Tafsir Al-Isra' 57: Makna Al-Wasilah

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag

57. Ulaa-ika alladziina yad’uuna yabtaghuuna ilaa rabbihimu alwasiilata ayyuhum aqrabu wayarjuuna rahmatahu wayakhaafuuna ‘adzaabahu inna ‘adzaaba rabbika kaana mahtsuuraan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.

TAFSIR AKTUAL

Dua kali kata "wasilah" disebut dalam al-qur'an, al-Ma'idah: 35 dan pada ayat kaji ini, al-Isra': 57. Pada al-Maidah: 35 lebih pada kunci kesuksesan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Perintahnya berbunyi "wa ibtaghu ilaih al-wasilah", cari wasilah menuju Allah, agar kalian sukses (tuflihun).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Jika ditilik dari siyaq al-kalam, terbacalah bahwa al-wasilah pada al-Maidah ini lebih bernuansa ukhrawi dengan indikator ada nida' keimanan (ya ayyuha al) tertutup sisi duniawi, dengan memberi bimbingan kesuksesan hidup dunia. Singkatnya ada tiga hal kunci :

Pertama, ittaqu Allah. Punya komitmen yang kuat dan optimistis mendalam terhadap apa yang sudah diproyeksikan. Kedua, wa ibtaghu ilaih al-wasilah. Membangun infrastuktur, piranti, jaringan, tehnik yang canggih. Di sini, apa saja yang menjadi piranti atau kelengkapan sebuah cita adalah wasilah, dan ketiga, wa jahidu fi sabilih, diupayakan terwujudnya sesungguh mungkin, ulet dan disiplin. Nah, baru keberhasilan bisa dicapai, "La'allakum tuflihun".

Sementara pada ayat kaji ini nuansanya beda, yaitu lebih pada urusan teologik, di mana menggapai Allah, surga atau ridla-Nya diperlukan menempuh al-wasilah, piranti yang punya akses lebih dekat (ayyuhum aqrab) ke Allah SWT. Kini persoalannya ada pada makna ayyuhum aqrab, itu apa atau itu siapa?

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Pertama, ayyuhum aqarab adalah amal ibadah kita sendiri yang banyak dan berkualitas. Amal inilah yang mengantar kita menuju Tuhan. Lebih banyak dan lebih bagus tentu lebih dekat aksesnya menuju ridlaNya, menuju surga-Nya.

Kedua, ayyuhum aqrab adalah orang-orang super shalih yang layak dijadikan rekomendasi demi mempercepat akses kita menuju Tuhan. Kaum sunny mentradisikan peribadatan model ini dengan istilah "tawassul". Bukan berarti menyembah mereka, bukan pula tidak bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, melainkan lebih memilih cara rekomended yang dirasa lebih nyaman dan lebih pasti.

Dari sisi filologis, kata "ayyuhum" yang dipakai media wasilah menggunakan idhafah dhamir "hum" yang konotasinya "aqil", makhluq berakal. Bisa manusia, malaikat, atau jin. Hum tidak untuk sebuah amal, karena amal perbuatan itu ghair al-aqil. Maka cukup kuat dasar berwasilah menggunakan orang shalih.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Meski tidak pas, bisalah diibaratkan surat permohonan atau proposal minta sumbangan ke presiden. Bisa langsung ke istana menemui presiden dan boleh juga pakai surat yang terokendasi dan ditandatangani lebih dahulu oleh pejabat daerah, Kepala Desa, Camat, Bupati dan Gubernur.

Dalam praktik, ini soal selera. Ada yang mencak-mencak tidak mau wasilah, memusyrikkan tawassul dan lain-lain. Ada yang hobi menggunakan tawassul. Semua punya dalil sendiri-sendiri. Sejatinya hidup kita ini penuh wasilah. Agar tetap sehat dan hidup, wasilah kita adalah makan dan minum, olah raga dan lain-lain.

Jika kita meyakini makanan itu bisa mengenyangkan karena dzat makanan itu sendiri, obat itu bisa menyembuhkan, dan air itu menghapus dahaga, maka kita jatuh ke lembah syirik, karena menafikan peran Tuhan, tergantikan oleh peran makanan, obat dan air. Jika tetap meyakini bahwa yang menyehatkan adalah Allah, sementara obat hanyalah wasilah (perantara) belaka, maka keimanan kita utuh.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Jika pemikran kita to the point, maka paling instan "al-wasilah" harus dimaknai surga. Dengan makna ini, maka persoalan ruwet nan debatable selesai. Karena surga adalah puncak proyeksi orang beriman. Soal Ridla Allah, fadlal, mahabbah, rahmah, dan lain-lain, itu bahasa lain dari surga.

Mana mungkin, orang yang masuk surga tanpa ridla-Nya. Mana ada orang yang diridlai Allah tapi disiksa di neraka. Bentuk ridla yaitu surga dan bentuk murka ya neraka. Soal ada seorang wali yang berdoa "ya Allah aku hanya pingin mahabbah-Mu", titik. "Jika aku beribadah karena ingin surga, maka tutuplah rapat-rapat semua pintu surga. Jika aku beribadah ingin bebas dari neraka, maka bukalah lebar-lebar semua pintu neraka".

Ya, itu manis-manis mulut belaka, atau saking tingginya kesopanan kehadirat Allah SWT saja. Malu-malu kucing bila meminta lebih dan terbuka. Wali itu sudah sangat tahu, bahwa jika seseorang telah mendapatkan mahabbah (cinta) dari Tuhan, sudah tentu Tuhan akan memberlakukan kekasihnya sebaik mungkin. Jangankan Tuhan, cowok yang sangat menyayangi ceweknya, pasti memanjakan dan melindungi. 

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO