Tafsir Al-Isra' 37-38: Menari Hukumnya Haram (?)

Tafsir Al-Isra Ilustrasi. foto: Sydney Dance Company

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

37. Walaa tamsyi fii al-ardhi marahan innaka lan takhriqa al-ardha walan tablugha aljibaala thuulaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.

38. Kullu dzaalika kaana sayyi-uhu ‘inda rabbika makruuhaan.

Semua itu kejahatannya sangat dibenci di sisi Tuhanmu.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

TAFSIR AKTUAL:

Kemungkinan eksistensi pesan ayat sebelumnya kurang diterima oleh manusia. Hal itu karena sifat congkaknya yang melambung tinggi. Lalu ayat kaji ini menyikapi dengan sindiran mematikan. You, kalau berjalan jangan congkak, sok digdaya. Membelah bumi saja tidak bisa. Bahkan fisikmu sangat mungil dibanding gunung.

“Walaa tamsyi fii al-ardhi maraha”. Masya-yamsyi, artinya berjalan, menggerakkan badan dari satu tempat ke tempat lain. Maraha, artinya congkak, berlagak, sombong, dan sebangsanya. Ditunjuk soal berjalan, karena keadaan jiwa seseorang bisa dibaca melalui cara berjalannya.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Ada gaya berjalan yang santun dan ada gaya berjalan yang sombong. Ada pola berjalan yang lunglai memelas kayak jalannya pesakitan digiring polisi dan ada gaya berjalan yang menunjuk semangat dan tanggap seperti jalannya militer berbaris. Untuk itu, makna “maraha” pada ayat kaji ini adalah gaya berjalan yang melambangkan kecongkakan. Lalu, apakah gaya “maraha” ini mutlak dilarang?.

Jika gaya berjalan “maraha” itu dengan tujuan yang dibenarkan agama, seperti militer, pasukan perang untuk membuat nyali musuh Allah mengkeret, maka dibolehkan, bahkan dianjurkan. Jika hanya berlagak dan mengesankan kesombongan, maka dilarang.

“Walaa tamsyi fii al-ardhi marahan..”. Tidak diperkenankan melakukan gerakan yang melambangkan “maraha”, kesombongan, kecongkakan. Dari ayat ini, beberapa ulama seperti al-imam Abu al-Wafa’ ibn Aqil, hujjah al-islam Muhammad al-Ghazali tidak membolehkan menari.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Menari menunjukkan gerak kecongkakan, membanggakan diri, berlagak yang membuat pelakunya terbawa dalam kecongkakan yang sedang dia perankan. Jiwa penari pasti larut dalam kebohongan dan kepura-puraan yang negatif dan terpental dari Sang Khaliq. Etika tasawwuf melarang seseorang berbangga-bangga diri, meski itu hanya sekadar peran, karena ketakabburan hanyalah milik Allah SWT.

Pandangan Abu al-Wafa ini lebih lanjut dikutip al-Qurtuby dengan memperluas bahasan, seperti menari bersama antara laki-laki dan perempuan dalam satu kolaborasi, satu koreografi dan padu, satu panggung. Apa lagi tarian yang sampai bersentuhan badan, seperti tarian yang dilakukan oleh orang-orang fasiq, ahli maksiat, ayat ini memvonis keharaman (al-Qurtuby:XI/p.263).

Tetapi tarian zaman sekarang telah banyak modifikasi dan misi, tidak hanya disajikan sebagai hiburan dan media kemaksiatan, melainkan juga sebagai media dakwah dengan menyisipkan pesan keagamaan yang tersiap dalam gerak tari tersebut.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Seperti sebuah tarian dengan tema tentang respons para petani, pekerja di sawah, di ladang terhadap suara adzan yang dikumandangkan. Mereka menghentikan pekerjaannya, lalu ambil air wudlu, bergegas ke masjid dan shalat. Tentu saja pekerja dakwah via seni tari demikian mencak-mencak tidak terima diharamkan dan menghukumi boleh.

Ya, tapi harus diingat, bahwa sulit menghindari pergumulan maksiat antar penari pria dan wanita dalam satu wadah. Sisi ini sering diabaikan oleh pekerja seni yang berdalih religious, karena di sinilah justru indahnya. Tanpa gadis cantik yang lembut bergoyang, tanpa liukan tubuh yang seksi, tanpa lambai jemari cantik dan sedikit membuka aurat di hadapan umum, rasanya tarian hambar dan kaku.

Silakan dipertimbangkan, besar mana antara manfaatnya bagi agama dan mafsadahnya (?). Biasanya pekerja seni lemah berpikir soal komparasi ini, lalu berjalan mengikuti nafsu atas nama dakwah islamiah. Untuk menyikapi ini, kebanyakan umat islam ya iya iya saja menikmati seni kolaboratif tersebut, kecuali mereka yang ketaqwaannya mapan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO