SUMENEP, BANGSAONLINE.com - Kasus dugaan penggelapan aset Pemkab Sumenep yang ditengarai dilakukan oleh oknum pengelola Universitas Wiraraja (Unija) Sumenep, bak bola salju yang terus menggelinding.
Hasan Basri, dosen di salah satu Universitas Wiraraja menjelaskan, bahwa pada tahun 2000, sebelum terbit Undang-Undang (UU) 16 Tahun 2001 tentang yayasan yang mengamanahkan bahwa setiap yayasan harus menyesuaikan Anggaran Dasar-nya (AD) dengan UU, syarat pendirian yayasan adalah cukup dengan mendapat pengakuan dari pengadilan negeri setempat, dan kegiatannya mendapatkan izin dari instansi terkait di pusat.
Baca Juga: Warga Sumenep 18 Tahun Menunggu Terbitnya Sertifikat Tanah, Begini Kata Kepala BPN
"Nah, pada tahun 2006 terjadi perubahan nama pada yayasan pengelola Unija, yakni dari Yayasan Universitas Wiraraja menjadi Yayasan Arya Wiraraja. Maka Yayasan Arya Wiraraja tersebut, baik kepengurusan maupun kegiatannya harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Namun persoalannya, Yayasan Arya Wiraraja yang terbentuk tahun 2006 itu bodong karena tidak didaftarkan ke Kemenkumham, sehingga dianggap tidak berbadan hukum," bebernya.
"Dan hal itu kami sudah mengecek ke Kemenkumham baik ke Kanwil Jawa Timur maupun Pusat, sehingga yayasan itu dianggap tak ada artinya alias sampah belaka," ujarnya kepada BANGSAONLINE.com, Minggu (23/8/2020).
Diterangkannya bahwa pada tahun 2010, pengelola Unija mendirikan yayasan baru dengan nama yang sama, yakni Yayasan Arya Wiraraja. Meskipun yayasannya baru, namun tetap dihuni oleh pengurus yang lama.
Baca Juga: 15 Tahun Sertifikat Tanah Tak Kunjung Terbit, BPN Sumenep Janji akan Panggil Ulang Semua Pihak
Tujuan membentuk yayasan baru itu, tambahnya, agar dapat mengelola Unija. Maka, yayasan baru tersebut harus memperoleh penyerahan aset dari Yayasan Universitas Wiraraja yang resmi diakui. Ironinya, yang terjadi, yayasan baru yang sudah mendapatkan pengesahan dari Kemenkumham itu melikuidasi Yayasan Arya Wiraraja tahun 2006 yang bodong, kemudian mengambil alih aset-asetnya.
"Maka dengan demikian, yang dilikuidasi oleh Unija dan dijadikan dasar alih kelola itu adalah Yayasan Arya Wiraraja tahun 2006 yang tidak berbadan hukum. Padahal jelas dalam Undang-Undang, perubahan nama yayasan harus mendapatkan persetujuan Kemenkuham," terangnya.
Ia menjelaskan bahwa likuidasi tidak sah karena dasar alih kelola Unija adalah Yayasan Arya Wiraraja yang lahir tahun 2006. "Maka proses likuidasi dan penyerahan aset-aset Unija kepada Yayasan Arya Wiraraja yang dibentuk tahun 2010, tidak sah berdasarkan hukum," tegasnya.
Baca Juga: Pertanyakan Alih Fungsi Lahan di Kalianget, Warga Datangi Kantor BPN Sumenep
"Pihak Unija dalam proses likuidasi itu tidak benar. Yayasan Universitas Wiraraja selama ini tidak pernah dilikuidasi karena harus melibatkan bupati, dan bupati waktu itu menjadi pelindung yayasan atau pembina. Tanpa persetujuan bupati tidak bisa dilikuidasi. Sampai kiamat pun likuidasi tidak akan selesai tanpa melibatkan bupati," jelasnya.
Pada November 2015, Hasan Basri mengaku mengecek langsung di Kopertis VII Jawa Timur, dan ternyata yang disampaikan ke Kopertis VII Jawa timur oleh Unija hanya SK Pengesahan Kemenkumham terhadap Yayasan Arya Wiraraja tahun 2010, tapi tidak melampirkan anggaran dasar tahun 2010, tetapi malah menyampaikan anggaran dasar tahun 2006.
Karena itu, menurut Hasan Basri, Unija tetap di bawah naungan Yayasan Universitas Wiraraja. "Tapi yayasan ini dibikin terlantar tidak terurus beberapa tahun lalu oleh Mantan Ketua Yayasan Kurniadi Wijayadi dan Mantan Pembina Ramdlan Siraj," ungkapnya.
Baca Juga: Pemkab Sumenep Komitmen Rampungkan Sengketa Lahan SMKN 1 Kalianget
"Nah, setelah ada penegasan dari Kemenristekdikti (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi) bahwa pengelolanya tetap Yayasan Universitas Wiraraja, maka Ramdan Siraj (Mantan Bupati Sumenep) tidak berhak menjadi Pembina Unija," tegasnya.
Pihaknya mengaku bahwa terkait status tanah tukar guling lahan yang ditempati Unija sekarang, dulu tanahnya memang tanah kas desa yang dialihfungsikan menjadi hak pakai Unija dengan proses tukar guling dengan lahan lain di desa berbeda.
"Info dari badan pertanahan, lahan tukar gulingnya di Desa Sendir dan Kalimook, padahal aturannya tukar guling harus di desa yang sama dan harus lebih subur. Bahkan setelah dicek di Kalimook tidak ada tanahnya," ungkapnya.
Baca Juga: Tingkatkan Pelayanan Bidang Pendidikan, STIT Aqidah Usymuny Sumenep Ikuti Konferensi Internasional
Kata Hasan, semula sertifikat hak pakai Unija asalnya dari Yayasan Universitas Wiraraja. Kemudian ada dasar perubahan sertifikat karena adanya hibah, tapi hibahnya dari yayasan bodong, yakni Yayasan Arya Wiraraja tahun 2006, sehingga ada pemasukan data palsu atau pemalsuan data autentik.
"Untuk itu saya mengajak, marilah kita bangun pendidikan dengan landasan moral, berupa kejujuran dan tahu diri. Jadi gak usah dibelok-belokkan," pungkasnya. (aln/zar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News