Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Waja’alnaa allayla waalnnahaara aayatayni famahawnaa aayata allayli waja’alnaa aayata alnnahaari mubshiratan litabtaghuu fadhlan min rabbikum walita’lamuu ‘adada alssiniina waalhisaaba wakulla syay-in fashshalnaahu tafshiilaan (12).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Di negeri ini kita kenyang-kenyang disuguhi perbedan pendapat soal penentuan awal bulan Syawal maupun Ramadhan. Jadinya, ada yang sudah mulai puasa atau lebaran duluan, ada yang besoknya. Tapi karena sama-sama dewasa and pangerten, maka adem ayem saja.
Tahun sembilan puluhan, tepatnya zaman pak Soeharto dulu sedulur Nahdliyyin sering lebih dahulu memulai puasa maupun lebaran. Besoknya, baru sedulur Muhammadiyah bersama pemerintah melakukan shalat idil fitri. Hal itu, karena kelender Muhammadiyah menggunakan dasar rukyah hilal derajat tinggi, di atas dua derajat. Di bawah itu mereka psimis, lalu pakai istikmal, digenapkan 30 hari. Malah pernah tiga tahun berturut-turut istikmal terus.
Sementara kalender Nahdliyyin memandang cukup hilal berderajat dua, sudah bisa dirukyah. Kini bahkan lebih rendah dari itu. Meski tim rukyah NU berani bersumpah dan siap disumpah bahwa hilal sudah terlihat, tapi pemerintah waktu itu tidak menggubris. Jadilah tidak bareng beridil fitri.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Lalu, era orde baru tumbang dan Gus Dur menjadi presiden. Saat itulah dulur-dulur Muhammadiyah mengubah pola pikir secara drastis. Semula pakai rukyah derajat tinggi dan selalu kalah start, menjadi tidak rukyah-rukyahan dan hanya berpedoman hisab saja. Pokoknya hilal sudah diperkiraan wujud (ada), imkan al-wujud menurut hitungan mereka, walau NOL KOMA sekian derajat di atas ufuk, maka sudah dihitung tanggal satu bulan baru. Jadinya, mendahului. Terserah pembaca mau komentar apa: Itu dinamika ijtihad ikhwan Muhammadiyah atau inkonsistensi pemikiran?
Nama hisab yang mereka pakai sekarang adalah "Hisab Hakiki", artinya hisab sungguhan. Hal mana, istilah itu dulu tidak ada, tidak populer. Tambahan kata hakiki itu untuk meyakinkan, bahwa hisab garapan Muhammadiyah sungguh otentik dan nyata menurut mereka. Kita wajib hormat terhadap pemikiran dan perbedaan, meski ada guyonannya: Apa hisabnya dulu tidak hakiki?.
Lalu, apa kata tafsir aktual soal status al-HISAB menurut siratan ayat al-qur'an?. Apakah hisab itu hanya ada pada tataran ilmu belaka atau pada tataran pedoman amal?
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Menurut yang tertera pada ayat studi ini, ternyata kata al-hisab diantar dengan kata "Li TA'LAMU" (mengetahui), bukan LI TA'MALU (mempraktikkan). Hal itu mengisyaratkan bahwa al-hisab hanyalah sebagai ilmu, sebatas ilmu yang membantu pelaksanaan amaliah dan dalam hal ini belum cukup sebagai pedoman beramal langsung.
Ayat senada ada juga pada surah Yunus: 5, bahkan lebih lengkap dan lebih jelas termasuk menunjuk planet plus manazilnya. Inilah yang dipakai pedoman sedulur Nahdliyin yang punya prinsip, yakni pakai hisab yang dikuatkan dengan rukyah tanpa pengaruh kondisi politik apapun.
Masing-masing juga berpedoman pada al-Hadis seruan rukyah meski pola syarkhnya berbeda. Keduanya telah sama-sama berijtihad sesuai selera. Keduanya sama-sama terpuji dan keduanya sama-sama dirahmati Allah SWT. Mudah-mudahan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News