Potensi Malpraktik Pilkada 2020 di Tengah Covid-19

Potensi Malpraktik Pilkada 2020 di Tengah Covid-19

Oleh: Nanang Fachrurozi, S.I.P. (Wartawan bangsaonline.com)

---Plt. Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin meninggal dunia karena terpapar , Sabtu (22/8/2020) lalu. Cak Nur, dalam 2020, berniat mencalonkan kembali sebagai bakal calon petahana. Namun Allah berkehendak lain.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian secara eksplisit menyampaikan, bahwa penanganan bisa menjadi isu sentral yang diangkat oleh kontestan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.

Mendagri menilai sebagai musuh bersama. harus mendapatkan perhatian khusus untuk diperangi semua pihak sehingga sangat tepat dijadikan isu sentral. Termasuk, mampu mengurangi konflik akibat isu SARA yang biasa muncul menjelang pesta demokrasi.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memastikan bahwa 19 kabupaten dan kota di wilayahnya siap menyelenggarakan pada 9 Desember 2020.

Gubernur Jatim berharap, penyelenggaraan berlangsung aman, tertib, dan damai serta berjalan sesuai proses disiplin protokol kesehatan.

Pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tetap bergeming bahwa pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020.

Awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September untuk memilih 9 gubenur, 224 bupati, dan 37 wali kota secara serentak. Sebelum Indonesia terkena pandemi , Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan serangkaian tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.

Namun akibat pandemi COVID-19 ini, KPU akhirnya mengeluarkan surat keputusan KPU Nomor: 179/PL.02-kpt/01/KPU/III/2020 yang antara lain mengatur penundaan beberapa tahapan Pilkada 2020. Di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Penundaan beberapa tahapan pilkada di atas dapat menimbulkan berbagai dampak dalam penyelenggaraannya, baik yang sifatnya positif maupun negatif.

Dampak positif misalnya, penundaan ini memberikan ruang bagi calon independen untuk menyiapkan persyaratan dukungan sebagai calon perseorangan.

Partai politik juga bisa relatif mengalami relaksasi dalam melakukan proses rekrutmen calon kepala daerah.

Masalahnya, dampak positif itu tidak terlalu signifikan mengingat tenggat waktu perubahan jadwal penyelenggaraan hanya bergerser tiga bulan, dari 23 September menjadi 9 Desember 2020.

Perubahan jadwal ini dianggap dipaksakan, mengingat kenaikan jumlah kasus positif belum melandai dan usai. Apalagi hingga hari ini belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Kesan adanya paksaan atas keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020 memang kelihatan.

Meskipun pada Perppu tersebut terdapat pasal yang mengatur bahwa Pilkada 2020 dapat ditunda apabila situasi tidak memungkinkan. Pasal ini justru dianggap sebagai sesuatu yang tidak pasti.

Apalagi Perppu tersebut juga tidak mengatur anggaran. Juga apakah Perppu ini dapat menjadi dasar hukum bagi KPU untuk melakukan diskresi dalam menilai situasi pandemi di suatu wilayah, dapat dianggap mengganggu penyelenggaraan pilkada.

Pertanyaannya, apakah KPU memiliki kewenangan tersebut ataukah kewenangan itu ada pada instansi lain, misalnya Kementerian Kesehatan, sebagaimana yang berlaku pada UU tentang Kesehatan.

Kelonggaran pengaturan pada Perppu di atas bisa dianggap hal yang biasa, tetapi justru bisa menimbulkan persoalan baru. Persoalan itu bukan hanya soal ketidakpastian bagi penyelenggaranya karena tingkat kemungkinan penyelenggaraan Pilkada 2020 dibayang-bayangi oleh situasi pandemi yang waktunya tidak menentu, melainkan juga besarnya kemungkinan KPU akan kesulitan membuat aturan yang bisa menetapkan situasi sebuah wilayah atau status kesehatan suatu daerah.

Realita di Pilkada 2020, tidak menutup kemungkinan maraknya Malpraktik. Malpraktik pada pemilu adalah sebuah tindakan pelanggaran baik yang disengaja maupun tidak, legal atau ilegal.

Pelanggaran itu sebenarnya tergantung dari ketat tidaknya aturan main dalam proses elektoral dan antisipasi pencegahan agar di atas bisa dihindari.

Salah satu yang sering terjadi dan menjadi obyek gugatan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah kelalaian atau kecerobohan akibat ketidakhati-hatian dalam menerapkan tahapan pemilu.

Dalam situasi normal saja, problem ini sering terjadi, apalagi dalam situasi tidak normal dan darurat seperti pilkada di tengah pandemi saat ini.

Contoh, di tengah merebaknya pandemi hingga 13 Mei 2020, kurang lebih 156 calon perseorangan telah dinyatakan diterima oleh KPU dan 45 calon ditolak pendaftarannya karena tidak memenuhi syarat awal.

Menurut tahapan awal sebelum pandemi , verifikasi syarat dukungan pasangan calon perseorangan akan ditutup hingga 28 Mei 2020. Namun akibat pandemi, tahapan tersebut tertunda, termasuk penundaan verifikasi syarat dukungan calon perseorangan.

Dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2020, KPU harus membuat langkah verifikasi syarat dukungan tersebut yang lebih rasional. Masalah yang dihadapi oleh KPU adalah soal waktu mengingat 9 provinsi dan 270 daerah kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada 2020 bisa saja sedang melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Padahal, verifikasi syarat dukungan harus dilakukan secara random dan untuk mengecek apakah syarat dukungan yang diberikan oleh calon tersebut sahih atau tidak, diperlukan petugas yang harus turun ke lokasi untuk melakukan pengecekan.

Potensi pada Pilkada 2020 terbuka, mengingat tahap verifikasi syarat dukungan calon perseorangan adalah tahap yang sensitif karena menentukan nasib seorang calon perseorangan, apakah lolos atau gagal untuk maju ke pilkada.

Tingkat kemungkinan pada tahap ini bisa terjadi sebab berdasarkan pengalaman pada situasi normal saja, dari sejumlah kasus pada sebelumnya, verifikasi syarat dukungan pasangan perseorangan ini banyak menimbulkan sengketa.

Oleh karena itu, tingkat kemungkinan pada verifikasi syarat dukungan calon perseorangan bisa menjadi kendala bagi penyelenggara apabila tidak dilakukan secara hati-hati.

Problem lain yang bisa menimbulkan pada Pilkada 2020 ialah pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Persoalan ini menjadi salah satu isu krusial dalam sejarah pemilu di Indonesia, karena basis data pemilih selalu berbeda dan tidak sama, sehingga sering menimbulkan perselisihan antara penyelenggara dengan peserta pemilu (termasuk pilkada).

Salah satu tingkat kesulitan dalam pilkada mendatang ialah apabila tidak usai. Bagaimana dengan pemilih yang merantau atau tinggal di luar wilayah provinsi dan/atau kabupaten yang menyelenggarakan pilkada?

Meskipun KPU dalam menyusun tahapannya bisa memberikan kelonggaran bahwa tahapan pemutakhiran pemilih bisa dilakukan hingga 9 Desember 2020, langkah itu justru menunjukkan KPU tidak yakin akan data yang dimilikinya.

Pola itu mungkin dilakukan mengingat pada tahapan Pilkada 2020 sebelumnya, KPU menetapkan agenda pemutakhiran pemilih dilakukan hingga 23 September 2020.

Selain persoalan ketidakpastian data, tidak akuratnya data pemilih juga bisa berdampak pada tingkat partisipasi pada pilkada terjadi pada situasi normal. Lalu, dengan situasi saat ini, apakah pemutakhiran data pemilih dapat dilakukan secara optimal?

Mengandalkan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang terus menerus terjadi dan tidak ada perbaikan oleh penyelenggara, sebenarnya dapat disebut sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilu.

Masalah DPTb yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu umumnya adalah pemilih yang ingin menggunakan hak pilihnya di suatu tempat yang berbeda dengan tempat tinggalnya, ternyata mengalami berbagai kesulitan akibat proses pengurusan yang “njelimet”.

Di masa PSBB dengan pembatasan-pembatasan physical distancing atau social distancing, tentu harus diantisipasi oleh penyelenggara pilkada.

Potensi berikutnya adalah pada saat penghitungan suara. Peserta Pilkada 2020, baik calon dari partai maupun perseorangan, harus memenuhi target untuk menyediakan saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Psikologi pemilih untuk menjaga jarak sosial dalam masa PSBB bisa menjadi kendala bagi munculnya pengawasan yang sifatnya partisipatif.

Selain itu, pada situasi sulit di tengah PSBB bisa jadi calon juga kesulitan mencari saksi, dan situasi yang sama juga bisa dialami oleh pengawas pemilu.

Lihat juga video 'Detik-Detik Warga Desa Lokki Maluku Nekat Rebut Peti Jenazah Covid-19':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO