MK Tolak Semua Gugatan PDIP dan Khofifah tentang UU MD3
JAKARTA(BangsaOnline)
Baca Juga: Survei Poltracking Terbaru, Khofifah-Emil Melejit Tinggalkan Risma-Hans dan Luluk-Lukman
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua materi gugatan Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Putusan dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, yang bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2014).
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Hamdan Zoelva, saat membacakan sidang putusan di ruang sidang.
Baca Juga: Survei ARCI: Khofifah-Emil Dominan di Mataraman
Dalam surat putusannya MK menyatakan bahwa, PDIP selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian UU MD3. MK juga berpendapat, bahwa PDIP tidak memiliki kerugian secara konstitusional.
Sebelumnya, PDIP mendaftarkan uji materi UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Dalam permohonannya PDIP menyatakan telah dirugikan tujuh pasal dalam UU tersebut. Pasal tersebut adalah Pasal 84, 97, 104, 115, 121, dan 152.
Baca Juga: Siap Jadikan Jawa Timur Sebagai Gerbang Baru Nusantara, Khofifah-Emil Ajak Sukseskan Pilkada 2024
Selain PDIP dan Khofifah, ada tiga pemohon lain yang menguji materikan UU MD3 itu. Yaitu Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (ICJR), perwakilan DPD, serta sejarawan JJ Rizal.
Masing-masing pemohon menginginkan Mahkamah membatalkan beberapa pasal dalam UU MD3 itu.
Seperti misalnya, PDI Perjuangan yang menginginkan pembatalan terhadap Pasal 84 mengenai mekanime pemilihan pimpinan DPR.
Baca Juga: Sholawatan Bersama Habib Syekh, Khofifah Ajak Generasi Muda Tingkatkan Prestasi dan Jauhi Narkoba
Sedangkan Khofifah menginginkan Mahkamah membatalkan pasal tentang keterwakilan perempuan di parlemen.
Kemudian ICJR dan sejarawan JJ Rizal meminta Mahkamah membatalkan Pasal 245 UU MD3 mengenai imunitas anggota DPR.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim konstitusi Patrialis Akbar menyebutkan
Pasal 84 UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi. Musababnya, dalam Pasal
22e UUD 45 disebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota DPR, DPRD, presiden dan wakil presiden.
"Masalah pimpinan DPR menjadi hak dan kewenangan anggota terpilih untuk
memilih pimpinannya yang akan memimpin lembaga DPR," ujar Patrialis saat
membacakan putusan. "Hal ini lazim dalam sistem presidensial dengan sistem
multipartai karena sistem pengelompokan anggota DPR menjadi berubah ketika
berada di DPR berdasarkan kesepakatan masing-masing."
Dalam pertimbangannya, Patrialis juga menjelaskan riwayat mekanisme pemilihan
pimpinan DPR sejak 1999. Menurut dia, Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 1999 disebutkan
bahwa mekanisme pemilihan pimpinan DPR didasarkan pada kesepakatan bersama
anggota di parlemen.
Kemudian dalam Pasal 21 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan MD3 disebutkan
bahwa pimpinan DPR dipilih oleh anggota Dewan. Hanya UU Nomor 27 Tahun 2009
tentang MD3 yang mengatur bahwa pimpinan DPR berasal dari partai pemenang
pemilu.
Baca Juga: Di Sidoarjo, Khofifah Ajak Sukseskan Pilkada Serentak 2024 dengan Damai dan Senang
"Menimbang bahwa alasan pimpinan DPR haruslah mencerminkan konfigurasi pemenang pemilihan umum dengan alasan menghormati kedaulatan rakyat yang memilih, maka, menurut Mahkamah, alasan demikian tidak berdasar karena pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden serta wakil presiden, bukan untuk memilih pimpinan DPR," kata Patrialis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News