Surah Ibrahim, Antara Kiai dan Koki

Terjemahan Surah Ibrahim : 1-3

Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (14: 1)

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (14: 2)

(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. (14: 3)

General Review

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Surah Al – Ra’d

Ini tidak menyarikan isi kandungan surah al-ra’d, karena seluruh kata dalam Alquran adalah sari yang punya makna. Dalam acara seremoni, di mana ayat-ayat suci Alquran dibaca sebagai pembuka, acap kali ditampilkan terjemahannya ke dalam bahasa indonesia yang diistilahkan dengan “sari tilawah”.

Maksudnya sebatas menyajikan petikan pesan dari ayat-ayat yang dibaca. Tidaklah berarti terjemah itu adalah sari, sementara sisanya adalah ampas yang tak berguna. Alquran bukan buah kelapa yang bisa diperas santannya, melainkan kalam suci yang masing-masing hurufnya punya arti.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Ini sekedar mengedepankan pelajaran gelondongan dari keseluruhan pesan surah al-Ra’d yang sudah kita kaji. Surah Petir yang posisinya menyela di tengah-tengah deretan surah bertitel nama para nabi, yakni : surah Yunus, Hud, Yusuf, al-Ra’d, lalu surah Ibrahimsungguh menarik untuk dicermati. Ada apa Tuhan menyelipkan persoalan petir di tengah-tengah kisah para nabi?”. Allah a’lam.

Yang nampak adalah :

Pertama, tipologi empat nabi tersebut terkait kondisi umat yang dipimpinnya, masing-masing nampak berbeda. Era Yunus A.S. yang frustasi dan minggat, sementara kaumnya sudah bertobat merindukan Yunus kembali berdakwah di tengah-tengah mereka.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kali ini tidak hanya kaumnya yang dihukum, bahkan sang Nabi juga dikenai teguran dari Tuhan. Mendekam beberapa waktu di perut ikan di lautan dalam. Pelajaran bagi para juru dakwah, kiai, ustadz, pendidik agama agar jangan mengeluh, apalagi frustasi.

Lain dengan nabi Hud A.S. di mana kaumnya durhaka banget dan langsung ditumpas. Pelajaran bagi kita, jangan menyakiti orang-orang shalih, Tuhan bisa tidak terima dengan itu. Lalu nabi Yusuf A.S. yang cenderung bergaya flamboyan tapi tegar. Dari kecil sudah harus mandiri dan merintis karier sesuai kemauan sendiri.Dakwahnya sangat taktis, menyusup dalam kekuasaan, hingga bisa mengambil kekuasaan. Tak ada kisah azab-azaban di era ini.

Kedua, sebelum berutur dalm surah Ibrahim, Tuhan menyelipkan persoalan petir yang sejatinya tidak sekedar berbicara petir, melainkan banyak hal. Termasuk keajaiban alam yang tak terjangkau oleh akal manusia seharusnya bisa mengantarkan mereka menuju keimanan lewat membaca fenomena alam. Kedahysatan petir, kilat, awan kelam, malaikat disatukan bak monster elektrik yang mengerikan dan siap meluluhkan apa saja dan siapa saja.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Pada surah al-Ra’d ini tidak ada satupun nama nabi yang disebut agar pesan yang disebar bersifat universal dan umum. Dipersilahkan berbuat apa saja, tapi Tuhan sudah memberi bimbingan dan sudah pula menetapkan adanya hari pembalasan.

Lalu surah Ibrahim, seorang bocah yang lahir di tempat pengasingan hingga tak pernah dengar informasi apa apa. Begitu keluar dari habitatnya, yang lebih dahulu ada di benak Ibrahim bukanlah mencari kehidupan, melainkan mencari Tuhan. Mulailah dia menyeleksi planet angkasa, bintang, bulan dan matahari untuk dijadikan Tuhan sesembahan, tapi semuanya tidak lulus. Ibrahim muda, akhirnya menemukan Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya.

Ibrahim, akhirnya mencapai derajat tinggi sebagai kekasih Allah, khalilullah. “Hai Ibrahim, tahukah kamu apa alasanKu memilih kamu sebagai kekasihKU ?”. Ibrahim menjawab :” tidak”. Allah SWT :” li ann al-‘atha ahabb ilaik min al-akhdz”. Karena kamu sangat menyukai “memberi” daripada “menerima”. Jiwa pengorbananmu sungguh jauh lebih besar dari pada mental berharapmu menerima sesuatu.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Nah, surah al-Ra’d yang menyela tersebut berfungsi sebagai pengantar sekaligus menitipkan pesan :” hai umat manusia, cukuplah belajar dari masa lalu dan capailah keimanan tingkat tinggi seperti dimiliki oleh Ibrahim A.S.”. Dengan ini, ngaji kita surah al-Ra’d selesai dan insya Allah lanjut ke surah Ibrahim.

Surah Ibrahim, Antara Kiai dan Koki

Terjemahan Surah Ibrahim : 1-3

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (14: 1)

Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (14: 2)

(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. (14: 3)

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

TAFSIR

Ada surah Alquran yang namanya diambil dari kata yang ada di di dalam surah tersebut, termasuk surah ini dan itulah yang terbanyak dan ada yang namanya tidak diambil dari kata di dalamnya, seperti surah al-Ikhlas, al-Fatihah dan lain-lain. Surah ini diawali dengan huruf muqatta’ah ( Alif Lam Ra ) yang disambung dengan pembahasan tentang peran kitab suci Alquran sebagai pengentas umat manusia dari lembah al-dzulumat menuju era al-nur.

Al-dhulumat artinya gelap, sebuah kata metaforis yang dipakai untuk melambangkan kesesatan, kekafiran, keterbelakangan, kebodohan dan segala bentuk negatif menurut pandangan agama. Sedangkan al-nur berarti cahaya atau sinar. Sebuah simbol keimanan, keislaman, kecerahan, hidayah dan segala bentuk kemajuan peradaban, ilmu dan tehnologi.

Dalam ayat ini ada tiga hal penting menyangkut kebahasaan. Pertama, tamsilan segala bentuk keburukan sebagai al-dhulumat (gelap) dan segala bentuk kebajikan diibaratkan sebagai al-nur (cahaya). Kedua, kata al-dhulumat menggunakan bentuk jamak, sedangkan al-nur menggunakan bentuk mufrad dan ketiga, digunakan kata “tukhirija” dalam bentuk mudhara’ah.

Soal al-dhulumat sebagai simbol kekafiran atau keterbelakang sebab pandangan kafir itu tidak bisa melihat kebajikan seperti orang yang terkurung dalam ruang gelap gulita. Langkahnya sesat, nyasar dan nabrak-nabrak. Orang yang sesat di jalan pasti sengsara dan pengemudi mobil yang menabrak pasti membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Sama dengan orang bodoh, maka langkahnya ngawur dan salah. Seseorang yang tidak bisa mengoperasikan internet, pasti gagap dan tidak tahu arah. Akibatnya tidak berhasil mencapai apa yang diinginkan. Bisakah seseorang sampai ke surga, sementara dia tidak menempuh jalan menuju ke sana secara benar?.

Bentuk jamak untuk kata “al-dhulumat” karena kekafiran, perbuatan dosa, maksiat, kebodohan, keterbelakangan itu banyak ragam dan jenisnya. Jalan yang disediakan sangat enak, sesuai nafsu dan beraneka ragam. Sedangkan al-nur, berbentuk mufrad mengingatkan kita bahwa jalan yang benar itu hanya satu, sangat jelas, definitif, tidak kabur dab tidak punya alternafir lain. Satu dan lurus.

Sedangkan bentuk mudhara’ah yang ada pada kata kerja “yuhkrij” menunjukkan bahwa kerja mencerahkan, berdakwah, mengubah yang buruk menjadi baik, menasehati, mendidik itu harus kontinyu dan terus menerus. Begitulah sifat amal baik, dituntut langgeng dan menghasilkan, seperti Tuhan yang selalu memberi kebajikan tanpa pernah berhenti. Aktifitas-Nya multi segala-galanya, maha disiplin dan tepat, serta menuntut manusia untuk selalu berbuat yang terbaik.

Di sebuah hotel Jepang, seorang kepala koki selalu ada di tengah-tengah tamu yang sedang menyantap hidangan yang disajikan di ruang makan. Tidak sekedar siap melayani apa yang dibutuhkan para tamu, melainkan juga memberi bimbingan cara menyantap menu yang disajikan.

Seorang tamu memilih makanan sesukanya, asal ambil, lalu memakan sesuai kemauannya. Melihat kasus itu, sang koki langsung menghampiri dan memberi petunjuk, bahwa kalau makan sajian ini, maka yang diambil adalah ini, ini dan seterusnya, dengan cara makannya begini. Mengapa sang koki bertindak demikian ?

Bukankah itu membatasi kebebasan tamu dan membuatnya tidak nyaman? Apakah tindakan itu tidak merugikan marketing hotel? Begini, tindakan sang koki itu murni untuk mengoptimalkan servis terbaik. Dengan memilih menu yang benar dan cara memakan yang benar, maka akan menghasilkan paduan rasa istimewa sesuai yang dikehendaki juru masaknya.

Jika komponennya keliru atau cara makannya tidak benar, maka rasa akan rusak, sehingga harapan juru masak gagal. Akibatnya, tamu akan punya kesimpulan, bahwa sajian menu di hotel itu tidak enak. Padahal, kesalahan ada pada tamu, bukan pada restoran.

Nah, efek inilah yang dijaga oleh hotel di Jepang tersebut. Di sini, tamu tidak bisa mengatakan, “Terserah gue, ini lidah-lidah gue sendiri, mau makan ini kek, atau itu kek, yang penting saya sudah membayar..dst.”. Andai anda berbuat demikian, membandel dan tidak mau diberi bimbingan makan yang benar, bahkan membantah dan bersuara keras, maka seluruh tamu di sekitar anda akan mencibir dan merendahkan anda sebagai primitif dan tidak berperadaban.

Nah, kiai, ustadz, guru itu seharusnya kayak begitu, sangat perhatian kepada umatnya, agar mereka bisa optimal menikmati ajaran agama yang disajikan.

Anggota DPR Lebih Suka Ngurusi Banci

“ al-ladzin yastahibbun al- hayah al-dunya ‘ala al-akhirah wa yabghunaha ‘iwaja”. Singkatnya, ada tiga parameter untuk mengetahui perbandingan kadar keimanan dan kadar kekafiran yang ada pada diri seorang. Pertama, “yastahibbun al-hayah al-dunya”, sikapnya terhadap materi, uang atauharta benda. Mereka sangat menyukai uang dan harta benda jauh ketimbang memproyeksikan hidup di akhirat nanti.

Memiliki harta secara halal sebanyak mungkin itu perlu. Bukan untuk dinikmati sesaat di dunia, melainkan untuk tabungan di hari akhir nanti.

Orang kaya raya dan berlimpah harta benda itu sebatas prestasi dunia belaka, belum bisa disebut punya presatasi agama atau akhirat. Di sini keimanan diuji. Jika hartanya banyak disedekahkan untuk amal kebajikan atau berinfaq di jalan Allah, maka dia adalah orang beriman sungguhan yang lebih memilih hidup enak di akhirat. Jika sebaliknya, maka ada kekufuran di hati mereka.

Kedua, “yashuddun ‘an sabilillah”. Tidak suka kegiatan agama, abai dan bahkan menghambat. Lebih aktif memajukan budaya, kesenian, olah raga ketimbang memajukan keagamaan atau kerja kebajikan termasuk menunaikan tugas legistalif. Walhasil, amanat agama diabaikan, amanat rakyat dikesampingkan, tapi yang tidak diamanatkan malah ditekuni.

Seandainya ada anggota DPR yang lebih suka mengurus banci, sibuk berkreasi dalam pagelaran dan sendra tari ketimbang menunaikan amanat rakyat, sehingga dibuat rasan-rasan banyak orang karena sangat tidak aktif, hampir tak pernah ikut rapat komisi dan jarang sekali menghadiri sidang paripurna, maka itulah gambaran“moral kafir” yang disindir ayat studi ini. Kafir artinya mengingkari dan dia telah mengingkari amanat rakyat yang dia minta sendiri.

Ketiga, “wa yabghunaha ‘iwaja”. Perbuatannya cenderung menyimpang dari jalan yang benar. Agama mewajibkan wanita menutup aurat, tapi dia malah membukanya di hadapan umum, bahkan berjoget erotis dan merangsang nafsu. Tuhan melarang perzinaan, tapi dia malah menfasilitasi dan membela-bela. Meskipun dia salat dan puasa, tarawih dan sedekah, haji dan umrah, tapi ada dosa besar yang disandangnya. Bisa dipastikan, pahala ibadahnya sangat tak sebanding dengan dosa besarnya yang rutin itu.

Lalu, sejenak kita ngaji bahasa. Pertama, kata “Sabil” (jalan, agama, pandangan). Bentuk kata ini nyata-nyata “mudzakkar” (maskulistik), tapi dalam Alquran kadang diperlakukan sebagai “mudazakkar” dan itu yang terbanyak (misalnya : al-A’raf: 146), dan kadang diperlakukan sebagai bentuk “mu’annats” (feministik) seperti pada ayat studi ini (3).

Kedua, kata “ iwaj, iwaja” yang terdiri atas tiga huruf, yakni : ‘ain, waw, jim. Pada dasarnya, kata ini bermakna: bengkok atau menyimpang”.Bila dibaca “iwaj” (huruf ‘ain dibaca kasrah dan huruf waw dibaca fathah), maka untuk sesuatu secara umum yang pada dasarnya bisa berbentuk lurus atau tidak lurus. Makanya, bisa dipakai untuk membahasakan segala sesuatu yang bengkok atau menyimpang. Seperti jalan, agama, pemikiran, kayu dan lain-lain. Tapi kalau dibaca “ ‘auj” (huruf ‘ain dibaca fathah dan waw disukun), maka khusus pada sesuatu yang pada dasarnya mesti lurus atau tegak, seperti anak panah, dinding, penggaris dsb. Benda-benda ini jika sampai berbentuk bengkok atau tidak lurus (auj), maka dianggap keluar dari aslinya dan eror.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO