JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Calon Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tak harus seorang kiai, tapi bisa siapa saja, asal cerdas, jujur, amanah, profesional dan “secara ekonomi sudah selesai”. Sehingga ketua umum PBNU mandiri secara ekonomi, tidak memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadi . Selain itu tentu saja secara moral dan hukum bersih, dan juga tak terilbat politik praktis.
Demikian wacana dan usulan para kiai yang mengemuka pada acara Komite Khittah di Gedung KH Yusuf Hasyim Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur yang berlangsung dua hari mulai Rabu hingga Kamis hari ini (7-6/8/2019).
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
“Jadi (calon ketua umum itu) orang yang sudah selesai denga dirinya agar tidak menjual diri ketika jadi ketua umum PBNU,” kata Gus Ishaq, pengasuh Pondok Pesantren Putri Kuttabul Banat Lasem Jawa Tengah.
Definisi “secara ekonomi selesai” itu bisa berarti memang punya basis ekonomi kuat, namun bisa juga karena faktor qona’ah, tidak rakus, sehingga tak pernah membarter jabatannya untuk kepentingan pragmatis baik ekonomi maupun politik.
Syarat lain tentu saja punya pemahaman dan pengamalan yang kuat tentang Islam Ahlussunnah wal-Jamaah an-Nahdliyah.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Acara Komite Khitah itu digelar para dzuriah (keturunan) pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Antara lain, Dr. Ir. KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), cucu pendiri NU Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari, KH Agus Sholahul Aam (Gus Aam), cucu KH A Wahab Hasbullah Tambak Beras dan para kiai lain. Tampak Prof. Dr. Rachmat Wahab, mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta dan anggota Dewan Kehormatan Forum Rektor Indonesia. Juga Prof Dr Ahmad Zahro, Dr Nasihin Hasan, KH Firjon Barlaman (putra KH Ahmad Shiddiq Jember), Choirul Anam, KH Suyuti Toha dan kiai-kiai lain.
Puluhan kiai yang hadir dari Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan luar Jawa itu memenuhi undangan Gus Sholah untuk membahas tema bagaimana caranya dalam pemilihan ketua NU terbebas dari uang atau money politics.
"Kalau saya usul bagaimana NU itu tidak pakai uang dan tidak terlibat politik praktis," kata Gus Sholah. Putra The Founding Fathers Republik Indonesia, KH Abdul Wahid Hasyim, itu memang paling istiqamah bersuara bagaimana caranya NU bersih dari politik uang dan politik praktis karena sangat merugikan NU.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Para kiai sepakat bahwa salah syarat utama calon ketua umum PBNU harus cukup dan mandiri secara ekonomi agar tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan dirinya sendiri. “Selama ini faktor inilah titik paling lemah di NU,” kata salah seorang peserta.
Sementara soal calon ketua umum PBNU tak harus seorang kiai banyak sekali alasan yang dikemukakan peserta. “Ketua Tanfidziyah PBNU pertama, Hasan Gipo, bukan seorang kiai. Hasan Gipo seorang pengusaha. Padahal saat itu Rais Akbarnya Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Bahkan Hasan Gipo menjabat ketua Tanfidziyah sampai tiga periode walau Muktamarnya saat itu setiap tahun. Ini berarti Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari tak mempersoalkan seorang ketua Tafidziyah bukan seorang kiai,” kata seorang peserta.
Peserta lain juga mengungkapkan fakta sejarah. Menurut dia, ketika KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat ketua umum PBNU tak pernah sekalipun mencantumkan title KH dalam administrasi PBNU. “Dalam surat-surat PBNU yang ditandatangani, Gus Dur selalu menulis H Abdurrahman Wahid, bukan KH Abdurrahman Wahid,” kata seorang peserta. Padahal siapa yang meragukan kekiaian dan keulamaaan Gus Dur.
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Tradisi ini berlanjut saat KH Ahmad Hasyim Muzadi jadi ketua umum Tanfidziyah PBNU. “Dalam surat menyurat PBNU Pak Hasyim Muzadi selalu menulis H Ahmad Hasyim Muzadi, tak pernah menulis KH Ahmad Hasyim Muzadi. Begitu juga ketika Pak Hasyim Muzadi jadi ketua PWNU,” katanya.
Sebelumnya, BANGSAONLINE.com memberitakan bahwa dalam acara Komite Khitah itu, para kiai membahas berbagai persoalan yang dibagi dalam tiga komisi. Yang menarik dalam komisi organisasi, berkembang usulan tentang syarat dan kriteria calon Rais Aam Syuriah PBNU dalam Muktamar NU yang akan datang.
Ada yang usul calon Rais Aam harus ahli fiqh, sufi, zuhud, wirai, punya wawasan organisasi, dan punya pemahaman dan pengamalan kuat tentang Islam Ahlussunnah wal-Jamaah an-Nahdliyah dan memiliki pesantren minimal dengan 3000 santri.
Baca Juga: Lazisnu Surabaya Jadi Perantara Kebaikan
"Ini penting agar Rais Aam Syuriah PBNU berwibawa dan bisa menahan hawa nafsu untuk jabatan, karena jabatan Rais Aam itu sakral," kata salah seorang peserta.
Namun, Gus Ishaq dari Pesantren Putri Kuttabul Banat Lasem Jawa Tengah keberatan jika syarat minimal 3000 santri. "Terlalu banyak. 1000 santri saja," kata Gus Ishaq. Karuan saja tawaran Gus Ishaq itu mengundang tawa.
Malah ada peserta yang menggoda. "Gimana kalau 500 santri saja," kata yang lain.
Baca Juga: Barisan Jawara Deklarasi Dukung Khofifah-Emil
Kriteria calon Rais Aam punya pondok pesantren ini mengemuka, selain agar pimpinan tertinggi NU itu punya wibawa, juga bisa menjaga muruah atau marwah NU. Mengingat, Rais Aam itu pemimpin nasional. "Kalau Rais Syuriah PWNU cukup 2000 atau 1000 santri. Sedang Rais Syuriah PCNU cukup 1000 atau 500 santri," kata peserta yang mengusulkan pentingnya Rais Aam dan Rais Syuriah punya pondok pesantren. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News