Tafsir Al-Isra 86-87: Sekelas Nabi, Diancam Tuhan

Tafsir Al-Isra 86-87: Sekelas Nabi, Diancam Tuhan Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

86. Wala-in syi‘naa lanadzhabanna bialladzii awhaynaa ilayka tsumma laa tajidu laka bihi ‘alaynaa wakiilaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan engkau tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami,

87. Illaa rahmatan min rabbika inna fadhlahu kaana ‘alayka kabiiraan.

Kecuali karena rahmat dari Tuhanmu. Sungguh, karunia-Nya atasmu (Muhammad) sangat besar.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia


TAFSIR AKTUAL

Ayat 85 cukup menggembirakan Nabi Muhammad SAW, karena isinya berupa penganugerahan al-Ruh (ruh, nyawa atau al-qur'an) dan percikan ilmu meski sedikit. Sedangkan ayat kaji ini nyata-nyata bertutur tentang al-qur'an yang diancam bisa punah jika Tuhan menghendaki.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Dari sisi munasabah, atau ilmu tentang relevansi antara ayat kaji dengan ayat sebelumnya, terbacalah bahwa ayat kaji ini menguatkan tesis yang mengangkat bahwa makna kata "al-RUH" pada ayat 86 adalah al-QUR'AN, bukan nyawa. Meski begitu, tesis ini tidak berarti menafikan makna "al-ruh" sebagai nyawa atau ruh biasa yang ada pada setiap makhluq hidup. Hal demikian karena tradisi bahasa menunjuk demikian. Ruh ya ruh, nyawa. Itulah varian tafsir.

Ayat kaji ini tentang ancaman Tuhan terhadap nabi Muhammad SAW yang telah dianugerahkan "al-Ruh", agar jangan pongah dan tetap menjaga amanah. Jika tidak, Tuhan tidak segan-segan menarik kembali apa yang telah diwahyukan kepadanya. "Wala-in syi‘naa lanadzhabanna bialladzii awhaynaa ilayka ...".

Tegasnya, meskipun anugerah itu sesuci al-qur'an, meskipun yang dianugerahi sederajat nabi, manusia kesayangan-Nya sendiri, meskipun kebajikan al-qur'an untuk seluruh titah, bukan kepentingan pribadi nabi semata, tapi Tuhan tetap punya hak mutlak dan bebas berbuat sesusi kehendak-Nya, mencabut kembali firman suci-Nya yang telah dianugerahkan tersebut.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Dari ancaman ini, terbacalah dua sektor: pertama, jika kata "al-Ruh" dimaknai dengan ruh biasa, maka ilmu yang terkait dengannya, bahkan ilmu apa saja yang dimiliki manusia, berpotensi dicabut oleh Allah SWT.

Kedua, bila kata "al-Ruh" dimaknai sebagai al-qur'an, maka siapa saja yang memiliki al-qur'an, hafal al-qur'an, punya ilmu tentang al-qur'an, maka tidak segan-segan Tuhan mencabutnya jika Dia berkehendak. Meski Tuhan bisa berbuat semau-Nya, tetapi tidak akan pernah menzalimi manusia meski setimbangan dzarrah. Pasti ada human error yang dijadikan pertimbangan.

"... Illaa rahmatan min rabbika". Kecuali ada rahmah dari Tuhanmu. Inilah sifat melekat pada Diri Tuhan. Dia maha mengasihi, maha mengampuni dan maha menyayangi. Sedosa apapun seorang hamba, Tuhan tidak segera menindak, melainkan menunggu beberapa waktu dan ujung-ujungnya mengampuni, bila si hamba serius memohon ampunan. Kami sungguh sangat suka banget, puas banget mempunyai Tuhan satu-satunya, Allah SWT.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Terkait makna, bahwa Tuhan mensirnakan kebajikan yang telah dianugerahkan kepada hamba, Abdullah ibn Mas'ud bertutur: "bahwa awal kali agama seseorang dicabut Tuhan adalah al-amanah, kepercayaan, kejujuran. Sedangkan yang paling akhir adalah shalat. Kala itu, al-qur'an yang ada di tengah-tengah kita ini juga tercerabut sirna dan kita tidak memiliki panduan apa-apa".

