Tafsir Al-Isra' 58: Sebelum Kiamat, Semua Dihancurkan Lebih Dahulu

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag

58. wa-in min qaryatin illaa nahnu muhlikuuhaa qabla yawmi alqiyaamati aw mu’adzdzibuuhaa ‘adzaaban syadiidan kaana dzaalika fii alkitaabi masthuuraan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuzh).

TAFSIR AKTUAL

Ayat-ayat sebelumnya bertutur soal keimanan, kenabian, dan rahmat Tuhan. Kini membahas kondisi riil pra hari akhir, hari kiamat. Tuhan sudah memutuskan akan menghancurkan terlebih dahulu desa-desa yang ada di bumi ini, semuanya. Tidak satu pun ada bangunan baik di kota maupun di desa yang tetap kokoh bertengger. Itu pasti terjadi demi mulusnya acara prosesi hari kiamat nanti.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Apa maksud kata "muhlikuha" (penghancuran), apa itu azab atau kematian alami?

Umumnya mufassirin memaknai, bahwa ihlak (penghancuran, perusakan) itu pasti. Tapi pelaksanaan dan motifnya beda. Caranya-pun beda, sesuai kehendak Allah SWT sendiri. Tapi dari pembacaan beberapa firman-Nya, dapatlah disarikan demikian, yakni:

Jika umat manusia itu pada durhaka, zalim, dan mengumbar maksiat sepuas-puasnya tanpa risih, maka Tuhan turun tangan dengan cara mengazab, menghancurkan perkampungan tersebut seperti kaum-kaum terdahulu. Ada yang ditumpas tsunami, ditelan longsor, disapu badai, dan lain-lain.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Jika umat manusia dalam perkampungan itu shalih dan tekun beribadah, tidak zalim, dan beramal sosial, maka dimatikan secara wajar, alami seperti kematian biasa. Baru bangunannya dihancurkan menurut kehendak-Nya. Pemikiran ini berdasar pernyataan Tuhan sendiri, bahwa Allah tidak akan mengahancurkan, mengazab umat manusia yang berbuat kebajikan. Tuhan hanya menghancurkan mereka yang berbuat zalim saja. (Hud:117 dan al-Qasas:59).

Dari pernyataan Tuhan ini, sepantasnya kita cerdas dalam membaca bencana alam. Itu sah-saja dan sangat bagus bila dikaitkan dengan kedurhakaan umat, kemaksiatan, dan kezaliman manusia di daerah bencana tersebut. Itulah pembacaan keimanan. Itulah pembacaan kesadaran. Hamba yang merasa berdosa jauh lebih mulia di sisi-Nya daripada yang merasa baik.

Cuma, tradisi kita sok kemanusiaan, sok tepo seliro, sok menjaga perasaan sesama sehingga menafikan sisi keagamaan, ketaqwaan. Kita akan dikutuk sebagai mansuia yang tidak etis, tidak elok, tidak beradab jika kita mengajak kembali ke Allah dengan mengoreksi diri atas dosa-dosa kita ketika bencana menimpa.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kita dianggap sok suci, menyalahkan orang lain yang tertimpa bencana sebagai orang banyak dosa dan berbuat zalim. Walau al-qur'an benar, tetapi kita kalah dengan kutukan itu. Bahkan mereka membalik "coba rasakan sendiri, jika anda atau keluarga anda yang terkena musibah seperti tergilas tsunami, lalu ada orang yang mengatakan bahwa itu karena dosa-dosa anda sendiri. Bagaimana perasaan anda?".

Jawabannya, tinggal kesiapan mental dan keimanan masing-masing. Mereka yang beriman kokoh dan bersih, pasti merasa berdosa dan menerimanya sebagai ujian dari Tuhan, lalu bersabar, istighfar, dan berupaya makin shalih. Tuhan tidak pernah manzalimi hamba-Nya. Mereka yakin, pasti ada hikmah di balik itu semua. Hidup ke depan lebih cerah dan optimis, penuh berserah diri. Sementara yang tidak beriman, mesti kecewa dan mengumpat-umpat. Meski mencak-mencak dan misuh-misuh, lalu mau apa? Malah sumpek dan stress.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO