Manajer Haruskan Pakai Topi Natal, Karyawan Muslim Risih

Manajer Haruskan Pakai Topi Natal, Karyawan Muslim Risih Seorang karyawan pakai topi sinterklas. foto: merdeka.com

BangsaOnline-Salah satu Customer Service yang beragama Islam di sebuah restoran di Plaza senayan Jakarta mengaku risih saat menggunakan topi Santa saat perayaan hari natal tiba. Dia mengaku diwajibkan oleh Managernya untuk menggunakan topi natal saat sedang bekerja.

"Manager yang nyuruh, saya mah pake-pake aja. Ya mau gimana lagi," katanya saat ditemui merdeka.com di Plaza Senayan, Sabtu (20/12).

Baca Juga: Sejarah Pesantren Dibelokkan, Menag: Pesantren Harus Jadi Tuan Rumah di Republik Ini

Dia pun mengaku, saat restoran tempatnya sedang sepi dan atasannya tidak ada, dia suka melepas topi itu karena tidak betah memakainya.

"Risih. Ini juga suka dilepas-lepas. Males pakenya," katanya menggerutu.

Alasan dia tidak suka menggunakan topi natal, menurutnya hal semacam itu tak pantas dikenakan seorang Muslim.

Baca Juga: Ulama NU Asal Sulsel Ini Terkejut Ditunjuk Prabowo Jadi Menteri Agama

"Kalau enggak disuruh managernya enggak mau. Kan (Muslim) enggak boleh," ucapnya.

Sikap berbeda ditampilkan Irfan, petugas pintu (doorman) Mal Senayan City. Ia mengaku tidak masalah adanya polemik larangan penggunaan atribut Natal termasuk topi sinterklas. Walaupun seorang muslim, dia mengaku hanya menghormati setiap perayaan agama lain.

"Kalau di sini (Mal Senayan City) hanya doorman dan karyawan yang bertugas di lift yang wajib menggunakan atribut topi santa. Saya sebagai umat muslim juga tidak masalah menggunakan atribut perayaan agama lain, karena saling toleransi," ujar Irfan di Senayan City, Jakarta, Sabtu (20/12).

Walaupun tidak mempermasalahkan penggunaan topi sinterklas, Irfan mengatakan, tidak akan memberikan ucapan Selamat Natal kepada setiap pengunjung.

"Saya memang tidak masalah pakai atribut Natal. Yang penting saya tidak mengucapkan Natal kepada orang yang merayakannya," katanya.

Dia memiliki keyakinan bahwa umat Muslim tidak boleh memberikan selamat kepada orang yang merayakan Natal.

"Keyakinan datang dari saya sendiri, kalau saya seorang umat muslim tidak boleh mengucapkan selamat Natal. Walaupun saya menghormati setiap agama," ucapnya.

Seperti diketahui, menjelang Natal tahun ini, publik tidak hanya dihebohkan dengan isu tahunan tentang boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan Selamat Natal kepada kaum nasrani, tetapi juga soal topi dan atribut sinterklas. Hal yang diributkan adalah soal kewajiban karyawan-karyawan pusat perbelanjaan, gerai-gerai, hotel untuk memakai topi sinterklas.

Anggota DPD dari DKI Jakarta, Fahira Idris, mengaku mendapat ratusan email dan SMS dari berbagai daerah yang melaporkan masih ada perusahaan yang mengharuskan semua karyawannya untuk mengenakan atribut natal, termasuk topi sinterklas. Jika dilanggar akan dikenakan sanksi.

"Kebanyakan surat dan SMS yang terima dari karyawan perempuan muslim dan sebagian besar dari mereka berjilbab. Bagi saya ini adalah bentuk intoleransi karena tidak menghargai hak dan keyakinan agama mereka dan bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945," kata Fahira di Jakarta, kemarin.

Terkait hal ini, Lukman Hakim Saifuddin juga didesak untuk mengeluarkan larangan penggunaan atribut tertentu dalam memperingati hari besar keagamaan. Namun, Lukman tidak mau memenuhinya.

"Kemenag tentu takkan membuat aturan berisi perintah atau larangan tentang penggunaan atribut dan pakaian keagamaan tertentu," kata Lukman lewat siaran pers Jakarta, Selasa (9/12).

"Seorang muslim tidak usah dituntut menggunakan kalung salib atau topi sinterklas demi menghormati Hari Natal. Juga umat perempuan nonmuslim tidak perlu dipaksa berjilbab demi hormati Idul Fitri," tegasnya.

Austin Cline, seorang pengamat agama, mengatakan Sinterklas justru merupakan simbol-simbol sekuler dalam Kristen yang memang tidak ada rujukannya Alkitab. Hal ini tidak mengherankan jika faktanya simbol Sinterklas lebih populer ketimbang misalnya, gambar bayi Yesus, dalam setiap perayaan Natal.

Wajah sekuler Natal yang dilambangkan dengan Sinterklas ini bahkan pernah mendapat tentangan dari orang Kristen Puritan di Inggris pada 1647. Demi menghapus elemen-elemen yang tidak alkitabiah, Inggris yang ketika itu dikuasai oleh Parlemen Puritan bahkan pernah melarang perayaan Natal.

Sumber: merdeka.com/teropong.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO