Oleh: Khariri Makmun*
Perang di Suriah merupakan perang terburuk pada abad ini. Akibat perang ini, lebih dari 600 ribu orang tewas, 6 juta warga tak berdosa mengungsi ke negara lain dan jutaan warga Suriah lainnya hidup tanpa masa depan.
Baca Juga: Ajaib, Pohon Sahabi, Tempat Rasulullah Berteduh, Kini Masih Tegak Subur di Yordania
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perang Suriah. Salah satunya adalah pergeseran Geo-politic global dan termasuk di dalamnya kepentingan ekonomi dan sosial.
Pada 25 Mei 2000 Israel menarik pasukannya dari Lebanon Selatan (kecuali kawasan Mazari Sab'a). Penarikan pasukan Israel ini terjadi setelah mendapatkan perlawanan sengit dari milisi Hizbollah dengan dukungan persenjataan dan militer dari Suriah. Bahkan Pemerintah Suriah juga memberi bantuan rudal canggih buatan dalam negeri yang dapat menjangkau kawasan-kawasan pemukiman Yahudi serta menghancurkan markas-markas penting pasukan Israel di wilayah Lebanon Selatan.
Dukungan militer dan persenjataan Suriah terhadap Hizbollah berhasil memukul mundur pasukan Israel dari Lebanon Selatan membuktikan bahwa Suriah merupakan salah satu poros kekuatan militer di Timur Tengah yang sangat berbahaya bagi Israel.
Baca Juga: Suriah Kini, Mengulang Tragedi Penghancuran Irak dan Libya
Faktor inilah yang menjadi salah satu sebab kenapa Suriah harus dihancurkan.
Ketika pasukan koalisi di bawah kendali Amerika Serikat (AS) melakukan invasi ke Irak pada bulan Maret 2003 untuk membuktikan dirinya sebagai negara super power yang bisa berbuat apapun demi kepentingannya, Colin Powell, Menteri Luar Negeri AS melakukan lawatan ke Suriah dan menyampaikan pesan kepada Presiden Basyar Asad agar Suriah segera menghentikan dukungan terhadap Hezbollah, Hamas dan memutuskan hubungan dengan Iran.
Suriah menolak mentah-mentah usulan AS dan sejak saat itu Pemerintah Suriah justru membantu milisi-milisi Sunni dan Syiah untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan koalisi dibawah pimpinan AS.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Meski pasukan koalisi berhasil menggulingkan rezim Saddam Husein, tetapi AS juga merasakan tekanan pasukan milisi sipil dukungan Suriah yang berani melakukan bom bunuh diri di kawasan-kawasan militer AS, sehingga akhirnya AS menarik pasukanya di Irak secara bertahap dan seluruh pasukan AS ditarik secara keseluruhan pada 18 Desember 2011. Dukungan Suriah terhadap milisi perlawanan rakyat Irak terhadap koalisi AS, menyebabkan kecaman dan kemarahan negara-negara Barat.
Suriah juga aktif membantu gerakan rakyat Palestina untuk melawan Israel termasuk gerakan Hamas. Meski telah dibantu oleh pemerintah Suriah, akan tetapi kini Hamas justru memusuhi Pemerintah Asad. Mungkin inilah yang disebut pepatah susu dibalas air tuba.
Meskipun Suriah agak terlambat membebaskan wilayah Golan dari pendudukan Israel karena keunggulan persenjataan Isreal yang didukung AS dan bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet akan tetapi Suriah masih mampu melakukan keseimbangan kekuatan militernya di Timur Tengah. Suriah juga secara idealis menolak perjanjian atau membuka hubungan diplomatik dengan Israel serta aktif membantu gerakan-gerakan milisi Palestina untuk melawan Isreal.
Baca Juga: Turki dan Suriah Diguncang Gempa, 2.308 Meninggal
Geopolitik dan ekonomi Suriah sangat strategis bagi AS dan Barat. Letak Suriah yang berada di tepi timur laut Mediterania, membuat Suriah sebagai pintu penghubung bagi 3 benua, yaitu benua Asia, Eropa, dan Afrika.
Dengan letaknya yang strategis, maka Suria menjadi titik perlintasan perdagangan tiga benua tersebut. Letak geografi yang strategis ini membuat AS ingin menguasai Suriah, sehingga melalui Suriah, AS akan dapat mengalirkan jalur pipa gas ke negara-negara Eropa. Demikian halnya untuk menjadikan Suriah sebagai jalur perlintasan perdagangan AS ke negara-negara Arab.
Bagaimana perang Suriah bisa terjadi sementara kekuatan Barat yakin bahwa rezim Asad tak mungkin ditumbangkan secara militer karena kemampuan Suriah dalam mengimbangi persenjataan Israel akan dapat memusnahkan Israel dari tanah Arab?
Baca Juga: China Besikap Mendua, 6 Negara Ini Mendukung Invasi Rusia ke Ukraina
Upaya pertama yang dilakukan oleh Barat adalah melatih aktivis anti pemerintah yang tujuannya untuk melakukan oposisi terhadap pemerintah Basyar Asad dengan menyebarkan isu korupsi dan menghambat upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Asad.
Para aktivis anti Asad yang disusupkan oleh Barat melakulan agenda pembusukan dalam dua tahap, pertama, menghentikan gelombang modernisasi Suriah yang dicanangkan Basar Asad sejak tahun 2000. Para aktivis anti Asad ini melakukan manuver menggagalkan modernisasi Suriah, karena jika Suriah semakin modern akan menambah kemajuannya di berbagai bidang termasuk ekonomi dan militer.
Tahap kedua dengan cara menyusupkan pejabat-pejabat penting dalam pemerintahan Asad dengan tujuan menyebarkan citra buruk pemerintah untuk menghancurkan martabat dan harga diri pemerintah serta memutus hubungan antara pemerintah dengan rakyat.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Upaya selanjutnya, melakukan skenario krisis ekonomi terutama di daerah-daerah yang sudah direncanakan sebagai titik awal badai krisis dimulai seperti wilayah Homs.
Di propinsi Homs pejabat pemerintah dikondisikan untuk berhadapan dengan warganya. Ketegangan antara pejabat pemerintah dan warga semakin meningkat ketika harga meteran air di rumah-rumah penduduk mencapai USD 6.000 dan biaya pembangunan kamar flat kecil di wilayah-wilayah miskin membutuhkan biaya suap perizinan yang mahal.
Krisis ekonomi yang diskenariokan oleh Barat cukup berhasil untuk menyulut kemarahan warga Suriah terhadap rezim Asad. Di samping itu kelompok milisi Islam radikal yang sudah dibiayai dan dipersenjatai oleh pihak luar negeri sudah siap mamainkan perannya untuk memprovokasi para pemuda menuju medan pertempuran melawan pemerintah.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Para aktivis anti Asad menyebarkan kampanye hitam dan menggemakan istilah "musim semi Arab" dan meneriakkan ajakan ganti pemimpin melalui jihad. Mulai saat itu, saluran berita-berita Arab yang terhubung dengan kepentingan Barat menayangkan aksi demo dari kelompok radikal yang anarkis dan melakukan perusakan terhadap gedung-gedung pemerintah dan fasilitas umum.
Jumlah kelompok radikal yang memancing aksi demo anarkis tidak lebih dari 8% dari penduduk Suriah. Kelompok ini sebenarnya menjadi korban isu SARA yang dihembuskan oleh propaganda media-media anti Asad. Dan bermula dari sinilah perang Suriah dimulai.
Diantara warga Suriah yang terkena dampak krisis ekonomi dan yang menuntut reformasi administrasi serta ekonomi adalah para demonstran, yang percaya bahwa demonstrasi ini ditujukan untuk "kebebasan dan martabat." Tetapi mereka dengan cepat sadar bahwa ada skenario buruk dibalik demonstrasi. Maka sebagian diantara mereka meninggalkan demo saat suasana mulai panas dan senjata demonstran mulai diarahkan kearah polisi.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Ketika krisis Suriah mulai memanas, barisan anak muda dari berbagai belahan dunia begitu mudahnya datang dan bergabung dengan ISIS atau Jabhatun Nushroh di wilayah Suriah untuk memerangi pasukan pemerintah. Bantuan bagi Jihadis yang akan bergabung dengan ISIS sudah disiapkan mulai dari tiket pesawat, uang saku, honor bulanan, pemandu di perbatasan, donator yang siap mengucurkan biaya, ribuan ulama yang memprovokasi fatwa jihad serta ratusan stasiun televisi yang menyebarkan berita perang agama di Suriah. Agitasi dan penyebaran informasi perang Suriah yang menyesatkan inilah yang mendorong anak-anak muda tertarik untuk ikut berjihad dengan iming-iming surga.
Maka wajar jika hanya dalam waktu sekejap puluhan ribu mujahidin dari berbagai negara dengan mudah masuk Suriah dan siap bertempur melawan pasukan pemerintah Asad.
Perang Suriah bertujuan untuk menghancurkan Suriah tapi para musuh Suriah tidak berhasil menguasai dan menundukkanya. Faktor-faktor yang membuat Suriah masih mampu mempertahankan diri cukup banyak, diantaranya adalah kecintaan dan kepercayaan rakyat terhadap Basyar Asad sebagai pemimpin mereka. Bahkan kecitaan masyarakat Suriah di wilayah-wilayah konflik sangat besar, karena mereka semakin tahu siapa yang mengkhianati Suriah dan siapa yang mengangkat kemulyaan dan kebanggan kepada negara. Perlawaanan rakyat dan kegigihan tentara Suriah membuat Suriah hingga hari ini masih tetap eksis.
Begitu juga dengan dukungan koalisi strategis yaitu Rusia, Iran dan Hizbollah yang tetap setia menemani Suriah dalam menghadap konspirasi global menghancurkan Suriah. Baik konspirasi militer dan konspirasi media propaganda untuk menggiring opini internasional bahwa perang Suriah adalah bagian dari perang agama dan perang sektarian Sunni Syiah.
Opini yang menyesatkan inilah yang memperkeruh krisis Suriah dan menipu kelompok radikal untuk menjadikan Suriah sebagai medan jihad hingga hari ini.
Perlahan tapi pasti, krisis Suriah akan berakhir, meski kehancuran terjadi diberbagai sektor dan lini, pemerintah Suriah sudah mampu menguasai sebagian besar wilayah Suriah. Semoga Suriah dapat segera kembali sebagai bangsa besar dan kembali menjadi pusat keilmuan Islam Aswaja yang kondusif bagi para pelajar yang akan menuntut ilmu agama di negeri Syam tersebut.
Kita semua merindukan negeri Syam yang damai dan menjadi kiblat bagi Islam Ahlusunnah wal Jamaah di tanah air.
6 Nov. 2018
Moderation Corner
Gunung Putri Bogor.
*Khariri Makmun adalah Peneliti Institute Hasyim Muzadi dan Aktivis Rumah Pergerakan Gus Dur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News