Oleh: M Mas’ud Adnan
Gus Sholah. Panggilan yang enak didengar. Sekaligus menyejukkan. Siapa pun yang pernah bertemu, berbincang – apalagi akrab. Pasti terkesan: santun, tawaddlu’, sederhana, egaliter dan moderat. Moderat sesungguhnya. Bukan moderat dalam wacana.
Baca Juga: Ngaku Pelayan, Gus Fahmi Nangis saat Launching Majelis Istighatsah dan Ngaji Kitab At Tibyan
Gus Sholah – nama aslinya Salahuddin Al-Ayyubi. Namun seperti kakaknya, Gus Dur, lebih suka menulis namanya: Salahuddin Wahid. Menisbatkan ke nama ayahnya: KH Abdul Wahid Hasyim.
Gus Dur, nama aslinya: Abdrurrahman Ad-Dakhil. Tapi lebih suka menulis namanya: Abdurrahman Wahid.
Gus Sholah tipikal pemimpin umat: bukan golongan. Karakternya terbuka, suka mendengar. Namun ia punya pendirian kuat. Tak gampang goyah. Pemegang teguh prinsip! Setidaknya inilah yang saya amati selama berinteraksi dengan Gus Sholah. Baik dalam pertemuan pribadi, terbatas maupun formal.
Baca Juga: Isi Hari Tenang Kampanye, Khofifah-Emil Ziarah ke Makam KH Hasyim Asy’ari dan Gus Dur
Gus Sholah tak pernah pilih-pilih tamu. Siapapun yang datang. Selalu Diterima. Baik sealiran. Maupun tak sealiran. Bahkan orang yang pernah menyakiti sekalipun. Dan Gus Sholah tetap: santun dan egaliter.
Banyak tokoh terpesona. Termasuk para kiai. KH Afifuddin Muhajir, pengarang kitab Fathu Al-Mujib Al-Qorib, mengaku selalu memperhatikan cara duduk Gus Sholah. “Cara duduknya dan dimana beliau duduk selalu saya perhatikan,” tutur pengasuh Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur itu.
Kiai Afifuddin Muhajir sering bertemu Gus Sholah. Saat rapat tim pemenangan Khofifah-Emil. Di kediaman Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim. Di Siwalankerto Surabaya. “Sebagai putra dan cucu orang besar, beliau tidak memposisikan diri sebagai orang (besar). Tawaddlu’ luar biasa,” kata Kiai Afifuddin Muhajir yang Wakil Rais Syuriah PBNU.
Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat
“Tawaddlu’-nya perlu kita teladani. Semoga kita bisa. Amin,” harap Kiai Afifuddin Muhajir yang terkenal santun, familiar dan tawaddllu’ itu.
Kiai Afifuddin benar. Gus Sholah sangat tawaddlu’ dan santun. Padahal Gus Sholah - mantan wakil ketua PBNU dan Komnas HAM - itu putera KH A. Wahid Hasyim: pahlawan nasional. Kiai Wahid Hasyim adalah salah satu perumus Pancasila dan UUD 45. Kiai Wahid Hasyim adalah anggota BPUPKI yang kemudian menjabat menteri agama pertama RI.
Gus Sholah juga cucu pendiri organisasi keagamaan terbesar: Nahdaltul Ulama (NU). Juga pendiri pesantren Tebuireng . Yaitu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari. Hadratussyaikh – panggilan KH M Hasyim Asy’ari – adalah ulama besar, yang oleh penulis kenamaan Muhammad As’ad Syihab disebut sebagai: peletak dasar kemerdekaan RI.
Baca Juga: Alasan Hadratussyaikh Tolak Anugerah Bintang Hindia Belanda, Kenapa Habib Usman Bin Yahya Menerima
Mertua Gus Sholah, KH Saifuddin Zuhri, juga tokoh nasional. Kiai Saifuddin Zuhri (ayah Nyai Farida Salahuddin Wahid) selain tokoh NU juga pernah menjabat menteri agama RI.
Namun Gus Sholah tak pernah menonjolkan diri sebagai keturunan tokoh besar. Bahkan Gus Sholah pernah mengingatkan saya (penulis artikel ini) agar dalam menulis berita tentang beliau di media massa jangan selalu mengaitkan dengan nama besar kakek dan ayahnya. Padahal tak sedikit tokoh selalu ingin ditulis dengan embel-embel keturunan orang besar.
Baca Juga: Disambut Antusias Warga Blitar, Khofifah: Pekik Allahu Akbar Bung Tomo Dawuh Hadratussyaikh
(KH Hasyim Muzadi (foto: nuonline))
KH Hasyim Muzadi (almaghruflah) juga punya penilaian khusus. Menurut mantan ketua umum PBNU itu, Gus Sholah orang bersih. “Gus Sholah itu tokoh nasional yang clien dan clear,” kata Kiai Hasyim Muzadi dalam pertemuan di Pondok Pesantren Al-Hikam Depok Jawa Barat suatu ketika. Di pentas nasional, Gus Sholah memang dikenal sebagai tokoh berintegritas.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir juga bersaksi. Gus Sholah – kata Haedar - kiai tulus, sederhana, egaliter, moderat, peduli HAM, demokrasi , serta persatuan dan kesatuan bangsa. Ia menunjuk salah satu contoh komitmen Gus Sholah terhadap bangsa. Saat pemilu 2019 yang penuh konflik, Haedar mengaku diajak Gus Sholah silaturahim. Ke sejumlah tokoh dan kalangan. Tanpa publikasi. Intinya bagaimana pemilu tidak hanya jadi tempat aspirasi dan kontestasi politik. Tapi juga tetap menjaga kebersamaan, tidak gaduh, tidak menimbulkan konflik yang merusak bangsa.
Baca Juga: Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
(Prof Dr Haedar Nashir (kiri) dan KH Salahuddin Wahid (kanan). foto: istimewa)
Pandangan Haedar itu disampaikan saat pemakaman Gus Sholah di maqbarah masyayikh di Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Haedar menilai, Gus Sholah adalah kiai moderat yang sesungguhnya. Bukan moderat dalam wacana. Antara pernyatan dan tindakan selaras. Gus Sholah berdiri di tengah golongan. Merangkul semua orang. Jarang melontarkan pernyataan ekstrem, yang menunjukkan kontroversi. Apalagi kegaduhan. Wallahua’lam bisshawab.
Baca Juga: Silaturahmi ke Keluarga Pendiri NU, Mundjidah-Sumrambah Minta Restu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News