Oleh: Suparto Wijoyo*
SUASANA khusuk menyelimuti Jumat malam 9 November 2018 di lorong-lorong kampung, di ruas-ruas musholla, di beranda-beranda langgar, di ruang-ruang masjid, surau ataupun gardu desa. Rakyat membaca doa dengan selingan renungan tentang kisah yang melegenda: pertempuran 10 November 1945. Jumat malam itu langit Surabaya temaram dalam khidmat lantun persembahan yang disorongkan generasi hari ini untuk para pahlawan. Kota Surabaya memberikan kesaksian betapa dahsyat gelora takbir Allahuakbar dan pekik merdeka. Kedua kata yang bersahut dalam telungkup jihad fi sabilillah atas dawuh para alim NU yang terekam di Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945. Laskar-laskar Hizbullah dan pasukan-pasukan santri terpotretmempersiapkan energi untuk memenuhi panggilan mulia.
Baca Juga: Polisi Bongkar Motif Janda Dibunuh Kekasih di Surabaya, Dipicu Surat Gadai Emas
Mereka kaum pejuang itu rela melepaskan nyawa dalam perang yang amat agung mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Mempertahankan kemerdekaan bukan hanya soal negara melainkan menyentuh harga diri yang musti dijunjung tinggi. Ini adalah titik buncah jiwa orang-orang yang terhormat dan kemerdekaan merupakan puncak martabat yang berderajat lebih dari yang bisa dibayangkan oleh kaum yang KKO, alias kanan kiri ok. Siapa dia? Semua orang tahu atau paling tidak merasakan tentang kelakuan sebuah kerumunan yang sibuk berniaga secara riba sambil menelikung perjuangan. Dan Arek-arek Surabaya menempuh jalan lain. Memenuhi seruan untuk melakukan perlawanan kepada kezaliman kolonialisme Belanda yang “mundak cingklakan” kepada Sekutu, tentara NICA.
Gema zikir dan tausiah Jumat malam 9 November 2018 seputaran bakda shalat isya, khalayak muslim itu melingkarkan diri dengan satu poros kalimat tauhid ataupun “jampi-jampi syariah” yang diperuntukkan bagi leluhur, terutama arwah para pahlawan. Arwah dari mereka tidak pernah ia kenal secara personal melainkan menjiwa dalam kosmologi kolektif kesadaran seperti yang dijadikan tema Peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2018: Semangat Pahlawan di Dadaku.
Benar, semangat juang dan rela berkorban, rela berdesak-desakan, rela datang dari jauh, rela melangkahkan kaki, rela memutarkan roda kendaraan bermotor, rela playon ke titik areal yang dinarasikan tempat pertempuran sengit warga Kota Pahlawan. Mereka datangberibu-ribu orang membentuk formasi untuk menyaksikan pentas drama kolosal yang sudah memasuki tahun kesebelas dipanggungkan di jalanan Tugu Pahlawan, depan Kantor Gubernur Jawa Timur.
Baca Juga: PT Umroh Kilat Indonesia, Prioritaskan Beri Edukasi ke Para Jemaah
Bunyi pengeras suara dan langgam lirih bacaan yang diambil dari Kitab Suci Alquran yang bersahutan dari Masjid kampung yang dikumandangkan saat itu, seketika tersedak pembacaannya di beberapa bejana langit yang tergambarkan. Ada yang berbisik bahwa pukul 19.45 ada insiden di wilayah Viaduk Tugu Pahlawan, gelombang massa yang hendak menonton rekonstruksi pertempuran 10 November 1945 itu berjatuhan, berdesakan, berhimpitan, karena ada KRD yang melintas di rel monopolinya. Kabar yang beredar di medsos adalah jerit tangis dan derai air mata serta suara melengking meminta pertolongan membaur menjadi satu gemuruh yang mencerminkan duka serta nestapa. Gelembung jerit itu menumpahkan air mata dan kabar selanjutnya adalah hari-hari ini warga membersitkan sedihnya. Penonton drama Surabaya Membara itu terluka, bahkan meregang nyawa dalam suasana peringatan hariyang menyukma bagi Kota Pahlawan.
Kematian dan luka itu menyebar mewarnai mendung pemberitaan dan semua sontak berkomentar tentang adegan yang sangat realistis sambil memberikan kesaksian tentang jalannya peristiwa Jumat malam yang menghantar maut. Kepolisian sibuk bekerja dan panitia penyelenggara Surabaya Membara dimintai keterangan serta “penguasa rel Kerata Api” tidak luput terbawa arus hukum mengenai proses yang sedang bergerak dalam kelambu proseduralnya. Pejabat kota mengeluarkan pernyataan yang menandakan sikapnya yang tidak tahu atas agenda Surabaya Membara. Adapun “pemilik kereta api” pun hendak lari meninggalkan etape untuk proses hukum dengan dalih yang didalilkan ada “imunitas kerata api”. Hukum dijunjung tinggi dengan undang-undang yang mengatur persepuran, dan khalayak diminta mengerti tentang “proteksi” dirinya yang kebal hukum.
Kematian orang di perlintasan kereta api yang berpalang pintu ataupun tidak, selama ini tetaplah kesalahan korban, bukan dilihat kesalahan korporasi kereta yang “mau melintas tetapi ogah memberi palang pintu perlintasan”. Kelalaian mereka menyediakan palang pintu dan infrastruktur “kerata panjang” mestinya dapat dimintai pertanggungjawan hukum. Biarlah ini menjadi diskusi esok hari.
Baca Juga: Korban Tewas, Begal Perempuan di Surabaya Hanya Dikenakan Pasal Curat, Pengacara Beberkan Alasannya
Simaklah. Viaduk itu menyaksikan fakta kini semakin memperkaya ceritanya. Di sinilah pertempuran hebat terjadi pada saat pengeboman sekutu atas Kota Surabaya. Selanjutnya ada tambahan ceritanya, yaitu adanya heroisme orang Surabaya yang rela berjubel, mendaki jalan sempit, tanjakan terjal tanah pinggir rel, untuk menaiki viaduk. Semua laku ini pandanglah sebagai lambang bahwa Surabaya Membara memang pantas disaksikan. Surabaya Membara telah membuktikan dirinya yang dirindu pagelarannya. Bukti puluhan ribu orang menyaksi memenuhi panggilannya adalah bongkahan yang tidak terelakkan.
Mengenai korban pastilah akan ada langkah-langkah penataan. Ini urusan kita semua, pemerintah kota dan pemerintah siapapun yang peduli tentang rakyatnya. Menyantuni dan berkata santun sebagai tanda empati sekaligus turut berduka adalah pilihan ungkapan terbaik. Soal besaran santunan dan anggaran yang tidak tersedia janganlah dibeber dalam jumpa media yang kemudian akan menyesakkan. Kejadian ini menaburkan benih pembelajaran terbaik bahwa pelakonan Surabaya Membara memang urusan nasional di Surabaya. Niscaya untuk tahun depan, pementasan ini harus dengan sengkuyung seluruh elemen kota. Seniman telah mendharmabaktikan diri melalui kreasi seni atas Semangat Pahlawan yang tersemat di dadanya.
*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Baca Juga: Peringati Hari Pahlawan, Umaha Sidoarjo Gelar YPM Bersholawat Bersama Habib Syekh dan Khofifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News