik yang bernama korupsi. Mengapa “panggung korupsi” menjadi sedemikian memikat dan diretorika membudaya? Padahal Republik ini memiliki aturan yang sangat sarat nilai moral.

Bacalah aturan yang ada. Pejabat negara yang bernorma dasar Pancasila dan beragama tidaklah pantas pamer tingkah pola korupsi berkelanjutan. Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa telah diamanatkan kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Masihkah Ketua DPR mau terus “bermahkota dewan”? Pasti kita semua tidak hendak bersorak menikmati “lepasnya mahkota” itu, melainkan terpanggil bagaimana membenahi DPR RI menjaga martabatnya. Dalam situasi demikian, membangun karakter anggota dewan adalah pekerjaan besar sejurus dengan pembenahan rekrutmen politiknya.

Perlu diingatkan kembali arti penting jatidiri sesuai Etika Kehidupan Berbangsa yang harus dipatuhi oleh setiap penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.

Eling lan waspodo serta tidak salah bertindak seperti peribahasa Madura “mella’e pettengnga bingong e’leggana”: menatap di kegelapan, bingung di keluasan. Ungkapan yang menggambarkan hilangnya pertimbangan nalar menghadapi bentang cakrawala “bongkahan harta”.

Bukankah semua ada waktunya seperti ejaan fabel bagus Mitch Albom, The Time Keeper (2012), Sang Penjaga Waktu. Akhirnya renungkanlah Hukum ke-47 dari buku The 48 Laws of Power karya Robert Greene (2007): jangan melebihi sasaran yang telah Anda tentukan, dalam hal kemenangan, belajarlah untuk tahu kapan harus berhenti. Makanya jangan salah pilih. 

*Penulis merupakan Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO