Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
45. wa-idzaa qara'ta alqur-aana ja’alnaa baynaka wabayna alladziina laa yu/minuuna bial-aakhirati hijaaban mastuuraan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al-Qur'an, Kami adakan suatu dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat.
TAFSIR AKTUAL
Ayat 45 kemarin menunjuk, bahwa Alqur'an itu punya daya tutup (hijab) sehingga orang-orang kafir tidak bisa melihat nabi Muhammad SAW yang hendak dibunuh. Makna lain dari "hijaaba masturaa" adalah ketertutupan pandangan orang kafir hingga tidak bisa melihat hidayah di depan matanya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Bila tesis dikembangkan, jadinya, bahwa orang beriman wajib pandai menangkap hidayah, disamping wajib pula berpikir cerdas dalam melihat persoalan, tidak picik dan tidak emosi, tidak pula tertutup dan nafsu, sehingga mampu membedakan mana yang esensi dan mana yang formalis.
Sekadar mengambil contoh, jika ada bendera bertuliskan "La ilaha illa Allah", maka, apa makna yang terbaca pada tulisan itu?.
Pertama, makna tauhidnya. Bahwa itu adalah tesis teologis, kalimah tauhid, terma imaniyah bagi umat Islam yang wajib dihormati secara mutlak, di mana saja dan kapan saja, dalam keadaan apa saja. Maka hukum yang berlaku atasnya adalah haram bagi orang beriman melecehkannya.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kedua, makna simbolik, hanyalah bendera biasa yang bertuliskan huruf-huruf arab yang merangkai kalimat "La ilaha illa Allah". Hal mana, huruf adalah budaya atau ciptaan manusia sebagai lambang bunyi. Dari sisi lambang, sama derajatnya dengan lambang lain, meski terbaca identitasnya secara khusus. Maka hukum yang berlaku atasnya adalah hukum tradisi dan lahiriah, yakni bendera biasa dan bukan kalimah tauhid.
Di sini perlu ada ilmu kedua, ilmu kearifan membaca, ada di mana? pada posisi apa? digunakan untuk apa tulisan "La ilaha illa Allah" itu? Maka di situlah hukumnya. Bila kalimah "La ilaha illa Allah" berada pada posisi alamiahnya, ada pada tempat aslinya - belum terkontaminasi oleh kepentingan politik manusia, belum digunakan sebagai simbol kelompok tertentu - seperti ada pada mushaf Alqur'an, ada pada kaligrafi, pada kutub turats, buku pelajaran agama, maka makna kalimah tauhidnya sangat kuat dan nyata. Kita wajib menghormat.
Siapa yang sengaja menista dan sadar atas perbuatannya, seperti menginjak-injak, merobek-robek secara bengis, membakar secara benci, menceburkan ke tempat kotoran, maka menurut ulama salaf dihukumi sebagai murtad fi'ly, berdosa dan harus segera bertobat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Tapi jika tulisan "La ilaha illa Allah" sudah dipakai sebagai simbol, lambang, atau bendera tertentu, sudah tidak pada tempatnya yang asli, maka hukumnya ada pada wadahnya. Ada pada lambang, pada bendera, dan bukan lagi sebagai kalimah tauhid yang bermaknakan keimanan.
Sayyiduna Ali ibn Abi Thalib Karram Allah wajhah mengomentari ulah oposisi yang menggunakan kalimah "La ilaha illah Allah" sebagai tameng politik saat arbitrasi dulu, "Kalimah haqq urid biha al-bathil". La ilah illa Allah itu sungguh kalimah kebenaran (haq), tapi dipakai untuk tujuan kebathilan (kepentingan poltik). Bukan "La ilah illa Allah" nya yang salah, tapi klaim kebenaran penafsirnya yang salah.
Ali Ibn Abi Thalib yang sedemikian mulia, menantu Rasulullah SAW, khalifah keempat, juga dijamin masuk surga dituduh keluar dari jalur "la ilah illa Allah" yang harus dibunuh. Dan ternyata dibunuh. Anda tahu siapa pembunuhnya?.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Pembunuhnya adalah Abdur Rahman ibn Muljam al-Murady al-Muqri'. Dia seorang sahabat mulia papan atas, guru besar Alqur'an, pakar tafsir Alqur'an dan politikus radikal. Pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab, dia ditunjuk menjadi guru besar Alqur'an ke Mesir saat gubernur Mesir dijabat 'Amr ibn al-'Ash. Makanya, ibn Muljam bergelar "al-muqri'", guru besar Alqur'an.
Tafsir aktual ini tidak untuk menghakimi, melainkan sekadar menyajikan pola pikir sekaligus fakta terkait adanya perbedaan persepsi teologis yang berpotensi merobek-robek kemaslahatan umum, merusak persatuan dan hidup damai sesama muslim. Semoga pembaca yang dirahmati Allah bisa memetik pelajaran dari fakta di bawah ini:
Pertama, pada piala dunia yang lalu, pada kulit bola ada tertera semua bendera negara peserta pesta bola tingkat dunia tersebut. Salah satunya adalah Arab Saudi yang benderanya bertuliskan "La ilaha illa Allah" disertai pedang di bawahnya. Namanya bola, ya ditendang-tendang, kena becek air, atau bahkan kotoran dan lain-lain.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Ulama Saudi tahu itu dan membiarkan. Ya, karena mereka sangat alim dan arif dalam melihat persoalan. Kapan "la ilah illa Allah" sebagai kalimah tauhid dan kapan sebagai bendera. Tulisan "la ilah illa Allah" banyak terdapat di koran bekas dan sebangsanya, di sana dibakari, diangkut campur kotoran dan sampah.
Kedua, seorang cewek peserta lomba renang asal Arab Saudi memakai pakaian renang khusus, ketat dan mini seperti kita tahu. Seperti biasanya, motif dan warnanya pasti mewakili bendera negara yang diwakili. Penulis lihat sendiri, cewek itu memakai baju renang warna hijau, di bagian dada bertuliskan huruf arab " La ilaha illa Allah " dan di bawahnya ada gambar pedang melintang. Apa itu berarti penistaan terhadap kalimah tauhid?
Ketiga, seperti sudah pernah penulis khutbahkan pada hari-hari lalu, kita tahu ada banyak mobil, di kaca belakang bertuliskan kalimah "La ilaha illa Allah". Jika mobil itu, karena suatu hal, nabrak atau dipakai merampok - misalnya - lalu tertangkap dan dibakar massa. Pertanyaanya, apakah itu berarti membakar kalimah tauhid?.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Dulu, ketika partai Persatuan Pembangunan (PPP) lahir dengan simbol Ka'bah, banyak kaum muslimin protes. Hal itu dianggap melecehkan Baitullah, kiblat ummat islam dunia. Tak patut dicoblosi. Lalu, para kiai PPP meyakinkan umat dengan menampilkan tamsilan yang cerdas menggunakan gambar presiden Soeharto.
Jika gambar pak Harto ada di frame, di pigora yang dipajang di kantor-kantor, di sekolah-sekolah dan di tempat lain yang terhormat, maka kita harus menghormat. Siapa yang dengan sengaja merusak, merobek apalagi membakar, maka pasti nyonyor dan meringkuk di penjara.
Tapi jika gambar pak Harto ada di perangko yang ditempelkan di amplop surat, maka distempel, dipalu keras-keras oleh pegawai kantor pos, bahkan kena kepalanya hingga gambar jembret kena tinta. Adakah pegawai kantor pos itu melecehkan pak Harto?
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Apa yang terjadi di negeri ini adalah gejolak yang nyata-nyata bisa merusak persatuan dan kesatuan internal ummat Islam sendiri. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak. Dengan mengatasnamakan membela kalimah tauhid tanpa kearifan seperti terilustrasikan di atas, seseorang bisa jadi merasa punya "la ilah illa Allah" sendiri. Sedikit momen bisa diunggah besar-besaran dan diperkarakan, lalu dihakimi menurut persepsi sendiri.
Secara politis, sah-sah saja seseorang membatin, bahwa mungkin saja si pembawa bendera hitam bertulisakan "la ilah illa Allah" pada peringatan Hari Santri Nasional itu adalah bagian dari skenario mereka, sengaja memancing di air keruh. Dasarnya, kan sudah tahu ada aturan, bahwa tidak boleh membawa bendera pada upacara itu selain Merah Putih. Lalu, siapa yang jahat duluan?
Dari pembacaan sejarah, kasus bendera "La ilah illa Allah" dan klaim kebenaran sepihak ini sama persis atau tak beda dengan cara-cara ISIS yang dikobarkan di Siria, hingga negeri yang punya banyak ulama kontemporer itu berantakan dan porak-poranda karena perang sesama muslim. Masing-masing atas nama "La ilah illa Allah".
Mereka mengatasnamakan bela kalimah tauhid "La ilah illa Allah", lalu menuduh "kafir" terhadap penguasa, digerakkan di jalan-jalan, demo besar-besaran berangkat dari masjid, dipaskan pada hari jum'ah, diawali shalat jum'ah lebih dulu dan seterusnya. Bedanya, jika di Siria berpangkalan dari masjid al-Umawi (al-Jami al-umawy), kalau di Indonesia dari masjid Istiqlal. Keduanya sama-sama masjid monumental di negeri masing-masing.
Tulisan ini untuk menyeru kepada semua saudaraku seiman, bahwa memelihara ukhuwwah islamiah, hidup damai dan islami itu sangat penting dan bagian dari amanat agama. Silakan berjihad, silakan berdakwah sesuai cara masing-masing, tapi menjaga maslahah 'ammah tetap menjadi prioritas. Jangan sampai negeri ini terkoyak-koyak kayak Siria. Na'udz billah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News