Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Jiwa masjid yang mendasari duel melawan musuh kafir atau berperang atas dasar agama itu gambarannya begini: Suatu ketika Ali ibn Abi Thalib Karram Allah wajhah sedang duel satu lawan satu melawan musuh kafir. Seperti biasa, Ali unggul dan si kafir roboh terlentang, sementara pedangnya terpental jauh darinya. Dengan pedang di tangan, Ali segera menghampiri dan hendak menghabisi.
Di luar dugaan, sembari mengangkat badannya hingga posisi setengah duduk, si kafir itu meludah sekeras-kerasnya mengenai wajah Ali. Sengaja dilakukan itu entah apa maksudnya. Mungkin saja karena sudah putus asa dan sudah dipastikan mati. Daripada tidak berbuat apa-apa, lebih baik sedikit melampiaskan nafsu, luamayan. Cobalah terka, apa yang dilakukan Ali ? Ali marah dan makin geram menghabisi si kafir?
Sungguh tidak demikian. Ali justru membentak dan memerintahkan agar kafir itu segera bangun dan cepat-cepat lari darinya. "Pergi, pergi..!". Kafir itu keheranan campur takut, karena diancam pedang jika tidak segera pergi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Sahabat di sampingnya tidak mengerti sikap Ali itu dan bertanya: "Kenapa musuh yang sudah kau kuasai, dia juga tega meludahi wajahmu malah kau lepas?".
Ali menjawab: "Aku berperang hanya ibadah karena Allah, titik. Waktu dia meludahi wajahku, aku sangat tersinggung dan marah kepadanya. Jika aku memenggal kepalanya saat itu, maka aku membunuhnya bukan lagi karena Allah, melainkan lebih karena ketersinggungan dan melampiaskan nafsu amarah. Aku takut tidak mendapat pahala dengan duelku itu, maka aku lepas dia.
Beberapa hari kemudian, lelaki kafir itu datang menghadap sayyidina Ali ibn Abi Thalib R.A. dan menyatakan memeluk agama islam. Dialog terjadi dan salah satu faktor keislamannya adalah, si kafir itu merenung dan terus merenung memikirkan apa yang dilakukan Ali kepadanya. Setelah diketemukan jawabannya, dia sadar betapa agama Islam sangat mulia.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Andai Ali langsung membunuhnya sambil geram dan geregetan, apakah perbuatan itu masih termasuk berperang di jalan Allah yang berpahala? Kami yakin, Allah SWT tetap mencatatnya sebagai amal jihad berpahala. Sebab niat awalnya adalah ibadah, bukan duel nafsu.
Perkara si kafir dilepas dan menjauh, hal demikian karena saking tingginya nurani sufistik Ali, saking dalamnya jiwa keikhlasan berjihad sehingga dalam hitungan detik mampu membaca nafsu yang menyusup di tengah-tengah ibadah jidah. Sementara manusia biasa, justru makin seru menghabisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News