Oleh: Khariri Makmun*
SEJAK masuknya agenda islam politik trans nasional ala Timur Tengah yang bertumpu pada perjuangan politik merebut kekuasaan dengan menggunakan simbol-simbol agama untuk memanipulasi umat, maka wacana dan wawasan politik islam menjadi semakin sempit, rigid, dan kaku.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Di media sosial yang menjadi medan pertempuran politik dunia maya diwarnai dengan ekspresi kebencian, permusuhan, hasutan, fitnah dan hoax.
Setidaknya ada 4 strategi yang dilakukan oleh kelompok islam politik trans nasional menghadapi tahun politik 2019.
Strategi pertama yang ditempuh oleh islam politik trans nasional adalah membenci pemerintah, menjadikan alat negara sebagai musuh, seluruh kebijakan penguasa dianggap keliru, partai-partai koalisi pendukung pemerintah dianggap penjilat. Sikap ini setiap hari digelorakan kepada umat dan dipublikasi melalui media sosial dengan bumbu ayat dan hadis.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Strategi kedua, adalah menurunkan tingkat kredibilitas ulama yang betul-betul ulama, tapi tidak sepaham dengan perjuangan politik mereka. Siapapun ulama yang tidak mengikuti arus pemikiran politik mereka maka dianggap ulama su' (ulama jahat), ulama yang harus dijauhi dan diserang dengan berbagau macam hoax.
Sedangkan orang-orang biasa yang tingkat keilmuan agamanya rendah bisa dinobatkan sebagai ulama atau ustadz selama mereka memiliki pandangan yang sama dengan garis perjuangan politik mereka.
Ketika ulama yang benar-benar memiliki kapabilitas dan akhlak sebagai seorang ulama dihancurkan karakternya, maka para aktivis islam politik ini akan mudah menguasai opini publik dan mengontrol umat melalui fatwa-fatwa agama yang disesuaikan dengan kepentingan politik mereka.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Strategi ketiga adalah meminta bantuan kekuatan asing untuk melakukan manuver dan intervensi di saat terjadi kekacauan. Bantuan asing bisa berupa pendanaan (finansial) dan pengiriman milisi atau kelompok sipil bersenjata.
Strategi keempat adalah memecah umat dalam dua arus, pertama umat yang mendukung kepentingan politik islam trans nasional dan kedua umat yang tidak mendukung kepentingan politik islam.
Pembelahan umat dalam dua kubu dimaksudkan untuk mengukur kekuatan pendukung dan kekuatan lawan.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Jika kristalisasi dukungan terhadap islam politik semakin besar maka mereka akan menempuh dua cara, pertama, cara konstitusional dengan cara melakukan perubahan rezim melalai pemilu dan kedua, menempuh cara revolusi atau menggulingkan kekuasaan melalui kekerasaan.
Konsekuensi dari kekerasan politik adalah perang saudara, chaos, negara hancur, ancaman pemisahan (sparatis), jatuhnya korban sipil serta munculnya berbagai macam problem sosial serta kemanusian.
Bagi kelompok islam politik trans nasional menegakkan sistem pemerintahan islam dan penerapan syariat islam merupakan suatu kewajiban. Dua tujuan politik ini harus diperjuangkan meskipun ambisi tersebut harus berakhir dengan kehancuran negara.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
Inilah barangkali catatan mengerikan yang bisa kita lihat dari perkembangan Islam politik di negara-negara Timur Tengah seperti Irak, Libia, Syria dan Yaman.
Kecurigaan mengenai masuknya elemen islam politik trans nasional di tengah perhelatan pilpres 2019 sangat terasa. Aura kebencian dan perpecahan yang didesain untuk membuat gangguan stabilitas dan kekacauan begitu dekat kita rasakan.
Jika tidak diwaspadai, kondisi gerakan islam politik trans nasional di Indonesia akan melaju kencang tanpa kontrol dan perlahan-lahan menabrak apa saja termasuk menabrak konstitusi, menabrak, falsafah bernegara, menabrak sistem politik serta menabrak islam sendiri, sebagai agama dan norma yang moderat.
Baca Juga: Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”
Di tengah kekeringan wacana keagamaan yang moderat dan humanis, maka tak ada salahnya bagi kita untuk kembali pada cara pandang guru bangsa kita yaitu Gus Dur dalam mengharmoniskan hubungan antara agama dan negara.
Menurut Kiai Hasyim Muzadi saat menyampaikan orasi ilmiah di Monash University, Australia, Gus Dur membawa agama melalui tiga pendekatan yang sangat luas dan fleksibel.
Pertama, Pendekatan filosofis, makna dari agama itu sendiri. Agama Tidak sekedar teks dari agama itu.
Baca Juga: Wacana Sekolah Tatap Muka Mulai Juli 2021, Amankah untuk Anak Kita?
Kedua. Etis, agama ditampilkan sebagai nilai-nilai kesopanan universal.
Ketiga, Humanis: menghadirkan agama sebagai persaudaraan kemanusian yang utuh.
Ketiga pendekatan ini mengalahkan pendekatan legal formal atau hukum-hukum fikih, tetapi selalu mencari alternatif apa yg sebaiknya baik utuk manusia.
Baca Juga: Perubahan Budaya Bawaslu Berbasis Digital dalam Pandemi Covid-19
Gus dur bertumpu pada esensi agama bukan pada hukum legal formal agama.
Yang tidak dilepas oleh gus dur adalah teologi. Tapi wujud dari teologi itu harus tampil dalam bentuk etika, humanisme dan folosofi.
Jika 3 Pendekatan yang dilakukan oleh Gus Dur ini diletakkan pada konsepsi hubungan antara agama dan negara atau antara islam dan politik, maka hubungan keduannya akan harmonis dan tidak menimbulkan ketegangan.
Kultur politik Indonesia tidak sama dengan kultur politik Timur Tengah, meski pengaruh pemikiran politik islam sama-sama kuat di kedua wilayah ini, akan tetapi perbedaan budaya dan karakter masyarakat menjadi alasan kenapa politik di Timur Tengah berbeda dengan politik di Indonesia.
Berkaca dari pengalaman negara-negara Timur Tengah yang dihancurkan oleh prilaku politik yang berlandaskan pada penafsiran teks-teks agama yang sempit, kaku dan menghalalkan kekerasan maka saatnya seluruh komponen bangsa menyadari bahwa bekerjasama dengan kelompok ini akan mengakibatkan Indonesia menuju pada masa depan yang suram serta jatuh dalam jurang kehancuran.
*Penulis adalah Peneliti Institute Hasyim Muzadi (IHM), Direktur Moderation Corner
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News