Tafsir Al-Kahfi 23-24: Teologi "In Sya' Allah"

Tafsir Al-Kahfi 23-24: Teologi "In Sya

Contoh: In sya' Allah setelah maghrib nanti saya mau belanja ke Mall. Pulang malam, langsung mengurung diri di rumah saja, dan tidak ke mana-mana hingga beberapa hari, bahkan ke masjid pun tidak. Lalu demam dan diperiksakan, ternyata positif terpapar Covid-19 dan ditetapkan sebagai status PDP.

Setelah shalat tarawih di masjid, ibunya nyambangi dengan APD lengkap. Kepada dokter jaga, si ibu bertanya, "gimana anak saya, pak dokter?". Pak dokter menjawab: "in sya Allah kena Corona". Nah ini tidak bener, karena sudah terkena.

Kedua, Istitsna' tidak untuk hal-hal eksak, pasti. Contoh, anda ditanya itung-itungan: dua kali dua berapa? Maka kurang tepat jika dijawab "in sya' Allah empat". Ya, jawab saja "Empat" tanpa in sya' Allah.

Jika terpaksa harus menjawab atau mengomentari peristiwa yang sudah lalu dan kita hanya ingat sedikit-sedikit atau tidak yakin atau ragu, maka tetap tidak boleh pakai kalimah: "in sya'Allah", pakailah kata yang lain. Misalnya antum ditanya: "kamu dulu khitan tahun berapa?". Jawab saja dengan kata, misalnya: "seingat saya, kalau tidak salah tahun sekian... dst.".

Dan faidah kalimah "in sya' Allah" diucap mengiringi program ke depan adalah agar tidak lupa saat waktunya tiba, dan lebih sukses saat pelaksanaan. Hal itu karena lebih berpotensi mendapat pertolongan Tuhan.

Jika kita lupa berucap in sya' Allah dan terlanjur berucap sanggup melakukan sesuatu, maka beristigfar-lah, memohon ampunan kepada Tuhan. Istingfar itu bagaikan kaffarah (konpensasi) atas kelalaian kita.

In sya' Allah juga bisa dipakai sebagai dasar keyakinan dugaan. Dugaan mana menurut keyakinan kita adalah positif karena beberapa pengalaman. Insya' Allah itu selanjutnya sebagai penjaminan atas sesuatu yang tidak menjadi hak kita, melainkan hak orang lain yang kita kenal.

Misalnya, ada teman datang mau meminjam sepeda motor untuk ke toko swalayan terdekat. Sepeda motor yang ada itu bukan milik anda, melainkan milik adik anda yang sedang tidak di rumah. Kuncinya ada dan anda yakin bahwa dia mengizinkan. Lalu anda meminjamkan. Si teman menolak karena bukan milik anda. Kemudian anda mengatakan: "Sudahlah, paka saja. In sya' Allah adik saya rela".

Terkait keseriusan melaksanakan program, kalangan santri membagi "in sya' Allah" menjadi dua pembagian. Pertama, Li al-jazm. Serius, pasti melaksanakan apa yang dicanangkan. Misalnya diundang hadir walimah pernikahan, lalu menjawab "... in sya' Allah" dengan hati serius menghadiri.

Kedua, dengan hati yang tidak serius atau kecil kemungkinannya untuk datang karena berbagai hal, tapi tetap berucap: "in sya' Allah". Maka itu disebut Li al-syakk. In sya' Allah dalam keraguan dan besar kemungkinan tidak hadir. Sementara tetap diucap untuk memenuhi etika undangan, agar tidak mencolok mengecewakan.

Meski demikian, yang terbaik adalah terus terang memberi tahu bahwa dirinya kemungkinan besar tidak bisa hadir, karena bla bla bla, dan memohon maaf sembari mendoakan sukses.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO