Salah satu yang sering terjadi dan menjadi obyek gugatan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah kelalaian atau kecerobohan akibat ketidakhati-hatian dalam menerapkan tahapan pemilu.
Dalam situasi normal saja, problem ini sering terjadi, apalagi dalam situasi tidak normal dan darurat seperti pilkada di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
Contoh, di tengah merebaknya pandemi Covid-19 hingga 13 Mei 2020, kurang lebih 156 calon perseorangan telah dinyatakan diterima oleh KPU dan 45 calon ditolak pendaftarannya karena tidak memenuhi syarat awal.
Menurut tahapan awal sebelum pandemi Covid-19, verifikasi syarat dukungan pasangan calon perseorangan akan ditutup hingga 28 Mei 2020. Namun akibat pandemi, tahapan tersebut tertunda, termasuk penundaan verifikasi syarat dukungan calon perseorangan.
Dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2020, KPU harus membuat langkah verifikasi syarat dukungan tersebut yang lebih rasional. Masalah yang dihadapi oleh KPU adalah soal waktu mengingat 9 provinsi dan 270 daerah kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada 2020 bisa saja sedang melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Padahal, verifikasi syarat dukungan harus dilakukan secara random dan untuk mengecek apakah syarat dukungan yang diberikan oleh calon tersebut sahih atau tidak, diperlukan petugas yang harus turun ke lokasi untuk melakukan pengecekan.
Potensi malpraktik pada Pilkada 2020 terbuka, mengingat tahap verifikasi syarat dukungan calon perseorangan adalah tahap yang sensitif karena menentukan nasib seorang calon perseorangan, apakah lolos atau gagal untuk maju ke pilkada.
Tingkat kemungkinan malpraktik pada tahap ini bisa terjadi sebab berdasarkan pengalaman pada situasi normal saja, dari sejumlah kasus pada Pilkada Serentak sebelumnya, verifikasi syarat dukungan pasangan perseorangan ini banyak menimbulkan sengketa.
Oleh karena itu, tingkat kemungkinan malpraktik pada verifikasi syarat dukungan calon perseorangan bisa menjadi kendala bagi penyelenggara apabila tidak dilakukan secara hati-hati.
Problem lain yang bisa menimbulkan malpraktik pada Pilkada 2020 ialah pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Persoalan ini menjadi salah satu isu krusial dalam sejarah pemilu di Indonesia, karena basis data pemilih selalu berbeda dan tidak sama, sehingga sering menimbulkan perselisihan antara penyelenggara dengan peserta pemilu (termasuk pilkada).
Salah satu tingkat kesulitan dalam pilkada mendatang ialah apabila Covid-19 tidak usai. Bagaimana dengan pemilih yang merantau atau tinggal di luar wilayah provinsi dan/atau kabupaten yang menyelenggarakan pilkada?
Meskipun KPU dalam menyusun tahapannya bisa memberikan kelonggaran bahwa tahapan pemutakhiran pemilih bisa dilakukan hingga 9 Desember 2020, langkah itu justru menunjukkan KPU tidak yakin akan data yang dimilikinya.
Pola itu mungkin dilakukan mengingat pada tahapan Pilkada 2020 sebelumnya, KPU menetapkan agenda pemutakhiran pemilih dilakukan hingga 23 September 2020.
Selain persoalan ketidakpastian data, tidak akuratnya data pemilih juga bisa berdampak pada tingkat partisipasi pada pilkada terjadi pada situasi normal. Lalu, dengan situasi Covid-19 saat ini, apakah pemutakhiran data pemilih dapat dilakukan secara optimal?
Mengandalkan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang terus menerus terjadi dan tidak ada perbaikan oleh penyelenggara, sebenarnya dapat disebut sebagai bagian dari malpraktik penyelenggaraan pemilu.
Masalah DPTb yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu umumnya adalah pemilih yang ingin menggunakan hak pilihnya di suatu tempat yang berbeda dengan tempat tinggalnya, ternyata mengalami berbagai kesulitan akibat proses pengurusan yang “njelimet”.
Di masa PSBB dengan pembatasan-pembatasan physical distancing atau social distancing, tentu harus diantisipasi oleh penyelenggara pilkada.
Potensi malpraktik berikutnya adalah pada saat penghitungan suara. Peserta Pilkada 2020, baik calon dari partai maupun perseorangan, harus memenuhi target untuk menyediakan saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Psikologi pemilih untuk menjaga jarak sosial dalam masa PSBB bisa menjadi kendala bagi munculnya pengawasan yang sifatnya partisipatif.
Selain itu, pada situasi sulit di tengah PSBB bisa jadi calon juga kesulitan mencari saksi, dan situasi yang sama juga bisa dialami oleh pengawas pemilu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News