Seorang laki-laki yang duduk di majlis Ibn Mas'ud itu lantas bertanya: "Bagaimana itu bisa terjadi wahai Aba Abdirrahman? Abu Abd al-Rahman adalah panggilan kun-yah (karan anak) bagi Ibn Mas'ud.

Lalu dia menjawab: "Untuk al-qur'an tetap ada seperti biasa, masih ada al-mushaf, bisa kita baca, masih banyak yang hafal, masih terus kita ajarkan kepada anak cucu kita sampai hari kiamat. Tapi hati kita hampa, sehingga perilaku manusia tidak ubahnya dengan binatang, ...fatushbih al-nas ka al-baha'im". Demi memantapkan tausiahnya, lantas Ibn Mas'ud membaca ayat kaji ini.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Apa sinyalemen Ibn Mas'ud ini berlaku umum bagi semua umat manusia? Jawabnya: tidak. Abdullah ibn Umar R.A. bertutur tentang Nabi Muhammad SAW yang sedang sakit dan kepalanya diperban. Beliau keluar dari rumah dan menemui para sahabat yang sedang berkerumun di masjid sambil menebar senyum.

Lantas naik ke mimbar dan bersabda: "Ya ayyuha al-nas, semua buku catatan apa saja -selain kitab Allah- sungguh berpotensi sirna dan tidak tersisa sedikit pun di lembaran-lembaran, termasuk di hati kita. Sahabat tercengang dan bertanya: "Bagaimana kondisi orang beriman waktu itu, ya Rasulallah?

Nabi menjawab: "Barang siapa yang dikehendaki bagus oleh Tuhan, maka Tuhan akan memantapkan hatinya dengan La ilah illa Allah".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Negeri ini paling ramai pembacaan al-qur'annya, dari taman kanak-kanak, Taman Pendidikan Al-Qur'an, hingga perguruan tinggi al-qur'an, termasuk yang hafal al-qur'an dan marak pula di event-event al-qur'an, seperti MTQ segala tingkatan. Tapi amaliah penduduknya tidak mencerminkan akhlaq qur'any. Negeri ini memang damai dan memang aman, tapi secara umum saja, bukan pada hakikatnya. Pencurian, rampok, jambret, korupsi tetap marak. Apa yang disiyaratkan ayat ini sudah terjadi di negeri ini?.

Pada ayat ini istilah "waki" (tsumma laa tajidu laka bihi ‘alaynaa wakiilaa), ada "rahmah" dan ada "fadlal". Wakil bermaknakan penolong, karena orang yang mewakili sejatinya menolong pekerjaan orang yang diwakili. Tuhan menobatkan Diri sebagai "Wakil", bukan berarti Tuhan sebagai pembantu kita kayak pembantu rumah tangga, melainkan maha dahsyat dari itu.

Tuhan menyelesaikan kebutuhan kita secara totlitas dan hakiki. Tetapi berkisar pada tataran power, sercis, dan infrastruktur saja, bukan tehnik. Tuhan memberi rezeki, kesehatan, dan kekuatan fisik, lalu manusia sebatas ikhtiar dan bukan penentu. Penentu rezeki, kesehatan, dan lain-lain mutlak dari Tuhan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Rahmah adalah tebaran kebaikan Tuhan, pemberian secara umum kepada semua makhluk tanpa membeda-bedakan, tanpa keterkaitan apa-apa. Pokoknya memberi, ya sekadar memberi saja. Dan memberi itu kewajiban akaliah bagi Tuhan. Jadi yang namanya Tuhan, ya memberi.

Seperti rezeki, sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, kepatuhan atau ketaqwaan. Tidak berbanding lurus antara ketaqwaan dan kekayaan. Yang bertaqwa tidak mesti lebih kaya ketimbang yang hobi maksiat, atau sebaliknya.

Sedangkan fadlal adalah pemberian Tuhan yang tanpa diminta, tanpa diharapkan, atau diproyeksikan sebelumnya. Rezeki atau keberuntungan yang nomplok begitu saja. Anda sedang santai-santai bersama keluarga, lalu ada tamu datang memberi makanan, jajan, parcel, dan sebagainya. Rezeki macam itu namanya fadlal atau anugerah. Dan fadlal ini, porsinya sangat besar. "inna fadhlahu kaana ‘alayka kabiiraan".   

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO