Tafsir Al-Kahfi 22: Dalil Bolehnya Bersilang Pendapat

Tafsir Al-Kahfi 22: Dalil Bolehnya Bersilang Pendapat Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

22. Sayaquuluuna tsalaatsatun raabi’uhum kalbuhum wayaquuluuna khamsatun saadisuhum kalbuhum rajman bialghaybi wayaquuluuna sab’atun watsaaminuhum kalbuhum qul rabbii a’lamu bi’iddatihim maa ya’lamuhum illaa qaliilun falaa tumaari fiihim illaa miraa-an zhaahiran walaa tastafti fiihim minhum ahadaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, ”(Jumlah mereka) tiga (orang), yang ke empat adalah anjingnya,” dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) lima (orang), yang ke enam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh (orang), yang ke delapan adalah anjingnya.” Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada siapa pun.

TAFSIR AKTUAL

Rombongan pendeta Nasrani sowan ke Nabi Muhammad SAW memperbincangkan agama. Pembicaraan ke sana ke mari dan akhirnya menyinggung ashab al-kahfi. Mereka berbeda pendapat tentang jumlah personil mereka.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Pendeta dari sekte Ya'qubiyah berkat: "mereka berjumlah tiga orang plus satu ekor anjing", hingga total berjumlah empat. Kemudian disanggah oleh kawan mereka sendiri dari sekte Nasthuriyah: "Oh tidak, jumlah mereka lima orang, plus satu ekor anjing, hingga total berjumlah enam".

Sahabat yang mendampingi Nabi SAW pada pertemuan itu tak sabar dan angkat bicara: "Bukankah mereka berjumah tujuh orang plus satu ekor anjing". Tentu saja perdebatan menjadi lebih hangat dengan tetap sopan. Mereka paham sedang berada di depan Nabi mulia, Muhammad SAW.

Sejatinya mereka menunggu komentar beliau, tapi beliau santai-santai saja, kemudian diam sejenak. Lalu turunlah wahyu dengan susunan redaksi seperti pada ayat studi ini (22).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Perhatikan cara Tuhan mengungkap jumlah personil ashab al-kahfi. Allah SWT, meski Dia maha mengetahui, tapi tidak memberi keputusan langsung di tengah-tengah perdebatan, melainkan mengangkat materi perdebatan tersebut dengan bahasa yang cantik sekali.

Kelompok pertama mengatakan jumlah mereka cuma tiga orang, plus satu ekor najing, sehingga total menjadi empat. "sayaqulun tsalatsah rabi'uhum kalbuhum". Kelompok kedua mengatakan mereka berjumlah lima orang plus satu ekor anjing, jadi total enam. "wa yaqulun khamsah sadisuhum kalbuhum".

Ketika dua kelompok bertebak-tebakan pada kisaran angka tiga dan lima ini, Tuhan berkomentar "...rajma bi al-ghaib". (lemparan terhadap hal ghaib). Maksudnya pendapat tidak jelas, seperti tidak jelasnya melihat benda gaib. Terhadap komentar Tuhan tersebut, kira-kira tafsirnya begini:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Pertama, dipahami sebagai kalam khabar (kalimat berita). Artinya, bahwa jumlah personal ashabul kahfi masuk wilayah "ghaib". Dalam artian, sejarah tidak mendokumenkan dengan jelas, sehingga tidak ada kepastian tentang jumlah personil mereka.

Kedua, sebagai kalimah cemoohan, seolah Tuhan berkata: "kalian ngawur, sok tahu, asal ngomong dan lain-lain". Rajma, artinya lemparan. Ghaib, artinya tak terlihat. Melempar ngawur-ngawuran, asal melempar tanpa dasar dan arah yang jelas. Karena posisi tesis ini ada setelah dua pendapat tersebut, maka fungsinya sebagai teguran sekaligus koreksi bahwa dua pendapat di atas adalah SALAH.

Lalu Tuhan melanjutkan pembicaraan dengan mengungkap pendapat kelompok ketiga yang mengatakan, bahwa mereka berjumlah tujuh orang plus satu ekor anjing, sehingga total berjumlah delapan. " wa yaqulun sab'ah wa tsaminuhum kalbuhum".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Pendapat ketiga ini lepas dan posisinya setelah komentar Tuhan "rajma bi al-ghaib". Maka bisa dibaca, bahwa pendapat inilah sesungguhnya yang benar menurut Tuhan, in sya' Allah. Meskipun begitu, karena ini urusan ghaib, maka Allah SWT memberi wejangan:

Pertama, "qul Rabby a'lam bi 'iddatihim". Katakan, bahwa Tuhan maha mengetahui jumlah mereka. Artinya, bisa jadi pendapat kelompok ketiga tadi kebenarannya bersifat kebetulan. Karena mereka sama-sama tidak punya dasar dan diperoleh dari cerita ke cerita. Atau sebagai isyarat, bahwa dasar yang dipakai kelompok ketiga lebih akurat ketimbang dasar dua kelompok sebelumnya.

Kedua, adalah ajaran etika, meskipun pendapat anda bagus, analisis anda cerdas dan pandangan anda genius, maka janganlah pongah. Di atas segalanya masih ada Tuhan yang maha mengerti segalanya. Maka katakan "Allah a'lam" di akhir pendapat yang anda kemukakan. Makanya, para ulama' tempo dulu, setelah membahas persoalan jelimet dan bertele-tele, pada akhirnya ditutup "Allah a'lam".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Kedua, "ma ya'lamuhum illa qalil". Hanya sedikit orang yang benar-benar tahu persoalan. Artinya, orang yang mengerti sungguhan, alim beneran, punya keahlian spesial itu sedikit. Sedangkan yang asal mengerti saja itu banyak. Bahkan yang sok mengerti juga banyak. Maka jadilah yang pertama, karena setiap ucapan itu dipertanggungjawabkan.

Ketiga, "fa la tumari fihim illa mira' dhahira". Pesan globalnya "Jangan debat, kecuali jelas". Persoalannya tertumpu pada dlamir "him, fihim" (tentang mereka). Siapa yang dimaksud?

Pertama, yang dimaksud dalam dlamir "him", kata ganti jamak (jamak mudzakar ghaib) ini adalah ashabul kahfi. Maka pesannya, jangan mendebatkan sejarah masa lampau yang tidak jelas datanya. Jangan debat soal valid dan tidak, maka akan menjadi debat kusir dan tidak ada yang mau mengalah. Kecuali jelas. Artinya ditemukan fakta sejarah otentik atau analisis ilmiah. Apapun itu, akan lebih baik diambil hikmahnya saja.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Kedua, "him" merujuk pada ahli kitab. Dasar pendapat ini merujuk pada latar belakang historis, di mana sekelompok ahli kitab mempermasalahkan jumlah personil ashab al-kafhi di hadapan Nabi SAW, lalu turun ayat. Maka, kita dilarang mendebat ahli kitab, memperolok agama lain jika tidak ada alasan yang sangat jelas. Pendapat ini selaras dengan siyaq al-kalam berikutnya, yaitu:

Keempat, "wa la tastafti fihim minhum ahada". Secara tegas penutup ayat ini melarang umat islam meminta pendapat kepada ahli kitab, pendeta Yahudi dan Nasrani. Tentu saja ini nasehat umum dan sifatnya hati-hati, utamanya masalah agama. Karena sejarah membuktikan bahwa kebohongan mereka dalam soal agama sangat nyata. Tentu masih ada ahli kitab yang shalih, jujur, dan dapat dipercaya.

Dengan pengungkapan perbedaan pendapat soal jumlah personil ashab al-kahfi di atas lengkap dengan penjelasan Tuhan seperti tertuang pada ayat studi, hal itu menunjukkan bahwa berbeda pendapat itu dibenarkan, mendiskusikan masalah khilafiah itu tidak dosa. Tapi tetap mematuhi etika dialog.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO