Oleh: Suparto Wijoyo*
BAGI WARGA Kota Malang, Sabtu, 1 September 2018 tidaklah elok melantunkan lagu yang menyuasanakannya. September Ceria yang disuaraemaskan oleh Vina Panduwinata itu akan terasa “hening” untuk akhirnya menundukkan kelam yang tanpa tengara. Sejak Jumat 31 Agustus 2018 terdapat 22 anggota DPRD Kota Malang berserta belasan pejabat Pemkotnya diperiksa berkenaan kasus korupsi yang selama ini telah diketahui publik menyeret 19 anggota yang terhormat. KPK melakukan proses hukum atas “pemanfaatan” APBD Perubahan Tahun Anggaran 2015. Puluhan anggota DPRD Kota Malang itu melengkapi rekan-rekan sebelumnya dan khalayak menerawang penuh cemas bahwa Gedung Dewan akan suwung, karena penghuninya tinggal 4 orang saja. Begitu yang ramai diberitakan dan pileg akan menjadi ajang yang semestinya dapat digunakan untuk “menyucikan diri”.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Demokrasi tidak boleh dicederai oleh korupsi dan apa yang terjadi di Kota Malang sejatinya manifest paling terang mengenai “noktah” perpolitikan. Fakta yang terhelat memberikan kegerahan banyak pihak. Rakyat kebanyakan sampai dengan akademisinya merasa risih tentang realitas Kota Malang yang “melamunkan” dongeng yang semakin absur. Inilah kondisi semacam absurditas dalam novel sampar, La Peste karya sastrawan besar Perancis kelahiran Aljazair 7 November 1913, Albert Camus. La Peste terbit perdana tahun 1947 dan kini telah dialihbahasakan menjadi Sampar (2013). Narasi ceritanya sangat mewakili kompleksitas masalah korupsi di Republik ini yang di tahun 1954, Pramoedya Ananta Toer menyindirnya dalam novel Korupsi sebagai masalah moral individual yang bergeser ke arah problema sosial-politik. Suatu budaya “menjamah rame-rame dana rakyat” yang terintip secara diam-diam namun sistemik. Begitu anggitan tanpa ragu dan hal ini sungguh menggedor nalar sehat seluruh anak negeri ini. Suatu “wabah sampar” itu mendendangkan semarak dengan kebinasaan martabat. Tidakkah ini sudah sedemikian terang? Kisahnya benar-benar persis dengan “percepatan penyebaran penyakit sampar”.
Sikap KPK menuai simpati untuk memberikan kekuatan signifikan atas nama mandat demokrasi. Kalangan dewan dan birokrasi serta rekanan dapat belajar bahwa mempermainkan APBD itu “menampar” hak-hak rakyatnya. Kasus ini “menyempurnakan” deretan kisah rasuah yang sudah sering mencoreng wajah cantik Ibu Pertiwi di kancah pergaulan internasional yang semakin membanggakan. Prestasi Asian Games 2018 yang “mendebarkan bangga” tersayat oleh kuku “pelanggaran hukum keuangan daerah”. Investasi yang ramai hendak ditanamkan di daerah dapat terancam buyar adanya.
Gempita menarik investor harus dibarengi dengan penciptaan tatanan bernegara yang bersih. Membanjirnya berita mengenai “lini kekuasaan” yang terus mengejar-ngejar “korupsi recehan” maupun “mengendapkan rasuah yang gedean” harus terus dikawal. Ini bukan urusan pencitraan, melainkan beraspek menjaga marwah sebuah negara yang berbilang negara hukum. Khalayak ramai sebenarnya mendengar sayup-sayup suara bahwa masih banyak korupsi yang “jumbo” konon belum tersentuh sehingga kondisinya sangat dirasa tidak adil. Apalagi hal itu menyangkut nilai investasi yang berjenis “lain dari yang asli”. Orang lantas berseloroh bahwa soal agenda ini tetap menyimpankan kunci pembuka kolonisasi korupsi sebagai bagian dari cerita dan elegi di negeri ini yang hanya “menyasar politisi”.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Negeri yang sangat kaya raya dalam konteks sumber daya alamnya tidak elok diwarnai korupsi. Lautnya saja dinamakan Kolam Susu seperti yang dilagukan Koes Plus Bersaudara. Semua dapat menjadi rejeki di Republik ini. Tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman yang sanggup memenuhi kebutuhan kita semua, penduduk Indonesia. Mengikuti ungkapan filosofis Mohandas Karamchand Gandhi, (1869-1948): adalah bahwa “... earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”. Ini berarti sesungguhnya bumi nusantara dapat mencukupi seluruh kebutuhan manusianya, tetapi memang tidak pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang. Bukankah korupsi itu adalah soal keserakahan, bukan mengenai kekurangan?
Apa yang terjadi di Kota Malang, saya mengkhawatirkan setarikan nafas dengan para kolega kaum pendidiknya, Gedung Dewan itu terpotret kosong melompong karena ditinggal penghuninya untuk menjalankan “sidang-sidang yang bukan untuk membela rakyatnya melainkan disorot media mengalibikan dirinya”. Gedung yang dalam bahasa candrasengkala tenggelamnya Majapahit di tahun 1400 Saka (1478M) terasa ilang sirna kerthaning bumi alias imperium itu sirna tertelan bumi yang menurut catatan KH Muhammad Sholikhin dalam Trilogi Syekh Siti Jenar (2011), hilang sudah Maharaja Kertabhumi). Balai Manguntur yang agung itu tampak Sunya Nora Yuganing Wang, yaitu kosong blong tidak ada anak manusianya. Sepercikan sinyal waktu 1400 Saka. Gedung itu mungkin hendak menyuguhkan tarikh jelang pileg 2019 untuk menyuwungkan dirinya. Akhirnya saya meraih kembali buku besutan Setyo Hajar Dewantoro yang berjudul Suwung (2017) dalam mendadar batin menelungkupkan ruhaniku menata mozaik leluhur Jawa.
*) Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News