Bandar, Bandit, dan Badut dalam Panggung Politik Indonesia

Bandar, Bandit, dan Badut dalam Panggung Politik Indonesia Dhiman Abror Djuraed. Foto: dok rmol

Oleh: Dhiman Abror Djuraed ---

Sukanto Tanoto raja sawit Indonesia termasuk golongan manusia crazy super rich Indonesia. Kekayaannya total berjumlah Rp 20 triliun dan menempatkannya dalam daftar 25 besar bos paling tajir Indonesia. Ia membeli istana Muenchen seharga Rp 6 triliun.

Baca Juga: 45 Anggota DPRD Trenggalek 2024-2029 Resmi Dilantik, Bupati Ucapkan Selamat dan Apresiasi

Harta Sukanto Tanoto sama dengan tiga kali lipat APBD Surabaya dan 20 kali lipat rata-rata APBD provinsi-provinsi di Indonesia. Kekayaannya bisa dipakai untuk membiayai operasional sebuah provinsi sampai 20 tahun atau sampai 50 tahun, termasuk menggaji bupati, anggota DPRD, dan seluruh pegawai di kabupaten itu.

Artinya, tanpa menarik sepeser pajak dari rakyat pun, sebuah provinsi bisa dibandari oleh para crazy super rich tersebut.

Kalau saja sebuah provinsi boleh dilelang dan dibiayai swasta seperti yang terjadi sekarang ini terhadap jalan tol, bandara, pelabuhan dan banyak fasilitas umum lainnya, seluruh provinsi di luar Jawa bisa dibeli satu orang saja. Selain membayari anggota DPRD dan pegawai negeri seluruh provinsi, uang swasta itu cukup untuk membayari biaya operasional sekolah sampai unversitas dan menggaji dosen dan guru dengan layak sehingga tidak bakal ada guru honorer yang dibayar Rp 700 ribu, lalu dengan seenaknya dipecat hanya gegara mem-posting gajinya di medsos.

Baca Juga: Gunakan Baju Perjuangan, Ony-Antok Berangkat Daftar Pilbup ke KPU Ngawi

Potensi kekayaan alam dan perputaran ekonomi di sebuah provinsi sangatlah besar sehingga dengan cepat para bandar investor itu akan mencapai break even point dan meraih untung untuk mengembalikan investasi.

Tentu saja, negara tidak dikelola para bandar dengan cara-cara seperti mengelola perusahaan pribadi. Namun, campur tangan bandar dalam pengelolaan negara seperti itu menjadi fenomena yang umum di Indonesia, sebagaimana ditengarai Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku Democrary for Sale (2019).

Para bandar memainkan peran sangat penting dalam politik Indonesia sejak 20 tahun terakhir dalam bentuk politik transaksional. Mereka membiayai para politikus yang hendak mencalonkan diri untuk posisi legislatif maupun eksekutif. Sebagai imbalannya, para bandar akan mendapatkan jatah proyek dari APBD. Demokrasi dijual dan APBD dilelang dan di-ijon.

Baca Juga: Pelantikan Anggota DPRD Kota Madiun Periode 2024-2029, Ada 13 Orang Baru

Klientelisme semacam itu menjadi praktik yang umum karena biaya politik pada sistem pemilihan umum di Indonesia yang liberal ini sangat mahal. Praktik money politics, bagi-bagi uang dan vote buying (jual beli suara) menjadi hal yang sudah dianggap biasa. Aspinall dan Berenschot yang melakukan penelitian di Indonesia, India, dan Argentina, menemukan bahwa praktik politik paling banyak ditemukan di Indonesia, dan biaya politik di Indonesia paling tinggi di antara negara-negara itu. Aspinall dan Berenschot menyimpulkan bahwa praktik politik transaksional Indonesia adalah yang tertinggi di dunia.

Para peneliti itu menemukan istilah-istilah politik baru yang hanya ditemui di Indonesia yang sangat khas dan tidak terdapat padanannya dalam bahasa Inggris.

Tim sukses adalah terminologi yang dikenal hampir semua orang Indonesia, tapi tidak dikenal di India dan Argentina maupun negara-negara lain. Ketika dialihbahasakan menjadi “success team”, maknanya tentu sangat berbeda karena arti denotatif yang tidak tergambar.

Baca Juga: 50 Anggota DPRD Kabupaten Mojokerto Periode 2024-2029 Resmi Dilantik

Demikian juga istilah “serangan fajar” yang sudah dipahami secara luas di Indonesia, menjadi lucu dan kehilangan makna ketika dialihbahasakan menjadi “dawn attack” atau “dawn raid”. Dunia politik harus berterimakasih pada Indonesia karena telah menyumbangkan kosakata baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Karena peran para bandar itu, pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif sudah digadaikan (bailout) dengan agunan APBD dan anggaran negara dari duit rakyat. Kalau penggadainya adalah kepala pemerintahan, para bandar akan lebih mudah mendapatkan pembayaran dalam bentuk proyek. Kalau yang dibandari adalah anggota legislatif, para bandar mendapat imbalan dalam bentuk peraturan perundangan yang menguntungkan para bandar. Para bandar tidak akan pernah rugi karena para maling selalu lebih cerdik daripada polisi.

Para pemilih menjadi pragmatis dan rela melepas hak politiknya dengan imbalan puluhan ribu rupiah saja karena rakyat sudah kehilangan trust kepada sistem politik dan para politikus yang bermain di dalamnya. Rakyat memilih beli putus dengan sembako atau sarung karena tahu bahwa para wakil rakyat itu hanya akan datang lima tahun sekali. Karena itu, ketika para politikus tersebut mengobral janji pada masa kampanye, rakyat tertawa saja dan menganggap mereka sebagai badut.

Baca Juga: Daftar Nama 50 Anggota DPRD Bangkalan Periode 2024-2029

Aktor politik lain yang menguasai politik Indonesia adalah para bandit. Mereka ini menjadi perantara yang mempertemukan bandar dengan para politikus badut. Pada bandit itu bisa me-nyaru sebagai tim sukses yang bakal menjadi tim bayangan yang mengendalikan pemerintahan. Sebagai imbalan sukses, tim bandit itu diberi peran informal, tapi sangat menentukan dalam mengatur proyek-proyek pemerintahan.

Trio bandar, bandit, badut itu menjadi pemain utama pada panggung politik nasional Indonesia selama 20 tahun terakhir. Mereka merajalela dan merajatega dalam 20 tahun terakhir, tetapi sebenarnya mereka lahir dari politik otoriter selama 30 tahun masa kekuasaan Orde Baru. 

Para bandar besar itu merupakan produk kebijakan ekonomi Orde Baru yang memelihara beberapa gelintir konglomerat dan membesarkan mereka dengan memberi berbagai konsesi proyek-proyek besar. Para bandar itu mendapatkan konsesi untuk menebangi jutaan hektare hutan dan menggali sumber daya alam jutaan meter kubik. Para bandar tersebut menguasai lahan jutaan hektare dan bebas melakukan apa saja terhadapnya.

Baca Juga: Pendaftaran Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Gresik Tahun 2024

Para bandar itu didesain untuk menjadi crazy super rich yang menguasai oligopoli dan monopoli berbagai industri. Mereka dijadikan sekaya-kayanya sampai tidak mampu lagi menyimpan kekayaannya dan kemudian kekayaan itu meluber ke bawah. Remeh-remeh luberan kekayaan itulah yan diharapkan menetes ke bawah kepada rakyat miskin. Efek luberan itu disebut “trickle down effect” yang menjadi strategi pembangunan ekonomi andalan Orde Baru. Para bandar tersebut menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang cukup mangkus sehingga bisa tumbuh sampai rata-rata 7 persen dan menjadi legitimasi utama pemerintahan Orde Baru. Tapi, ketika krisis ekonomi terjadi, legitimasi ekonomi rezim Soeharto ambruk dan ambruk pula kekuasaan Soeharto karena tiang dan pilar ekonomi sudah ambruk lebih dahulu.

Para yang bermunculan di panggung politik nasional sekarang ini kebanyakan adalah stok lama sisa-sisa Orde Baru. Para politikus itu sudah terlatih menjadi badut selama 30 tahun masa Orde Baru. Mereka menjadi politikus badut karena kerjaannya hanya membadut mendukung kekuasaan. Partai politik ada, tapi parpol badut. Parlemen juga ada, tapi menjadi parlemen badut.

Para badut itu menjadi bagian dari korporatisme negara karena semua kekuatan civil society sudah terkooptasi negara. Semua tingkah polah para politikus badut itu dikontrol dan dikendalikan rezim. Tradisi politik badut tersebut berlangsung sampai sekarang dan malah jauh lebih badut daripada zaman Orde Baru.

Baca Juga: Pj Wali Kota Mojokerto Ajak Gen Z Kritis Sebagai Pemilih Pemula di Pilkada 2024

Para bandit yang sekarang merajai politik nasional juga hasil didikan Orde Baru. Mereka adalah para elite social yang memimpin organisasi masyarakat, organisasi pemuda, berbagai lembaga sosial masyarakat, dan lembaga-lembaga keagamaan. Mereka menjadi bagian dari oligarki sosial yang dipelihara kekuasaan dengan memberi mereka berbagai konsesi ekonomi dan politik.

Para bandar mewakili oligarki ekonomi, para bandit mewakili oligarki sosial dan badut mewakili oligarki politik. Ketiganya berkolaborasi menjadi satu dan bersama-sama membajak demokrasi Indonesia yang kebablasan.

(Disway, Senin, 22 Februari 2021, Judul asli: Bandar, Bandit dan Badut)  

Baca Juga: KPU Pamekasan Tetapkan Perolehan Kursi Partai Politik, Berikut Daftarnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO